Sejenak Lupa Daratan di Pulau Lihaga
Pulau Lihaga adalah satu dari tujuh pulau kecil dan besar di lepas pantai Minahasa Utara. Ketujuhnya merupakan destinasi bagi wisatawan yang ingin sejenak lepas dari rundungan sibuk dan penatnya pekerjaan.
Sedang butuh asupan vitamin sea (laut)? Atau pelarian singkat ke sebuah pantai nirwana bersama desir angin dan hangat mentari? Maka, berkunjunglah ke Pulau Lihaga dan biarkan segala beban hidup hanyut bersama ombak di pantai berpasir putih bak tepung, setidaknya sementara.
Empat mobil Hi Ace berhenti di tepi sebuah dermaga kecil di Desa Serei, sebuah kampung pesisir di Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, Kamis (28/11/2019). Cuaca panas jelang siang itu di ujung utara Sulawesi Utara membuat pendingin di mobil nyaris tak berpengaruh. Dalam hangat gerah mobil, para penumpang mulai tersadar dari lelapnya.
Setelah menempuh perjalanan 51 kilometer selama dua jam, rombongan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) akan menyeberang ke Pulau Lihaga di timur laut dermaga. Potensi wisata bawah laut pulau seluas 5,8 hektar itu disebut-sebut tak kalah dari Taman Laut Bunaken.
Dengan perahu motor, hanya butuh 15 menit untuk sampai ke pulau kecil tak berpenghuni itu. Semakin dekat ke tepian, biru gelap yang menandakan laut dalam berganti biru muda transparan. Ombak menjilati bentangan pasir putih. Daun pohon-pohon yang rapat di belakangnya melambai diterpa semilir angin, mengucapkan selamat datang.
Rombongan pun melompat satu per satu dari perahu. Lembut pasir pantai Pulau Lihaga yang hangat menyabut telapak kaki tak beralas pada pijakan pertama. Sensasinya seperti menapaki hamparan tepung yang lalu menyelinap ke sela-sela jari kaki.
Saat berbalik, terlihat putihnya pasir yang bertemu biru segar pantai berpadu langit cerah laksana lukisan magis yang surealistis. Teduh rindang pohon-pohon ketapang mengundang pengunjung menggelar matras di bawahnya, lalu duduk bersantai. Pesona pesisir yang tenang dalam suara debur ombak mengisi kedamaian di relung jiwa.
Beberapa anggota rombongan punya pikiran lain. Segera mereka melepas kaus, mengoleskan tabir surya di kulit, lalu menceburkan diri dalam biru segar air pantai yang bening. Saat itulah tiada yang lebih penting di dunia ini daripada menikmati yang dirasakan dan apa yang di pandangan.
Dikelola swasta
Pulau Lihaga adalah satu dari tujuh pulau kecil dan besar di lepas pantai Minahasa Utara. Enam pulau lain adalah Gangga, Tindila, Talisei, Kinabohutan, Komang, dan Bangka. Ketujuhnya merupakan destinasi bagi wisatawan yang ingin sejenak lepas dari rundungan sibuk dan penatnya pekerjaan.
Pulau Lihaga mulai menarik minat wisatawan Nusantara dan mancanegara sejak dibuka pada Oktober 2018. Sebuah klub pantai bernama Lihaga Beach Club sedang dirintis PT Karyadeka Alam Asri. Perusahaan ini juga memiliki beberapa destinasi wisata di Tomohon, seperti Danau Linow, Puncak Tatetana, dan Bukit Doa.
Infrastruktur Lihaga Beach Club telah selesai dibangun dengan kafe outdoor beratap kanopi, kedai-kedai dari peti kemas, serta kamar mandi dan tempat ganti baju. Nantinya, beach club itu akan jadi yang pertama dan satu-satunya di Pulau Lihaga, lengkap dengan pusat selam hingga kolam renang.
Manajer Operasional Lihaga Beach Club Theopilos Poling mengatakan, Pulau Lihaga satu-satunya tempat di Sulut yang memiliki klub pantai. Perusahaan sebagai operator pulau menetapkan tarif Rp 50.000 untuk wisatawan domestik dan Rp 100.000 untuk wisatawan mancanegara. Segala fasilitas boleh digunakan, termasuk payung-payung dan bean bag di tepi pantai.
Untuk sementara, belum ada penginapan dan resor di pulau ini. ”Namun, pengunjung boleh kamping secara gratis. Sementara belum kami kenakan biaya,” kata Theo. Pulau Lihaga memang mirip dengan pulau-pulau di sekitarnya. Namun, Lihaga tergolong paling komplet bagi aktivitas para wisatawan ketimbang pulau lain di sana. Ada sisi pantai yang berpasir, sisi pulau yang berbentuk karang, dan sisi yang berbentuk teluk. Sebagian besar pulau pun ditumbuhi hutan yang masih lebat.
Yang spesial dari pulau ini adalah pasirnya yang putih dan selembut tepung. Di hutan juga ada berbagai pohon, seperti ketapang dan gaharu. ”Kami akan menambahkan tanaman buah, seperti langsat, duku, dan kelapa,” kata Theo. Sejak dibuka pada Oktober 2018, pulau ini terus dikunjungi turis dari China, Italia, Spanyol, dan Jerman pada Senin-Jumat. Pada akhir pekan, wisatawan domestik yang meramaikan pulau. Diperkirakan 1.000 turis datang setiap bulan.
