Hati Menetap di Sumenep
Sumenep itu deja vu. Begitu banyak sudut yang mengingatkan pada kampung halaman. Dengan begitu, Sumenep menjadi sebuah pengingat bahwa pengembaraan hanyalah cara lain untuk menemukan diri sendiri.
Sumenep itu deja vu. Begitu banyak sudut yang mengingatkan pada kampung halaman. Dengan begitu, Sumenep menjadi sebuah pengingat bahwa pengembaraan hanyalah cara lain untuk menemukan diri sendiri.
Begitu tiba di Sumenep, Madura, Jawa Timur, Senin (9/12/2019) sore, yang pertama kami tuju adalah laut. Sebab, di setiap pesisir, laut kala senja adalah titik paling menyihir. Konon pantai Badur menjanjikan sihir itu. Setidaknya dari foto-foto yang ada di dalam mesin pencari Google.
Beberapa perempuan berhijab berlarian di atas pasir putih tak jauh dari deretan sepeda motor, sementara para pria menarik jaring. Tiga ikan bandeng dan beberapa kepiting yang terjebak jaring diambil pria-pria tadi untuk dipindah ke dalam kantong. Setelah itu, jaring ditebar lagi.
Sembari menunggu ikan- ikan lain terjebak jaring, mereka bermain pasir, berkejaran, bahkan sesekali mereka mengendarai sepeda motor di pasir pantai itu. Kadang ngebut, kadang standing. Pasir putih yang membentang ratusan meter sangat menggoda untuk dijadikan arena bersepeda motor. Katanya, sering kali anak-anak sekitar pantai main bola di sana. Hari itu entah kenapa mereka libur.
Langit yang semula biru kini sedikit memerah seiring matahari rebah. Tak lama kemudian, gumpalan mendung menghalangi sinar matahari melukis langit senja. Suara azan maghrib terdengar dari beberapa masjid di dekat pantai. ”Kami biasa main di sini sampai isya. Apalagi kalau terang bulan begini,” kata Hendrik (29) yang lalu mendongak ke atas pada bulan hampir purnama.
Yusriah (27), istri Hendrik, rupanya tidak setuju dengan rencana itu. Dengan alasan anak mereka, Izam (5), harus ganti baju, karena basah oleh air laut, Yusriah mengajak mereka pulang. Lagi pula, langit senja sedang tidak bagus. Memang, senja sore itu hanya meninggalkan sebercak jingga, sementara sisanya gelap oleh awan. Rombongan sepuluh orang itu pun meninggalkan pantai dengan membawa ikan yang tak seberapa.
Keesokan harinya, kami mencoba peruntungan menjaring senja di sisi lain. Kali ini di Desa Romben Barat, Kecamatan Dungkek. Jika pantai Badur berpasir putih, pantai Romben Barat berkarang. Air laut relatif tenang. Hanya ombak-ombak kecil menggelorakan air laut yang hangat. Saat kaki mencebur, seekor anak kepiting terbirit-birit, lalu sembunyi di balik batu. Mungkin dia menduga ada pemburu.
Langit cerah dan sinar matahari sehangat kopi. Menenangkan hati. Pantulan sinar matahari pada permukaan laut menggoda untuk duduk berlama-lama di atas batu karang yang mencuat. Aroma laut menjalar dari hidung, lalu menyusup ke gudang ingatan.
Silih berganti berkelebat wajah-wajah kanak-kanak kawan di kampung yang biasa menemani mencari kerang, kepiting, atau tiram di pantai utara Jawa. Jaraknya sekitar 226 kilometer dari Sumenep, tepatnya di Lamongan, tempat saya lahir dan tumbuh hingga remaja.
Laut adalah tempat saya dibesarkan. Berada di laut menyesapi aromanya, hangat airnya, dan teduh matahari senja, seolah pulang ke kampung halaman, tempat membasuh penat dan lelah di jiwa. ”Kami ke pantai juga untuk senang-senang saja. Kalau kerja lagi kosong, kami selalu main ke laut,” kata Mamad menguatkan impresi saya tentang laut.
Di Romben Barat, cahaya senja tak secantik harapan.
Perlahan awan hitam datang dan mengelabukan senja. Senja sore itu seolah mengingatkan tentang hidup bahwa tidak semua yang kita harapkan sebangun dengan kenyataan. Yang terpenting, tetap tak patah arang dan berusaha mencari jalan agar kenyataan menjelma seperti harapan.
