Balai Adat, Rumah Bersama Dayak Meratus
Balai adat Suku Dayak Bukit berupa rumah panggung dari kayu itu dibuat untuk menampung banyak keluarga. Waktu terus bergulir, kini sebagian keluarga tak lagi tinggal di balai dan memilih membangun rumah pribadi.
Suku Dayak Bukit atau Dayak Meratus di kawasan Pegunungan Meratus memiliki tempat tinggal bersama yang disebut balai adat. Bangunan berupa rumah panggung dari kayu itu dibuat untuk menampung banyak keluarga. Waktu terus bergulir, kini sebagian keluarga tak lagi tinggal di balai dan memilih membangun rumah pribadi.
Sebuah bangunan rumah panggung besar dan panjang di tepi jalan Desa Loklahung, Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, begitu menarik perhatian. Dindingnya dari sasak, tetapi atapnya dari genteng metal.
Di bagian muka yang menghadap ke jalan hanya ada satu pintu. Tepat di depan pintu ada tangga beton dengan lima anak tangga. Di halaman rumah tersebut tertancap plang bertuliskan ”Balai Adat Malaris Desa Loklahung”.
Pagi itu, Sabtu (23/11/2019), pintu Balai Adat Malaris terbuka. Terlihat beberapa anak muda duduk di tangga. ”Kami mahasiswa-mahasiswi dari Banjarmasin. Sudah seminggu di sini dalam rangka kegiatan pengabdian kepada masyarakat,” kata salah seorang mahasiswa.
Selama melaksanakan kegiatan pengabdian kepada masyarakat di Loksado, sekitar 175 kilometer dari Banjarmasin, mahasiswa-mahasiswi itu tinggal di Balai Adat Malaris. Mereka menghuni balai yang sudah tidak dihuni lagi oleh warga Dayak setempat. Warga Dayak Bukit kini tinggal di rumah-rumah pribadi yang dibangun tak jauh dari balai.
Sejak dibangun pada 2007, Balai Adat Malaris tidak pernah menjadi rumah tinggal warga.
Aslan (50), warga Dayak Bukit yang juga Ketua RT 001 Desa Loklahung, mengatakan, warga setempat sudah lama tidak tinggal di balai. Bahkan sejak dibangun pada 2007, Balai Adat Malaris tidak pernah menjadi rumah tinggal warga.
”Balai itu dibangun untuk tempat upacara adat dan berbagai kegiatan atau pertemuan masyarakat adat,” katanya.
Damang atau Kepala Adat Suku Dayak Meratus Kalimantan Selatan Ayal Kusal mengatakan, Balai Adat Malaris merupakan balai adat terbesar di Kalsel. Panjang bangunan balai tersebut 87 meter dan lebarnya 47 meter. Tinggi tiang bangunannya lebih dari 1 meter.
Di Balai Adat Malaris terdapat 42 kamar atau bilik keluarga. Dulu, bilik-bilik di balai seperti itu menjadi tempat tinggal setiap keluarga suku Dayak Bukit. Namun, sekarang, bilik tersebut hanya ditempati keluarga-keluarga yang datang dari jauh atau luar desa saat ada kegiatan aruh atau upacara adat, terutama pada saat aruh ganal (kenduri besar).
”Setiap tahun, kami melaksanakan aruh ganal di Balai Adat Malaris sebagai ungkapan syukur atas hasil panen. Pada saat itu, semua keluarga akan berkumpul di balai adat,” kata Ayal yang kini berusia 77 tahun. Acara aruh ganal biasanya berlangsung selama tiga sampai sembilan hari.
Ada 46 balai di Hulu Sungai Selatan. Balai-balai tersebar di kampung-kampung daerah Loksado. Keberadaan balai itu sangat penting bagi orang Dayak yang menganut aliran kepercayaan Kaharingan.
”Balai bagi penganut Kaharingan itu seperti halnya masjid bagi umat Islam dan gereja bagi umat Kristen. Fungsinya sebagai tempat ritual keagamaan dan upacara adat,” ujarnya.
