Deklarasi Kemerdekaan Karya
Piala Citra 2019 diharapkan menjadi penanda kemerdekaan para insan film untuk berkarya. Bisikan sumbang yang konon menentang buah kemerdekaan itu tak lagi jadi soal.
Piala Citra 2019 diharapkan menjadi penanda kemerdekaan para insan film untuk berkarya. Bisikan sumbang yang konon menentang buah kemerdekaan itu tak lagi jadi soal. Pemberian piala berpegang pada satu prinsip sederhana: filmnya bagus.
Pada malam puncak Festival Film Indonesia (FFI) 2019, Minggu (8/12/2019), film Kucumbu Tubuh Indahku adalah bintang. Dari 12 nominasi, delapan Piala Citra berhasil dibawa pulang. Itulah film dengan perolehan piala terbanyak di FFI 2019.
Delapan penghargaan yang berhasil didapat adalah Film Cerita Panjang Terbaik, Sutradara Terbaik, Pemeran Utama Pria Terbaik, Pemeran Pendukung Pria Terbaik, Pengarah Artistik Terbaik, Penyunting Gambar Terbaik, Penata Musik Terbaik, dan Penata Busana Terbaik. Ini juga kali pertama sang sutradara, Garin Nugroho, mendapat anugerah sebagai Sutradara Terbaik FFI.
Prestasi itu lalu dirayakan dengan riuh tepuk tangan publik. Ucapan selamat dengan tagar #KucumbuTubuhIndahku dan #FFI2019 membanjiri linimasa media sosial. Semua bergembira dengan keputusan ”berani” dewan juri dan asosiasi profesi.
Sebelumnya, Kucumbu Tubuh Indahku menuai kontroversi karena dinilai ”mendukung” LGBTQ. Banyak yang menentang, baik organisasi masyarakat maupun pemerintah daerah. Penayangan film ini pun sempat diboikot di beberapa wilayah, antara lain Semarang, Bandar Lampung, dan Depok.
Kucumbu Tubuh Indahku berkisah tentang kehidupan Juno (Muhammad Khan) si penari lengger. Tubuhnya menyimpan banyak trauma yang tertanam sejak belia. Beragam kehilangan dan tragedi yang ia alami selalu berakar dari persoalan tubuh.
Bagi Juno dewasa, tubuhnya menjelma jadi laga pertarungan antara feminitas dan maskulinitas. Kisah ini diilhami dari kisah nyata Rianto, seorang koreografer dan penari yang menekuni tarian Jawa klasik. Cerita tentang Juno dan Rianto ini tidak lepas dari budaya yang menyertai tari lengger, tari tradisional asal Jawa Tengah.
”Saya memandang positif pro dan kontra terhadap film. Tapi, itu hanya akan positif jika publik menonton filmnya. Percuma jika cuma ramai dibicarakan, tapi tidak ditonton. Cerita di film itu sudah ada di sekeliling kita sejak dulu. Kenapa diributkan?” kata kritikus film Yan Widjaya, Kamis (11/12).
Bukan kali pertama
Menurut Yan, ini bukan kali pertama film yang menyajikan pertentangan maskulinitas dan feminitas meraih Piala Citra. Pada FFI 1988, aktor Mathias Muchus meraih penghargaan sebagai Pemeran Utama Pria Terbaik lewat film Istana Kecantikan.
Istana Kecantikan berkisah tentang Nico (Mathias Muchus) yang seorang penyuka sesama jenis. Ia menikahi perempuan hamil, Siska, karena desakan keluarga. Pernikahan tanpa landasan cinta ini nantinya bergejolak.
Terlepas dari kontroversi yang dituai, kualitas sebuah film layak dipandang secara jernih. Bagi Yan, rumusan film bagus itu sederhana. Film bagus adalah film yang bisa membuat penonton menangis sekaligus tertawa.
”Film bagus adalah yang bisa membangun emosi dan menghanyutkan perasaan penonton. Di sisi lain, film itu juga bisa mencerahkan penontonnya dan menyentuh hati,” kata Yan.
Kualitas film ini belum tentu sejalan dengan banyaknya jumlah penonton. Film Kucumbu Tubuh Indahku, menurut Yan, hanya meraih 23.000 penonton di Indonesia sejak tayang pada April 2019.
Film Panjang Terbaik FFI 2018 pun bisa dibilang tidak populer. Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak disebut menjangkau sekitar 100.000 penonton.
Angka itu jauh jika dibandingkan film terlaris di Indonesia, seperti Dilan 1990 (2018) dengan 6.315.664 penonton. Adapun Dilan 1991 (2019) meraih 5.253.471 penonton dan Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 (2016) dengan 6.858.616 penonton. Data ini dihimpun dari filmindonesia.or.id.
Aspek penjurian
Ketua Komite Penjurian FFI 2018-2020 Nia Dinata menjabarkan sejumlah aspek penjurian FFI tahun ini, yaitu kepekaan terhadap prinsip keberagaman, kejernihan gagasan dan tema, kualitas teknis dan estetika, profesionalisme, serta orisinalitas.
”Ini pertama kali keberagaman masuk dalam aspek penjurian FFI. Menurut kami, film bagus Indonesia harus bisa menggambarkan budaya kita yang beragam, hak asasi manusia, dan toleran sesuai prinsip Bhinneka Tunggal Ika,” kata Nia.
Pada FFI 2018, kriteria penjurian mencakup kekuatan tema, keunikan, serta keberanian mengungkapkan gagasan, estetika, dan profesionalisme sebagai pekerja film. FFI 2019 dinilai perlu lebih fokus menjadikan film sebagai media pendukung HAM dan keberagaman. Itu sebabnya, kepekaan terhadap keberagaman jadi aspek penjurian baru FFI. Penilaian pun terlepas dari popularitas sebuah film.
Ketua Komite FFI 2018-2020 Lukman Sardi menggambarkan Piala Citra sebagai kemerdekaan berkarya. Insan film bebas mencipta ide, berdiskusi, dan mengeksekusinya menjadi karya estetis. Karya yang dinilai baik pun akan dihargai melalui trofi.
”Kita punya kemerdekaan berkarya yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945. Bagi para sineas, kami bebas berkarya dalam batasan estetis dan condong pada kualitas,” kata Lukman.
Kualitas itu dipenuhi oleh pemenang tahun ini. Kendati tidak populer di rumah sendiri, Kucumbu Tubuh Indahku telah melanglang buana ke puluhan festival film dunia. Film ini juga mewakili Indonesia di ajang Academy Awards 2020 dalam kategori Best International Feature Film Award (sebelumnya disebut Best Foreign Language Film).
Terlepas dari kontroversi yang ada, film ini telah meraih kemerdekaan. Semoga kemerdekaan yang sama menyertai semua insan film Indonesia.