Dua Bersaudara Didera Penyakit Kulit Langka
Kulit Nadia Lovika (18) dan adiknya, Fika Launa (11), tidak seperti anak-anak umumnya. Di sekujur tubuh mereka ada bercak merah, luka lecet, dan kulit terkelupas.
Kulit Nadia Lovika (18) dan adiknya, Fika Launa (11), tidak seperti anak-anak umumnya. Di sekujur tubuh mereka ada bercak merah, luka lecet, dan kulit terkelupas.
Nadia tidak bisa lagi mengenakan baju karena lukanya cukup parah. Kedua anak itu diduga menderita penyakit kulit langka yang disebut Epidermolysis bullosa.
Sepanjang hari, Nadia dan Fika hanya bisa duduk di kamar kontrakan berukuran 3 meter x 3 meter di Jalan Madang II, Kecamatan Kemuning, Kota Palembang, Sumatera Selatan. Kontrakan di gang sempit itu berada di belakang Rumah Sakit Mohammad Hoesin, Palembang, tempat kedua anak menjalani perawatan sejak tiga bulan lalu.
Nadia tampak ringkih untuk gadis seusianya. Tubuhnya kurus kering, kulitnya bersisik, sebagian besar kulit luar terkelupas. Di beberapa bagian tubuh tampak luka cukup dalam. Sesekali Nadia merintih menahan perih. Tangannya tak berhenti menggaruk kulit untuk mengusir gatal yang mendera. Selaput kulit luarnya merekat sehingga jari-jarinya tak leluasa digerakkan.
Rambut Nadia rontok dan sejak setahun lalu ia mengalami kebutaan karena katarak.
Nadia makin kurus karena kesulitan menelan makanan dan tenggorokannya sakit. ”Dalam dua hari ini, Nadia baru makan sekali,” kata ibu Nadia, Yunani (37). Nadia hanya bisa berbaring atau duduk. Ia tidak kuat berdiri.
Dokter spesialis kulit dan kelamin RS Ernaldi Bahar, Palembang, Indah Permata Sari, mengatakan, dari gejala dan jenis penyakit kulit yang dialami Nadia, kemungkinan dia mengalami Epidermolysis bullosa (EB). Namun, perlu pemeriksaan lanjutan untuk memastikan.
EB adalah penyakit langka akibat kelainan atau mutasi gen keratin atau kolagen yang memengaruhi jaringan ikat. Penyakit ini tidak menular. Di Amerika Serikat, hal ini terjadi pada 1 di antara 20.000 kelahiran.
Kulit dan selaput lendir penderita mudah melepuh hanya dengan gesekan atau trauma ringan. Sejauh ini belum ada obat untuk penyakit ini. Namun, perawatan bisa mengurangi penderitaan dan mengontrol penyakit.
Menurut Indah, pada kasus Nadia, karena sudah berlangsung lama, penyakitnya tergolong parah karena sudah memasuki kulit bagian dalam sehingga berpotensi menimbulkan penyakit komplikasi. EB pada Nadia sudah menjalar ke membran mukosa (lapisan kulit dalam). ”Ini yang membuat Nadia sulit makan,” katanya.
Sejak lahir
Pada Nadia, gejala penyakit sudah terlihat sejak lahir. Ada bercak merah di kakinya seperti cacar. Ketika dimandikan, kulit Nadia terkelupas bersama air. ”Sejak itu, kami menyadari ada yang berbeda dengan Nadia,” kata Yunani.
Yunani memeriksakan Nadia ke bidan desa di tempat tinggalnya, Dusun I, Desa Merbau, Kecamatan Lubuk Batang, Kabupaten Ogan Komering Ilir. ”Saya beri salep dan Nadia sembuh, tetapi tidak beberapa lama kambuh lagi,” ucap Yunani.
Pemberian salep terus dilakukannya sampai Nadia berusia tujuh bulan. Karena harga salep cukup mahal, akhirnya Yunani hanya membeli antibiotik untuk menghilangkan rasa gatal dan nyeri. Selain diminumkan, obat terkadang ditaburkan di kulit yang gatal dan luka.
Nadia sempat mengenyam pendidikan walau agak terlambat. Ia baru masuk sekolah dasar saat berusia delapan tahun. Pendidikannya terhenti di kelas IV SD karena penyakitnya semakin parah dan tidak tahan diejek teman-teman sekolahnya.
”Nadia diejek dan dijauhi temannya karena mereka takut penyakit ini menular,” ujar Yunani. Sejak itu, Nadia jarang keluar rumah.
Karena penyakit anaknya tak kunjung sembuh, Yunani dan suaminya, Zahril Hamid (39), pernah pergi ke dukun. Saat itu harapan sembuh sempat datang karena dukun menjanjikan akan memindahkan penyakit anaknya ke seekor kambing. Namun, ternyata Nadia tetap sakit.
”Kami keluar banyak uang, tetapi penyakit anak saya tak kunjung sembuh,” katanya.
Zahril mengaku telah menjual 4 hektar lahan karetnya untuk membiayai pengobatan kedua anaknya. Kini, tinggal rumah sederhana yang menjadi harta mereka.
”Saya sempat akan menjual rumah itu, tetapi dilarang mertua,” kata Zahril.
Sekarang, dia menjadi buruh penyadap dengan upah Rp 500.000 per dua minggu. ”Kehidupan makin sulit. Harga karet terus turun,” ucapnya.
Melihat kesulitan orangtuanya, Nadia sempat putus asa dan berharap hidupnya berakhir. ”Nadia sering bilang, bunuh saja aku,” kata Yunani dengan mata berkaca-kaca.
Titik terang
Tiga bulan lalu, titik terang muncul saat Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ulu memberikan bantuan pengobatan dan memberikan Kartu Indonesia Sehat bagi Nadia dan adiknya, Fika. Sejak saat itu keduanya menjalani pengobatan secara gratis. Walau telah terbantu, Zahril masih harus memenuhi kebutuhan di luar pengobatan.
Untuk kontrak kamar dekat rumah sakit, Zahril harus mengeluarkan dana Rp 1,2 juta per bulan. Belum lagi biaya makan dan kebutuhan lain.
”Sekarang kami hanya berharap ada bantuan,” katanya. Sejak pindah ke Palembang, Zahril tidak bisa bekerja sebagai buruh kebun karet.
Walau diterpa berbagai keterbatasan, kedua orangtua Nadia dan Fika tetap berusaha agar kedua anaknya sembuh. Dalam waktu dekat, Nadia akan menjalani operasi katarak agar bisa melihat kembali.
”Kami akan berusaha agar anak-anak sembuh. Kami tidak akan pernah berhenti berharap,” kata Zahril.
(Rhama Purna Jati)