Etos Saronggi
Selain senja, wajah paling ramah matahari adalah kala fajar. Lembut sinarnya selalu mengirim bahagia.
Pagi harinya, Pantai Tanjung Saronggi, sekitar 19 kilometer dari pusat kota, menjadi tujuan. Semburat jingganya sudah terlihat di ufuk timur.
Cahaya masih terang tanah saat sebuah perahu bersandar menurunkan puluhan warga berselimut sarung. Mereka adalah warga dari Pulau Genteng atau Gili Genting yang hendak bekerja di Sumenep. Perjalanan mereka tempuh selama sekitar satu jam. Artinya, sebelum subuh harus sudah berangkat. ”Kalau ketinggalan perahu bisa telat kerja,” kata salah satu dari rombongan itu.
Pagi itu juga beberapa perempuan berjalan dan menceburkan diri ke laut menghampiri perahu suaminya yang bersandar. Mereka mengangkut dua keranjang besar berisi hasil laut, seperti ikan dan simping, sementara suami mereka membersihkan perahu. Para nelayan ini pergi melaut kemarin sore dan pulang subuh. Hasilnya lumayan jika diuangkan, bisa sampai Rp 600.000, kata perempuan tadi, Siti (34).
Melihat orang-orang bekerja keras, memberi semangat untuk tak lelah berusaha. Adegan pagi itu seperti menyuntikkan harapan bahwa kita tak pernah sendirian banting tulang. Mari tiru Siti yang meyakini bahwa siapa bekerja keras, cerah harinya.
Matahari perlahan muncul hingga bulat sempurna. Cahaya lembutnya melatarbelakangi Siti memikul keranjang yang keenam. Siluetnya mempercantik pemandangan. Pagi itu, saya menemukan wajah Madura yang sempurna di Saronggi.
Yang juga mengingatkan kampung halaman adalah pohon siwalan atau nira. Di Sumenep ini, jumlah pohon siwalan sangat banyak tumbuh di tanah merah. Warga biasanya mengolah buahnya untuk campuran minuman dan air siwalan untuk legen atau lahang. Rasanya manis segar. Air pohon siwalan ini kadang direbus hingga mengental dan mengeras menjadi gula.
Siang itu, sembari menunggu tetesan air lahang terkumpul, kami menyeberang dari daratan Sumenep ke Gili Yang. Dengan menyeberang menggunakan perahu, butuh waktu sekitar 30 menit untuk bisa mencapai daratan yang berjuluk ”Pulau Oksigen” karena konon mempunyai kandungan oksigen tinggi. Begitu setidaknya hasil kajian beberapa lembaga, salah satunya Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).
Menyusuri jalan kampung dengan sepeda motor, sepanjang jalan ribuan pohon siwalan menjulang di antara hamparan tanah merah menunggu hujan datang. Aroma tanah merah kering terpapar matahari, lagi-lagi mengingatkan pada kampung halaman.
Gili Yang menyuguhkan banyak kejutan. Salah satunya keramahan warga. Saat tiba di salah satu titik pengukuran kandungan oksigen, Nariyah, pria berusia senja menjabat erat lalu dia bilang, ”Kopi toto, kopi toto.”
Maksudnya dia menawari kopi yang ditumbuk pakai alu. Kopi robusta ini sedap sekali. Mungkin karena keramahan pria tadi.
Kejutan lainnya, begitu tiba di salah satu tepi pantai berbatu, terdapat tumpukan tulang belulang ukuran raksasa. Sepotong tulang panjangnya bisa sampai 4 meter. ”Ini bagian kepalanya,” kata Mamad, warga yang beristirahat di gubuk dikelilingi tulang belulang itu.
Dia mengisahkan, tulang tersebut diangkut dari laut sekitar tujuh tahun lalu setelah sebelumnya selama berpekan- pekan warga terpapar aroma tak sedap. Aroma itu berasal dari bangkai paus yang terdampar dan mati.
Sepulang dari Gili Yang, kami menyeruput lahang. Duh, segarnya. Saking segar dan nagihnya, kami membawa serta tiga botol lahang untuk bekal perjalanan pulang. Pulang untuk kembali. Sebab, Sumenep adalah kampung halaman.