Mengenang Geger Pecinan dan Pesan Persatuan…
Kota Batavia menyimpan sejarah kelam genosida etnis Tionghoa pada abad ke-18, antara lain, akibat strategi adu domba pemerintah kolonial Belanda. Jakarta diingatkan kembali agar tidak mengulangi hal serupa.
Kota Batavia menyimpan sejarah kelam genosida etnis Tionghoa pada abad ke-18. Salah satu penyebabnya adalah strategi adu domba pemerintah kolonial Belanda. Sembari mengenang peristiwa kelam itu, Jakarta diingatkan kembali agar tidak mudah terpecah belah.
Di sebuah panggung dengan latar belakang kantor gubernur jenderal Belanda, drama kolosal bertajuk Langgam Hati dari Negeri Tirai Bambu dipentaskan, Sabtu (16/11/2019). Di Plaza Museum Sejarah Jakarta itu, drama yang menceritakan keragaman etnis pada masa penjajahan Belanda abad ke-18 ditampilkan. Tempat itu pula yang menjadi saksi kekuasaan otoriter dan korupnya Pemerintah Belanda.
Baca juga : Dari Kota ”Buangan” Menuju Kota Aerotropolis
Saat itu, Batavia dikuasai kongsi dagang Belanda atau Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Di sisi lain, sebagai kota pelabuhan, Batavia juga didatangi dan sudah dihuni oleh berbagai etnis Eropa, Arab, India, Tionghoa, dan masyarakat lokal.
”Pada abad ke-18, Batavia sudah bermasalah dengan kependudukan. Gubernur jenderal pada masa itu mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi etnis Tionghoa yang dinilai sudah terlalu banyak,” ujar Yahya Andi Saputra, budayawan Betawi yang menjadi narator drama tersebut.
Baca juga : Kota-kota Cerdas di Dunia yang Sesak
Pemerintah Belanda kala itu memang sangat eksklusif dan menjaga kehidupan di dalam benteng. Etnis lain, seperti warga lokal, Arab, India, China, dan Eropa di luar Belanda, tinggal di luar benteng. Masyarakat China yang terkenal dengan etos kerja, kecerdikan, serta mampu menggerakkan roda ekonomi pun mendapat diskriminasi. Etnis Tionghoa distigma sebagai perampok dan pembuat kerusuhan. Stigma dibuat untuk memecah belah warga lokal dan etnis Tionghoa. Lebih jauh lagi, itu adalah strategi Belanda untuk menguasai perekonomian di Batavia.
Windoro Adi dalam buku Batavia 1740: Menyisir Jejak Betawi terbitan tahun 2010 menyebutkan, Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen membangun armada ke Batavia dengan bantuan orang-orang China. Orang China saat itu di bawah kepemimpinan Kapitan Souw Beng Kong. Bahkan, arsitek air Kapitan Phoa Beng Gam ikut mengembangkan Batavia.
Baca juga : Dialog Warga dan Stasiun Kereta
Phoa berjasa membuat kanal yang kemudian disebut Kali Molenvliet pada tahun 1648. Kehadiran kanal tersebut membuat denyut perekonomian di Batavia semakin kencang. Sebab, kali dipenuhi kapal pedagang dan petani. Phoa Beng Gam kemudian dipercaya untuk memecah Kali Ciliwung dan membuat kanal untuk transportasi air serta pengairan perkebunan tebu di Batavia.
Di buku yang sama juga dijelaskan, setelah tercipta sistem kanal, usaha perkebunan dan penggilingan tebu berkembang dan dikerjakan oleh etnis Tionghoa. Kapitan Lim Kim Kwa diberi lisensi oleh VOC untuk mendirikan dua pabrik penggilingan gula di Batavia.
