Asa Kesetaraan bagi Kaum Disabilitas
Kepedulian dan empati masyarakat terhadap penyandang disabilitas di Indonesia terhitung tinggi. Namun, cara pandang lama jadi kendala terwujudnya kesetaraan bagi mereka. Kehadiran negara dan kesadaran masyarakat diperlukan untuk menghilangkan stigma dan menjauhkan kaum disabilitas dari perlakuan tak adil.
Penyandang disabilitas yang dulu disebut penyandang cacat terhitung besar jumlahnya. Di tingkat global, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2015 memperkirakan, lebih dari 1 miliar orang atau sekitar 15 persen dari populasi penduduk dunia adalah penyandang disabilitas.
Adapun di Indonesia, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) 2018 mengelompokkan disabilitas dalam tiga kategori. Kategori anak umur 5-17 tahun, 3,3 persennya mengalami disabilitas. Proporsi disabilitas pada usia dewasa (18-59 tahun) sebesar 22,0 persen.
Sementara disabilitas lansia (60 tahun ke atas) dibagi dalam empat kategori. Dalam kategori ini, sebanyak 22 persen warga lansia mengalami disabilitas hambatan ringan, 1,1 persen hambatan sedang, 1 persen hambatan berat, dan 1,6 persen mengalami ketergantungan total.
Interaksi
Masyarakat umumnya lebih mengenal disabilitas fisik dibandingkan disabilitas intelektual, mental, dan sensoris. Itu juga tampak dari pengalaman dan pengakuan responden jajak pendapat Kompas pada awal Desember lalu.
Dalam interaksi keseharian, 40 persen responden lebih sering berjumpa dengan penyandang tunanetra. Adapun sepertiga responden lain lebih sering melihat penyandang tunadaksa. Jenis penyandang tunawicara dijumpai oleh 10 persen responden.
Selain itu, hampir 60 persen responden pernah berinteraksi langsung dengan penyandang disabilitas. Sebanyak 36 persen di antaranya pernah berinteraksi di ruang publik, seperti di sekolah, tempat ibadah, dan pusat perbelanjaan.
Selebihnya, mereka berinteraksi di keluarga (13,4 persen) dan saat mengunjungi panti penyandang disabilitas (7,8 persen). Setidaknya 16 persen responden mengatakan memiliki kerabat penyandang disabilitas. Dari kelompok responden tersebut, seluruhnya mau menerima dan mendukung kehidupan disabilitas dengan tangan terbuka.
Interaksi
Pengalaman berinteraksi dengan penyandang disabilitas acap kali menumbuhkan empati di tengah masyarakat. Kepedulian itu tampak dari kesediaan mereka mau membantu penyandang disabilitas yang kurang diperhatikan, seperti dinyatakan oleh 93 persen responden.
Dari angka tersebut, hampir separuh responden menyatakan siap membantu kehidupan penyandang disabilitas. Selain itu, sisanya bersedia menghubungi pihak lain, seperti meminta bantuan pengurus RT/RW dan dinas sosial, saat menemukan penyandang disabilitas yang kurang diperhatikan.
Di ranah publik, kepedulian masyarakat tampak dalam kesediaan membantu penyandang disabilitas yang kesulitan untuk mengakses infrastruktur kota, seperti dinyatakan oleh hampir semua responden. Mereka siap membantu penyandang disabilitas yang kesulitan menyeberang jalan ataupun naik angkutan umum.
Di bidang lapangan kerja, mayoritas responden (86 persen) bersedia menerima pekerja disabilitas jika mereka mempunyai usaha. Hanya sebagian kecil 10 persen yang menyatakan sebaliknya. Namun, kepedulian dan rasa simpati yang tinggi dari masyarakat itu acap kali belum diimbangi dengan tindakan konkret yang memberdayakan kaum disabilitas. Dalam keseharian, mereka masih rentan mendapat perlakuan tak adil dan dianggap sebagai kelompok masyarakat yang berbeda.
Dalam hal pekerjaan, misalnya, 83 persen responden mengungkapkan, tempat kerjanya belum pernah mempekerjakan penyandang disabilitas. Kesulitan mendapatkan pekerjaan ini juga terungkap dari kisah Aris Prawoto (49), peserta Focus Group Discussion (FGD) Penyandang Disabilitas yang digelar Kompas 7 Desember lalu. Ia menceritakan sulitnya mendapat pekerjaan sebagai penyandang tunarungu. Dari 10 perusahaan yang dilamar saat itu, tidak ada yang mau menerimanya sebagai karyawan.
Kesulitan mengakses pekerjaan formal di perusahaan sepertinya juga dialami jutaan penyandang disabilitas lain. Dunia lapangan kerja masih sedikit memberi peluang, sebaliknya memberi persyaratan sangat tinggi bagi penyandang disabilitas. Imbasnya, penyandang disabilitas lebih banyak bekerja di sektor informal.
