Pengurangan hukuman sembilan terpidana kasus korupsi lewat putusan peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung pada 2019 dianggap tak sejalan dengan harapan publik yang ingin pemerintahan bebas dari korupsi.
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pengurangan hukuman sembilan terpidana kasus korupsi lewat putusan peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung pada 2019 dianggap tak sejalan dengan harapan publik yang ingin pemerintahan bebas dari korupsi. Hilangnya sosok hakim agung yang kuat, berintegritas, dan menginspirasi karena komitmennya dalam pemberantasan korupsi dinilai turut berkontribusi pada tren tersebut.
Kendati begitu, MA menegaskan tetap berkomitmen dan serius dalam menangani perkara korupsi. MA juga menyatakan mempunyai pemahaman, korupsi adalah musuh bersama yang harus diberantas.
Potongan hukuman terbaru terpidana korupsi terjadi lewat putusan peninjauan kembali (PK) bekas Bupati Buton, Sulawesi Tenggara, Samsu Umar Abdul Samiun, 12 Desember 2019. Samsu dinyatakan bersalah karena terbukti menyuap bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar Rp 1 miliar terkait sengketa pilkada. Putusan PK MA mengurangi hukuman Samsu dari 3 tahun 9 bulan menjadi 3 tahun penjara.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (14/12/2019), menuturkan, tren pengurangan hukuman terpidana korupsi oleh MA menjadi atensi utama Komisi III DPR. Maka, DPR mengagendakan rapat konsultasi dengan MA pada masa sidang yang dimulai Januari 2020.
Rapat itu, lanjut Arsul, akan diawali dengan mendengarkan pandangan MA terkait criminal sentencing policy yang dianut mereka di bidang tindak pidana korupsi. ”Kami akan mendalami apakah MA melihat hal itu (penurunan hukuman) diserahkan kepada masing-masing majelis hakim sebagai bentuk independensi hakim atau memang ada arahan tertentu,” ujar Arsul, yang juga Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Anggota Komisi III DPR dari Partai Demokrat, Benny K Harman, berharap Komisi Yudisial memeriksa sembilan putusan peninjauan kembali kasus tipikor yang dikabulkan selama 2019. Ia menilai, revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melemahkan KPK ikut berkontribusi pada tren pengurangan hukuman terpidana korupsi.
Tidak semaunya
Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro saat dihubungi mengatakan, jumlah pengajuan PK kasus korupsi yang dikabulkan hanya sebagian kecil ketimbang permohonan PK yang ditolak.
Andi juga menegaskan, tak ada hubungan pengajuan PK atau kasasi oleh beberapa terpidana korupsi dengan momen revisi atau pascarevisi UU KPK. Alasannya, pengajuan PK atau kasasi kasus-kasus tersebut dilakukan sebelum UU KPK direvisi. Data detailnya, menurut Andi, akan disampaikan oleh MA dalam refleksi akhir tahun 2019.
MA, katanya, keberatan apabila dituding semaunya mengurangi hukuman koruptor. Menurut dia, hal yang menentukan berat serta ringannya hukuman atas terdakwa yang terbukti bersalah adalah peran ataupun kadar kesalahan si terdakwa atas perbuatan yang terbukti dilakukannya.
Hakim dilarang undang-undang mengadili atau menjatuhkan pidana kepada terdakwa berdasarkan asumsi atau opini yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Hakim mengadili berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan.
Andi menjelaskan, khusus dalam penanganan perkara korupsi, MA dan lembaga peradilan yang berada di bawahnya melibatkan hakim-hakim yang telah mengikuti pelatihan serta bersertifikat tipikor.
Menurut dia, hal tersebut merupakan bentuk keseriusan MA dalam menangani perkara korupsi. Andi menambahkan, MA memahami bahwa korupsi merupakan musuh bersama yang harus diberantas. Karena itu, pemberantasan korupsi juga termasuk dalam komitmen MA sebagai penegak hukum serta keadilan.
Sementara itu, pengajar hukum pidana Universitas Indonesia, Akhiar Salmi, menilai, secara normatif tidak ada yang salah dengan pengabulan peninjauan kembali yang diberikan hakim agung kepada terpidana korupsi. Namun, putusan itu kontradiktif dengan pernyataan para pejabat negara yang menegaskan berkomitmen untuk menindak tegas perilaku koruptif.
Dalam prinsip menjalankan politik hukum, lanjut Akhiar, seharusnya eksekutif, legislatif, hingga yudikatif mempertimbangkan nilai yang berkembang di masyarakat. Alhasil, perumusan aturan dan penerapan putusan hukum pidana harus disesuaikan dengan harapan publik demi hadirnya pemerintahan yang bersih.
Menurut dia, muncul gap rasa keadilan, yakni antara apa yang diinginkan masyarakat dan apa yang dihasilkan pembentuk undang-undang serta hakim.
Kehilangan inspirasi
Pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Jakarta, Abdul Fickar Hadjar, menuturkan, kecenderungan perubahan paradigma dalam memandang pidana korupsi belakangan ini ikut berpengaruh pada hakim.
”Demikian juga (faktor) pensiunnya hakim agung Artidjo Alkostar yang tidak pernah membebaskan koruptor di MA. Sepertinya tidak ada lagi
faktor penghambat untuk tak menghukum koruptor dengan hukuman maksimal,” kata Fickar.
Ia menyebutkan, dengan demikian, hampir tidak ada lagi figur kuat di MA yang bisa dijadikan inspirasi dan panutan. Fickar mengatakan, ada tren kenaikan pengajuan PK atau kasasi kasus korupsi setelah Artidjo pensiun. Ia mencontohkannya dengan jumlah PK yang diajukan narapidana korupsi pada tahun 2018. Dari total 26 pengajuan, 21 pengajuan disampaikan setelah Artidjo pensiun. Adapun Artidjo pensiun sebagai hakim agung pada 22 Mei 2018.
Sebelumnya, berdasarkan catatan Kompas, pada tahun 2017 dan 2016, jumlah pengajuan PK dari terpidana korupsi sebanyak 17 berkas. Pada tahun 2019, hingga awal November, ada 38 permohonan PK oleh terpidana kasus korupsi.