Negosiasi untuk mengurangi laju pemanasan global menemui jalan buntu. Dunia kembali kehilangan waktu untuk mengatasi masalah itu.
Oleh
Ahmad Arif dari Madrid, Spanyol
·4 menit baca
MADRID, KOMPAS — Negosiasi iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa di Madrid menemui jalan buntu dan tidak ada tandanya kesepakatan untuk menurunkan laju pemanasan global. Jika tidak ada kesepakatan, negosiasi iklim akan dilanjutkan dalam pertemuan tahun depan. Ini berarti, dunia kembali kehilangan waktu untuk segera mengatasi laju pemanasan global.
Demonstrasi yang terjadi di dalam dan di luar kompleks pertemuan iklim (UNFCCC-COP25) dari kelompok sipil dan remaja berbagai negara ini tidak mampu menggerakkan para pemimpin politik untuk membuat kesepakatan yang progresif.
Pertemuan yang harusnya selesai pada Jumat (13/12/2019) malam waktu setempat kembali dilanjutkan pada Sabtu (14/12) pagi. Meski demikian, tetap tanpa tanda-tanda bakal ada kesepakatan untuk mencegah kehancuran dan mengatasi dampak pemanasan global yang telah melanda banyak negara.
Setelah dua minggu pertemuan iklim UNFCCC-COP25 di Madrid, para negosiator terjebak dalam perselisihan terkait tentang bagaimana menerapkan Perjanjian Paris 2015 untuk mengurangi laju pemanasan global dan mengatasi dampak yang sudah terjadi.
”Kita hanya memiliki beberapa jam lagi untuk mencapai kesepakatan,” kata Andrés Landerretche, Koordinator Kepresidenan COP25, pada konferensi pers Jumat. ”Kami akan tetap berada di lokasi selama yang diperlukan.”
Perjanjian Paris
Negosiasi selama dua minggu terakhir dimaksudkan untuk menyelesaikan mekanisme Perjanjian Paris 2015 yang seharusnya akan mulai dijalankan pada 2020. Satu rintangan besar adalah belum adanya aturan seputar pasar karbon internasional berdasarkan Pasal 6 Perjanjian Paris.
Sebagian besar negara sebenarnya hampir menyetujui pedoman tersebut. Tetapi, pada hari Jumat, Carlos Manuel Rodríguez, Menteri Energi dan Lingkungan Kosta Rika, mengungkapkan, Amerika Serikat, Brasil, dan Australia ternyata menghalangi kesepakatan mengenai masalah ini. Amerika Serikat sebelumnya juga sudah menyatakan akan keluar dari Perjanjian Paris.
Mekanisme perdagangan karbon ini dianggap penting untuk mengatur tentang mekanisme pendanan pembangunan rendah karbon. Misalnya, bagaimana memulihkan hutan hujan tropis yang dapat bertindak sebagai penyerap karbon dioksida.
Chile yang memimpin perundingan kemudian mencoba mengajukan draf terakhir untuk disepakati. Namun, draf yang diajukan ini justru dikritik karena dianggap tidak progresif.
”Saya telah menghadiri negosiasi iklim ini sejak pertama kali dimulai tahun 1991, tetapi saya belum pernah melihat kesenjangan seperti yang pernah kita saksikan saat ini antara apa yang dibutuhkan oleh ilmu pengetahuan dan permintaan masyarakat dunia, dan apa yang disampaikan oleh negosiator iklim,” kata Alden Meyer, kebijakan khusus iklim di Union of Concerned Scientists.
Meyer mengatakan, rancangan saat ini tidak mencerminkan peringatan mendesak dari para ilmuwan bahwa emisi gas rumah kaca harus turun tajam, dan segera, untuk menjaga pemanasan global hingga 1,5 derajat celsius pada akhir abad ini. Menurut data saintifik, jika tak segera diatasi, tren emisi global saat ini akan menempatkan dunia pada jalur kenaikan suhu 3-4 derajat celsius pada tahun 2100 dengan konsekuensi yang berpotensi menghancurkan kehidupan.
Direktur Eksekutif Greenpeace International Jennifer Morgan, yang menghadiri setiap pertemuan COP, mengatakan, ”Pertemuan COP kali ini sangat buruk karena saya melihat semakin banyak penekanan atau pengaruh perusahaan bahan bakar fosil daripada yang seharusnya.”
Selain penurunan emisi, kendala lain yang masih tersisa adalah seputar persoalan ”kehilangan dan kerusakan”, yang berdasarkan Pasal 8 Perjanjian Paris, hal ini dimaksudkan untuk memberikan kompensasi kepada negara-negara berkembang atas kerusakan berkelanjutan yang disebabkan oleh perubahan iklim.
Dukungan adaptasi
Ketika negosiasi di kalangan para politisi cenderung tersendat, para ilmuwan dan lembaga keuangan multinasional menunjukkan gerak lebih progresif. Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) bersama sejumlah lembaga lain meluncurkan Alliance for Hydromet Development untuk mendukung negara-negara berkembang dan tertinggal membangun ketahanan terhadap dampak bencana alam yang disebabkan oleh cuaca ekstrem.
”Ilmu pengetahuannya jelas menunjukkan suhu rata-rata global telah meningkat sebesar 1,1 derajat sejak periode pra-industri, dan sebesar 0,2 derajat celsius dibandingkan dengan 2011-2015,” kata Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas.
Selain WMO, aliansi ini juga didukung sejumlah lembaga pendanaan, seperti African Development Bank, Asian Development Bank, European Bank for Reconstruction and Development, Global Environment Facility, Green Climate Fund, Islamic Development Bank, United Nations Development Programme, United Nations Environment Programme, World Bank, dan World Food Programme.
Taalas mengatakan, tindakan iklim yang ambisius mengharuskan negara-negara memiliki sistem peringatan dini dan layanan informasi iklim yang dapat diandalkan. ”Banyak negara berkembang menghadapi kendala kapasitas untuk menyediakan layanan ini. Aliansi ini menjadi kendaraan untuk secara kolektif meningkatkan dukungan kami kepada yang paling rentan,” katanya.