Tak hanya dalam mencari pekerjaan, dalam kegiatan lingkungan sekitar, para penyandang disabilitas acap kali juga kurang dilibatkan. Hanya sekitar 40 persen responden yang pernah melihat kaum disabilitas dilibatkan dalam kegiatan masyarakat.
Cara pandang Lama
Nuansa tidak setara bagi penyandang disabilitas tersebut tampaknya tak lepas dari cara pandang lama masyarakat yang menganggap kaum disabilitas sebagai kelompok masyarakat yang tidak berdaya dan cacat. Padahal, dalam perspektif kemanusiaan, mereka bukan orang sakit, melainkan masuk dalam kelompok berkebutuhan khusus.
Cara pandang lama itu juga tampak dari apa yang terlintas di benak responden saat mendengar kata ”penyandang disabilitas”. Hampir 42 persen responden mengasosiasikan istilah disabilitas dengan ”tidak berdaya atau kasihan”. Adapun sebanyak 23 persen menyebutnya dengan ”cacat”.
Istilah ”tidak berdaya” dan ”cacat” menggambarkan bahwa di benak responden, penyandang disabilitas adalah orang yang dianggap tidak mampu dan hanya dipandang sebelah mata. Hal itu menjadi pemicu konstruksi sosial yang berkembang di masyarakat saat ini.
Responden yang mengasosiasikan positif penyandang disabilitas hanya 31 persen. Dari angka tersebut, responden menyebutkan kata ”pemberdayaan” (16,4 persen) dan ”kesetaraan” (14,6 persen). Cara pandang baru ini lebih menunjukkan bahwa kelompok disabilitas bukan kaum tidak mampu, melainkan memiliki kemampuan yang berbeda untuk melakukan aktivitasnya.
Masih kuatnya cara pandang lama ini secara langsung ataupun tidak langsung bisa berdampak pada kehidupan sehari-hari kelompok disabilitas, baik saat bersekolah, mendapatkan pekerjaan, maupun berkeluarga. Gambaran seperti itu bisa memunculkan perlakuan yang tidak setara atau diskriminatif oleh masyarakat. Kondisi tersebut berpotensi membuat kaum disabilitas akan semakin merasa tertekan, terpuruk, dan tidak berdaya.
Belum memadai
Upaya pemerintah melindungi dan memenuhi hak-hak bagi penyandang disabilitas ditanggapi beragam oleh responden. Untuk lima bidang, yakni pelayanan kesehatan, akses kesehatan, akses informasi, perlindungan hukum, dan sosial, tanggapan responden terbelah. Sebagian mengapresiasi, tetapi sebagian yang lain menilai sebaliknya.
Bagi responden yang menilai positif, penerbitan Undang-Undang tentang Penyandang Disabilitas dinilai membuka peluang perbaikan pemenuhan hak-hak dan perlakuan setara bagi penyandang disabilitas. Salah satunya, pemerintah telah meluncurkan kartu identitas disabilitas pada tahun 2018. Di tingkat daerah, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membagikan tunjangan khusus bagi penyandang disabilitas sebesar Rp 300.000 tiap bulan.
Di bidang pendidikan, pemerintah menerapkan pendidikan inklusif bagi kaum disabilitas. Di bidang kesehatan, para penyandang disabilitas mendapatkan pelayanan Jaminan Kesehatan Khusus (Jamkesus) disabilitas terpadu.
Namun, bagi responden yang menilai belum memadai, pemerintah belum sepenuhnya memenuhi hak-hak dasar penyandang disabilitas. Di bidang pendidikan, misalnya, kendati pendidikan inklusif telah diterapkan, kenyataannya penyelenggaraan pendidikan inklusif di lapangan belum sepenuhnya sesuai dengan pedoman penyelenggaraan yang ditetapkan.
Di bidang layanan kesehatan, kesenjangan pelayanan kesehatan terhadap penyandang disabilitas dianggap masih tinggi. Pemerintah juga dianggap masih minim memberdayakan kaum disabilitas pada dunia kerja, seperti disampaikan oleh 70 persen responden. Menurut data Kementerian Sosial tahun 2012, sebanyak 74 persen penyandang disabilitas tidak bekerja.
Perhatian pemerintah juga dianggap masih minim untuk akses keuangan bagi penyandang disabilitas. Hal itu disampaikan oleh 61 persen responden. Hal itu disebabkan kurangnya literasi keuangan bagi penyandang disabilitas dan sistem industri keuangan yang belum aksesibel bagi penyandang disabilitas.
Pada akhirnya, keberpihakan kepada penyandang disabilitas perlu terus ditumbuhkan agar tercapai kehidupan yang sejahtera, mandiri, dan tanpa diskriminasi. Mari kita berusaha memahami para penyandang disabilitas sebagai dukungan bagi mereka untuk bisa setara, berkembang, dan terlibat dalam kehidupan bermasyarakat. (LITBANG KOMPAS)