Baca juga : Taman Ria dan Sisa Ceria Jakarta
Usaha perkebunan dan penggilingan tebu kemudian juga berkembang di daerah Bekasi. Meluasnya perkebunan tebu di Batavia ini juga menandai keemasan ekonomi Batavia tahun 1690-1730. Pendapat lain, era keemasan VOC juga ditandai dengan jumlah kedatangan kapal dari China yang mencapai puncaknya tahun 1731-1740. Jumlah kapal yang berkunjung bisa mencapai 23 kapal dagang rata-rata.
Geger Pecinan
Begitu besarnya kontribusi dan etos kerja orang China membuat Gubernur Jenderal Belanda Adriaan Valckenier yang berkuasa pada 1737-1741 membuka keran imigrasi kaum China. Gelombang imigrasi yang begitu besar itu akhirnya tidak hanya membawa tenaga kerja, tetapi juga kriminal. Jumlah imigran membengkak melebihi lapangan kerja yang ada. Situasi ini menyulut masalah baru bagi Pemerintah Batavia.
Kemudian, Pemerintah Belanda dan aparatusnya yang otoriter mulai bertindak sewenang-wenang. Gubernur Jenderal Belanda Adriaan Valckenier mencetuskan untuk membantai etnis Tionghoa. Apalagi, saat itu Valckenier juga korup. Ia memeras orang Tionghoa untuk memperkaya diri sendiri. Jika orang Tionghoa tak mau membayar upeti, mereka akan dipindahkan ke Sri Lanka atau dijebloskan ke penjara.
Awalnya, pemindahan etnis Tionghoa ke Sri Lanka adalah untuk mengurangi populasi masyarakat yang sudah padat di Batavia. Etnis Tionghoa dikirim dengan kapal laut ke wilayah koloni lain, seperti Sri Lanka dan Afrika. Namun, muncul rumor bahwa sebelum sampai di tujuan, etnis Tionghoa dilempar ke laut. Isu itu meresahkan para etnis Tionghoa di Batavia kala itu. Struktur ekonomi yang kacau, ketidakpastian, dan keputusasaan membuat mereka mudah terhasut. Akhirnya, banyak yang terseret menjadi penjahat jalanan untuk melawan pemerintah VOC yang korup.
Tepatnya pada 9 Oktober 1740, situasi memanas. Orang-orang Tionghoa di Batavia mulai mempersenjatai diri dan melawan kediktatoran Belanda. Lalu, muncul insiden perlawanan antara etnis Tionghoa kepada tentara Belanda di daerah Meester Cornelis (Jatinegara) dan Tanah Abang. Gubernur jenderal marah, kemudian mengirimkan 1.800 tentara untuk membalas perlawanan etnis Tionghoa.
”Terjadi perang dan pembantaian massal etnis Tionghoa selama 13 hari pada saat itu. Tidak kurang dari 10.000 orang dibantai, yang kemudian dikenal dengan peristiwa Geger Pecinan atau Geger Tionghoa,” ucap Yahya.
Situasi di Batavia saat itu sangat mencekam. Jalan-jalan dan gang dipenuhi mayat. Bahkan, sungai pun dipenuhi bangkai manusia. Kali yang saat ini dinamakan Kali Angke berwarna merah karena dipenuhi mayat dan bangkai, hingga aliran airnya berwarna merah. Mayat yang menumpuk di kanal tersebut akhirnya menimbulkan wabah penyakit kolera, yang memaksa pusat pemerintahan mundur ke selatan.
Tepatnya pada 9 Oktober 1740, situasi memanas. Orang-orang Tionghoa di Batavia mulai mempersenjatai diri dan melawan kediktatoran Belanda. Lalu, muncul insiden perlawanan antara etnis Tionghoa kepada tentara Belanda di daerah Meester Cornelis (Jatinegara) dan Tanah Abang.
Melestarikan keberagaman
Deputi Gubernur Bidang Pariwisata Dadang Solihin mengatakan, peristiwa kelam yang terjadi di Jakarta pada masa lalu menjadi indikator penguat kebangsaan Indonesia. Dengan mengingat Geger Pecinan, diharapkan kekuatan persatuan warga semakin kental. Ia juga berharap masyarakat melihat sisi positif dari kegiatan tersebut.