Tiga ruang
Dalam buku Anatomi Rumah Adat Balai yang diterbitkan Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat bersama Pustaka Banua (2007) dijelaskan, balai secara umum memiliki tiga jenis ruang, yaitu ruang upacara (pematang), ruang duduk (laras), dan bilik milik keluarga (ujuk).
Ruang upacara merupakan ruang sentral pada balai yang menjadi pusat ruang-ruang lainnya. Ruang upacara dikelilingi ruang duduk dan ruang bilik. Ketinggian lantainya lebih rendah sekitar 30 sentimeter daripada ruang duduk yang mengelilinginya. Ruang ini berfungsi sebagai tempat pelaksanaan upacara adat, seperti aruh ganal dan beragam upacara adat lainnya.
Ruang duduk berupa pelataran yang mengelilingi ruang upacara. Ruang ini dilingkupi sederetan ruang-ruang bilik. Ketinggian lantainya lebih tinggi daripada ruang upacara, tetapi lebih rendah daripada lantai ruang bilik. Dari ruang duduk ini, semua penghuni balai dapat berkomunikasi dan berinteraksi.
Selanjutnya ialah ruang bilik yang berupa kamar-kamar berukuran 9-15 meter persegi. Bilik-bilik tersebut umumnya hanya berupa kamar, tetapi ada pula yang terbagi menjadi dua ruang, yaitu kamar dan dapur. Di Balai Adat Malaris, ruang bilik hanya berupa kamar berukuran sekitar 9 meter persegi.
Menurut Ayal, bangunan balai sejatinya hanya dibuat dari kayu dan bambu. Kayu digunakan untuk tiang dan kerangka bangunan, sedangkan bambu digunakan untuk lantai dan dinding. Atapnya juga dari rumbia.
”Semua bahan bangunan diambil dari alam sekitar,” ujarnya.
Namun, seiring perkembangan zaman, material yang digunakan untuk membangun balai juga berubah. Meskipun masih tetap menggunakan kayu dan bambu, atapnya tidak lagi memakai rumbia, tetapi memakai seng.
”Kalau pakai atap rumbia repot juga karena setiap lima tahun harus ganti atap,” kata Aslan.
Perkembangan zaman
Ayal tidak menampik suatu saat nanti bisa saja bangunan balai tak lagi terbuat dari kayu dan bambu, tetapi dari beton, seperti halnya bangunan masjid dan gereja di Loksado saat ini.
”Kalau kayu sudah susah didapatkan, mau bagaimana lagi. Ikut perkembangan zaman saja. Sebab, balai harus tetap ada bagi umat Kaharingan,” tuturnya.
Ketua Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Hulu Sungai Selatan Suriadi mengatakan, masyarakat Dayak Bukit sudah hidup menetap di suatu kampung dan tak lagi berpindah-pindah seperti zaman lampau. Oleh karena itu, masyarakat umumnya tidak lagi tinggal di balai, tetapi tinggal di rumah-rumah pribadi di sekitar balai.
Salah satu balai yang masih ditempati warga Dayak Bukit sampai saat ini adalah Balai Adat Ma’abai di Desa Kamawakan, Loksado. Balai tersebut baru direnovasi sekitar tiga tahun yang lalu. ”Masih ada tujuh keluarga yang tinggal di sana, termasuk kami,” katanya.
Tidak seperti Balai Adat Malaris yang berukuran besar, balai di kampung-kampung warga Dayak Bukit yang lain umumnya berukuran lebih kecil. Ukuran balai rata-rata 20 meter x 30 meter, berdinding dan berlantai papan, serta beratap seng. Namun, tata ruangnya secara umum sama.
”Fungsi balai adat itu juga sama,” ujar Suriadi.
Meskipun saat ini mereka umumnya tak lagi tinggal di balai, warga Dayak Bukit tetap menjaga dan melestarikan keberadaan balai. Pada saat pelaksanaan upacara adat, mereka akan selalu kembali ke balai untuk berkumpul bersama. Walau tidak lagi tinggal bersama, masyarakat Dayak Bukit tetap menjaga kebersamaan.