Jumlah kedatangan yang cukup banyak itu berkat keterbukaan pengelola pada perusahaan pusat selam dan penyewaan kapal bagi wisatawan. Kunjungan wisatawan yang relatif sepi biasanya terjadi pada Desember karena masyarakat setempat banyak yang merayakan Natal. Lalu, angin musim barat menyebabkan ombak besar.
Mereka yang bekerja melayani turis kebanyakan direkrut dari pulau lain, seperti Pulau Gangga. Hal itu karena Pulau Lihaga tidak berpenghuni. Mereka telah dilatih, mulai dari memasak hingga cara melayani turis dengan ramah. Dengan penetapan Likupang sebagai bagian dari destinasi superprioritas di Sulut, Theo yakin, pintu pemberdayaan masyarakat lokal akan semakin terbuka di Minahasa Utara.
Titik selam
Keindahan alam bawah laut di Lihaga tak kalah dari Bunaken. Sedikitnya ada empat titik selam di pulau ini yang ditumbuhi terumbu karang keras dan lunak. Siang itu, anggota rombongan mempersiapkan diri untuk menyelam atau sekadar snorkeling. Namun, saat itu arus sedang sangat kuat. Temmy (29), pendamping selam dari Manado Scuba, pun meminta mereka menunggu. ”Mesti tunggu dulu sampai agak tenang supaya tidak terbawa arus,” katanya.
Setelah sekitar sejam, ia mengajak rombongan sedikit lebih jauh dari garis pantai. Perahu berhenti di satu titik dengan kebiruan air yang lebih gelap. Arus masih tampak di permukaan kendati tak sekuat sebelumnya. Menyelam ataupun snorkeling bisa sedikit menakutkan bagi mereka yang baru pertama kali mencoba. Tak ada tepian untuk berpegangan, sementara pantai tampak jauh dari gapaian. Hanya pelampung dan pipa snorkel yang bisa diandalkan.
Namun, segala upaya melawan takut terbayar dengan harta karun kekayaan biodiversitas di bawah permukaan. Warna-warna pastel ungu, biru, merah muda, dan kuning terumbu karang dari genus Acropora, Montipora, dan Siderastrea terhampar di dasar. Di sela-selanya, menempel bintang laut.
Temmy mengajak rombongan bergeser sedikit ke titik lain. ”Kita akan lihat karang besar,” katanya. Di sana, hamparan terumbu karang jenis Acropora millepora tampak seperti tanduk-tanduk lunak berwarna merah muda. Tidak hanya itu, ribuan ikan menari-nari berenang ke sana kemari. Ikan moorish idol (Zanclus cornutus), ikan giru (Amphiprioninae), dan ikan mandarin (Synchiropus splendidus) tampak di antara berbagai kumpulan ikan lain. Tak jemu-jemu mereka memanjakan mata sehingga bikin lupa daratan.
Bloger perjalanan wisata Satya Winnie yang ikut dalam rombongan mengaku takjub dengan keindahan yang ia saksikan saat pertama kali menyelam di perairan Pulau Lihaga. Air yang jernih ditambah cuaca jelang siang yang cerah membuat jarak pandang dalam air sangat bagus.
”Aku enggak menyangka bakal sebagus itu, padahal Pulau Lihaga belum terdengar banyak orang. Ada banyak makhluk laut yang aku lihat, seperti noody branch (siput laut) dan cuttlefish (cumi-cumi). Bahkan, aku juga lihat tuna dan cakalang. Menurutku, kehidupan bawah laut di pulau ini masih sangat sehat,” katanya.
Meski begitu, ia menyayangkan sampah yang bertebaran di laut. Plastik makanan, ranting kayu, hingga popok bayi hanyut di bawah permukaan, terbawa arus entah dari mana. Sampah itu tentunya berasal dari kota atau wilayah yang tak mengolahnya dengan baik. ”Sangat disayangkan, padahal Likupang mau jadi destinasi wisata baru. Setidaknya harus ditambah tempat sampah di area wisata,” kata Satya Winnie.
Misteri
Pulau Lihaga memiliki keindahan yang magis. Namun, Temmy yang telah membawa tamu berkali-kali ke pulau itu selama setahun terakhir mengaku tak mengetahui cerita ataupun legenda apa pun terkait pulau itu. ”Memang begini-begini saja, tidak pernah dengar kisah-kisah tertentu,” katanya.
Jika beruntung, wisatawan yang datang ke pulau itu dapat menyaksikan tukik-tukik yang baru menetas. Theo mengatakan, beberapa wisman yang berkemah di pulau pernah disambut tukik-tukik yang baru menetas di dalam pasir. Ada lebih dari 20 jumlahnya. Ia hanya melihatnya di video yang direkam wisatawan itu saat mereka membantu melepaskan tukik-tukik itu ke laut.
”Di sini memang banyak satwa, mulai dari burung seperti gagak, walet, serta burung-burung sejenis rangkong yang warnanya biru dan kuning. Bahkan, ada juga burung maleo gosong. Pantai ini jadi tempat bertelur,” kata Theo.
Hingga kini belum ada data tentang satwa-satwa yang sebagian khas di garis Wallacea. Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan, ataupun Balai Konservasi Sumber Daya Alam belum masuk ke Pulau Lihaga yang kini diprivatisasi. Pulau Lihaga akan selalu terbuka. Kunjungan selama satu hari rasanya tak cukup untuk menyelami keindahan laut dan menjelajahi hutan di sana.