Milenial di Jiwa Tua Blues
Tampang Josh (15) tampak semringah. Setelah lama mengantre, dia berhasil mendapat tanda tangan sang gitaris idola, Paul Gilbert, di atas gitar listrik kesayangan warisan kakeknya.
Tampang Josh (15) tampak semringah. Setelah lama mengantre, dia berhasil mendapat tanda tangan sang gitaris idola, Paul Gilbert, di atas gitar listrik kesayangan warisan kakeknya.
Kata remaja berkacamata ini, sesampainya di rumah nanti, dia akan melapisi tanda tangan Gilbert di atas gitar listrik Ibanez Artist Series AR 105 AV 1984 warna coklat tua itu dengan spray khusus agar permanen dan tak mudah pudar.
Gilbert adalah salah satu dari sejumlah musisi asing, yang tampil di ajang Jakarta Blues International Festival 2019, pada 7-8 Desember lalu. Dia dikenal sebagai gitaris grup hard rock Mr Big. Selain Gilbert juga hadir Ken Hensley, gitaris band rock gaek asal Inggris, Uriah Heep, Ron ”Bumblefoot” Thal, mantan gitaris Guns N’ Roses, dan band rock The Calling.
Tiga panggung didirikan di area festival. Yang terbesar, panggung Vintage, dibangun di dalam gedung. Adapun dua lainnya, panggung Iconic dan Crossroad, dibangun di area tempat parkir. Selain musisi asing, sejumlah local heroes juga terlibat, seperti The Rollies, Gugun Blues Shelter, Blues Libre, Adrian Adieoetomo, dan Edwin Marshall.
”Aku suka musik blues, rock, dan juga musik heavy atau trash metal. Kalau rock dan blues sih tahunya juga dari orangtua. Juga dari cari-cari sendiri di Youtube atau Spotify,” ujar Josh, Sabtu (7/12/2019) malam.
Blues sendiri dikenal sebagai genre musik yang lahir abad ke-19 dari kalangan komunitas masyarakat keturunan Afrika di pedalaman selatan Amerika Serikat. Beberapa pihak bahkan mengaitkannya dengan masa ketika perbudakan masih dilegalkan di ”Negeri Paman Sam” itu.
Musik blues identik dan kerap dipakai mengekspresikan kesedihan serta perasaan tertekan, terutama oleh kalangan kulit hitam. Selain itu, blues juga dijadikan sebagai lagu-lagu gospel pemujaan terhadap Tuhan. Blues meroketkan beberapa nama besar musisi, seperti Louis Armstrong, (1901-1971), BB King (lahir tahun 1925), dan Ray Charles (1930-2004).
Dapat diduga, kebanyakan penonton di Jakarta Blues International Festival 2019 sudah berusia 30-an tahun ke atas. Kehadiran Josh dan beberapa teman sebayanya selama dua hari pergelaran menjadi ”warna” berbeda dibandingkan kebanyakan penonton dan penampil di atas panggung.
Namun, pada hari kedua festival, tampil pula di panggung band Satria & The Monster yang beranggotakan personel belia. Walau masih terbilang abege, kualitas permainan mereka boleh diadu dengan musisi seniornya.
Sang vokalis sekaligus lead gitar, Achmad Satria Abdullah (16), bahkan masih duduk di bangku kelas 1 SMA. Satria tampil bersama dua saudara kandungnya, Muhammad Dimas Jamal Mahdi (20) pada drum dan Andi Muhammad Iwan Norman (22) pada bas.
Bertiga mereka lumayan sukses membuat penonton banyak berkumpul di depan panggung, ikut bergoyang dan bernyanyi. Raungan serta lengkingan petikan dawai gitar listrik Satria, yang terdengar lentur mendayu-dayu khas musik blues, terasa mampu mengubah atmosfer festival menjadi lebih punya roh.
Mereka membawakan satu lagu karangan sendiri, ”Pasti Bisa” yang juga sudah diunggah ke platform musik digital. Dalam waktu dekat, Satria & The Monster juga akan membuat album perdana, terdiri atas beberapa lagu ciptaan sendiri. Album itu juga akan di unggah ke platform musik digital.
”Kami sudah menetapkan diri untuk serius menjadi band blues walau sekali-sekali juga masih main dan bikin lagu pop,” ujar Dimas, sang basis. Ayahnya adalah pemain bas pengiring musisi pop era 1980-an mendiang Pance Pondaag.
