Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diminta untuk tidak tergesa-gesa dengan rencana membangun jaringan kereta ringan (LRT) rute Pulogadung-Kebayoran Lama.
Oleh
Helena F Nababan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diminta untuk tidak tergesa-gesa dengan rencana membangun jaringan kereta ringan (LRT) rute Pulogadung-Kebayoran Lama.
Aditya Dwi Laksana, Ketua Bidang Perkeretapian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Minggu (15/12/2019), menjelaskan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus mengkaji betul potensi penumpang, ketersediaan dana, juga integrasi antarmoda di rute tersebut.
Di saat bersamaan, PT Jakarta Propertindo selaku BUMD yang ditugasi membangun LRT rute Rawamangun-Kelapa Gading juga tengah mengupayakan perpanjangan rute LRT itu menjadi Rawamangun-Kelapa Gading-Jakarta International Stadium (JIS).
Di sisi lain, Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan tengah menyelenggarakan lelang konsultan untuk mendapatkan konsultan yang akan mendetailkan trase MRT timur-barat di wilayah DKI Jakarta. Adapun trase MRT itu berimpitan dengan sebagian jalur LRT Pulogadung-Kebayoran Lama.
Hingga kini, Pemprov DKI belum memiliki izin penetapan trase. Pemprov DKI akan mengajukan permohonan rekomendasi trase ke Kementerian Perhubungan pada awal 2020.
Merunut ke belakang, pada 2015, Pemprov DKI Jakarta pernah menerbitkan Keputusan Gubernur Nomor 1859 Tahun 2015 tentang Penetapan Rencana Jalur Indikatif Kereta Api Ringan Light Rail Transit. Dalam kepgub itu ada tujuh rencana jalur indikatif yang ditetapkan, di antaranya jalur Kebayoran Lama-Kelapa Gading dan Tanah Abang-Pulo Mas. PT Pembangunan Jaya disebut sebagai pihak yang memprakarsai tujuh rencana jalur itu.
Dalam perkembangan, sesuai kebutuhan untuk Asian Games 2018, maka rute yang dibangun adalah Kelapa Gading-Velodrome/Rawamangun. Yang membangun pun bukan PT Pembangunan Jaya, melainkan PT Jakarta Propertindo.
Kalau sekarang Pemprov DKI mau membangun lagi berdasarkan jalur indikatif lama yang diprakarsai Pembangunan Jaya, menurut Aditya, Pemprov DKI tidak boleh tergesa-gesa karena perkembangan yang terjadi sudah sangat dinamis.
Membangun jaringan kereta ringan itu, lanjut Aditya, memiliki kompleksitas tinggi. Kajian mendalam diperlukan terkait kebutuhan perjalanan warga di rute Pulogadung-Kebayoran Lama itu.
Soal ketersediaan dan kepastian dana, imbuhnya, juga tak kalah penting. ”Jangan sampai nanti direncanakan seperti itu ternyata mampunya hanya membangun dari Pulogadung-Senen. Lho, ini mungkin sekali, lho. Kalau mampunya cuma Pulogadung-Senen, maka nasibnya tidak akan jauh dari LRT Jakpro.
Atau dibangun dari Kebayoran Lama ternyata mampunya hanya sampai Tanah Abang. Itu diganti KRL komuter saja bisa. Maksud saya, ketersediaan dana itu sudah seberapa jauh,” ucapnya.
Hal ketiga yang mesti dipahami Pemprov DKI Jakarta adalah melihat perkembangan moda lain yang direncanakan dibangun, termasuk MRT timur-barat.
Seperti yang dijelaskan Direktur Perkeretaapian Ditjen Kereta Api Kemenhub Heru Wisnu Wibowo, trase yang berimpitan antara MRT dan LRT akan terjadi mulai dari Jalan Perintis Kemerdekaan hingga Sarinah. Itu membuat koridor tidak akan efektif.
Aditya juga menambahkan, dari dua moda angkutan berbasis rel yang trasenya berimpitan itu, ia melihat MRT lebih optimal sebagai angkutan umum. Utamanya karena karakteristik MRT bersifat massal dan cepat (mass dan rapid). Juga, MRT mampu menghubungkan dari pinggir kota ke kota.
”MRT lebih optimal menarik minat penumpang dibandingkan dengan LRT yang karakteristiknya tidak massal dan tidak rapid,” ucap Aditya.
Lalu, dengan perkembangan hari ini, ia juga meminta DKI mengkaji detail bagaimana LRT akan berintegrasi dengan KRL di Stasiun Pasar Senen atau Stasiun Tanah Abang atau malah dengan MRT Jakarta fase 2 nantinya.