Kenal dari gim
Perkenalan kakak beradik Satria, Dimas, dan Iwan dengan musik blues justru berawal dari sebuah konsol permainan elektronik, Guitar Hero.
”Saat main Guitar Hero kami mendengar dan tertarik dengan lagu (blues) Stevie Ray Vaughan, judulnya ’Texas Flood’. Dari situ kami lantas coba ngulik dan mainkan sendiri. Eh, kok enak. Sebelumnya juga suka main musik rock 1980-an seperti The Police. Papa juga ngenalin ke Deep Purple dan Led Zeppelin,” ujar Dimas.
Ketiganya juga aktif manggung di pentas-pentas sekolah. Namun, mereka mengaku tak banyak rekan sebaya yang paham musik blues. Bagi kebanyakan rekan sebayanya, genre musik itu identik dengan musik orang tua atau berjiwa tua.
Namun, bukan berarti peserta pentas seni di sekolah-sekolah ataupun kampus-kampus tak bisa menikmati lagu-lagu blues yang dibawakan. Satria punya kiat tersendiri. Sebelum menampilkan lagu-lagu blues, mereka terlebih dahulu membawakan lagu-lagu pop kekinian.
”Baru deh diselipin lagu-lagu blues. Mereka yang menonton sih kelihatan enjoy aja. Ikut menikmati dan goyang-goyang walau mungkin sebenarnya enggak paham bener apa itu blues. Tetapi enggak masalah juga sih,” ujar Dimas.
Masalah regenerasi dan keberlanjutan suatu genre musik, baik dari sisi penikmat maupun musisinya, memang akan selalu menarik untuk disimak dan diikuti.
Saat hal itu ditanyakan ke sejumlah musisi, khususnya Paul Gilbert, Bumblefoot, atau musisi blues dalam negeri, Gugun, dari Gugun Blues Shelter, mereka mengaku tak terlalu khawatir.
Menurut Gilbert, seperti juga dirinya, pengetahuan dan kesenangan akan musik blues bisa didapat dari sumber mana saja. Saat kecil dirinya berkenalan dan terpapar musik blues melalui sejumlah koleksi kaset dan piringan hitam milik sang ayah.
Dia jatuh cinta pada musik blues lantaran lewat musik itu dia merasa bisa berdialog, terutama lewat gitar sebagai instrumen utamanya.
”Ada miliaran orang di dunia. Kalaupun hanya ada 1 persen dari mereka menyukai blues, saya yakin genre musik ini akan terus ada. Anak-anak sekarang mungkin merasa aneh mendengar blues karena bukan datang dari masa mereka. Namun, di antara mereka pasti ada juga yang suka seperti saat saya remaja dahulu,” ujar Gilbert.
Sementara Ron ”Bumblefoot” Thal optimistis generasi kekinian akan tetap mengenal dan mencintai genre musik satu itu. Apalagi, perkembangan teknologi informasi dan media sosial memudahkan mereka mengakses dan mendapatkan banyak referensi terkait.
Pendapat senada disampaikan Gugun, vokalis Gugun Blues Shelter. Ia yakin, walau peminatnya tak terlalu besar, musik blues akan selalu ada. Namun, jika ingin musik blues lestari, musisi blues modern harus produktif menghasilkan karya baru untuk terus diwariskan ke generasi lebih muda.
Gugun dan bandnya tampil pada hari kedua di Iconic Stage, membawakan 11 lagu dari album-albumnya. Beberapa lagunya adalah ciptaan sendiri, seperti ”When I See You Again” dan ”Funky Chicken”.
Sebelumnya, pada hari pertama festival, baik Paul Gilbert maupun Bumblefoot, keduanya menggelar Accoustic Masterclass dan Blues Coaching. Di ajang ini masing-masing berbagi teknik dan pengalaman bermain gitar untuk diajarkan kepada penonton.
Pada hari kedua festival, Gilbert dan Bumblefoot, bersama bintang utama The Calling dan Ken Hensley, unjuk kebolehan di atas panggung. Bumblefoot mengawali penampilannya dengan membawakan lagu ”Indonesia Raya” dengan instrumental permainan gitarnya. Gilbert juga membawakan lagu dari band Mr Big yang telah membesarkan namanya.