”Angle yang dilihat harus dari sisi positifnya. Ini, kan, tujuannya supaya persatuan kita lebih kuat,” kata Dadang.
Ia berpendapat, sejarah sekelam apa pun jangan pernah dilupakan. Justru hal itu bisa menjadi pelajaran bagi kami di masa depan. Bangsa-bangsa yang besar, menurut Dadang, justru maju dan bangkit karena mengakui kesalahan dan tidak melupakan akar sejarahnya.
”Jepang dan China maju karena tidak melupakan akar sejarahnya. Kami harus mencontoh itu,” kata Dadang.
Sekretaris Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Asiantoro menjelaskan, pergelaran seni drama kolosal itu merupakan rangkaian dari acara Pergelaran Pecinan Batavia 2019. Tujuannya, untuk melestarikan keanekaragaman budaya di Ibu Kota, termasuk budaya Tionghoa.
”Keragaman budaya menjadikan Jakarta semakin kaya akan seni dan budaya, salah satu yang menarik adalah budaya Tionghoa. Acara ini menjadi salah satu upaya untuk melestarikan keanekaragaman budaya di Ibu Kota, termasuk budaya Tionghoa,” ujar Asiantoro.
Pergelaran Pecinan Batavia 2019 dipersembahkan untuk masyarakat memperkaya pengetahuan, wawasan seni, dan budaya Tionghoa. Pada acara ini, Disparbud berkolaborasi dengan komunitas Tionghoa dengan menampilkan unsur-unsur budaya Tionghoa melalui keberagaman budaya dan kreativitas para seniman. Para pemain drama kolosal Pergelaran Pecinan Batavia 2019 menampilkan cerita tentang etnis Tionghoa dalam kehidupan keseharian masyarakat etnis Tionghoa di Batavia.
Selain pagelaran drama kolosal, ada juga penampilan barongsai, gambang kromong, plate spinning, komunitas gangsing, dan gambus yang menampilkan kekayaan budaya. Para pengunjung juga dapat mencicipi kuliner khas Jakarta dan masakan Tionghoa di berbagai stan yang ikut berpartisipasi di acara ini.
Apresiasi pun muncul dari para penonton yang memadati Museum Sejarah Jakarta malam itu. Penonton berlesehan sembari menonton pertunjukan yang berlangsung lebih kurang dua jam. Rendi (30), penonton dari kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, mengatakan, pertunjukan drama kolosal tentang Geger Pecinan sangat bagus. Dia yang hanya mendengar cerita soal pembantaian tersebut bisa membayangkan apa yang terjadi pada masa itu. Apalagi, dia juga mengajak anak dan istrinya ikut serta menonton drama tersebut. Dia ingin menanamkan pendidikan sejarah kepada keluarganya.
”Penasaran dengan acara Festival Pecinan itu apa. Ternyata drama kolosalnya bagus,” kata Rendi.
Sementara itu, Dwi (32) juga menyukai pesan yang disampaikan dalam drama kolosal itu. Dalam drama tersebut ditekankan pesan bahwa masyarakat harus terus menjaga persatuan dan kesatuan dalam keberagaman etnis. Menurut dia, pesan itu masih relevan, apalagi setelah masa Pilkada DKI dan pilpres yang memanas sebelumnya.
”Bagus banget pesannya karena kami semua harus menjaga persatuan dalam perbedaan suku, agama, ras, dan lain-lain,” kata Dwi.
Kini, tiga abad telah berlalu. Batavia menjadi saksi perkembangan tradisi dan kebersamaan antarmanusia yang berbeda latar belakang. Jakarta kini masih menjadi persinggahan orang-orang asing yang datang dan pergi. Jakarta juga menjadi miniatur Indonesia dengan keberagaman dan banyaknya identitas yang singgah. Belajar dari sejarah kelam, semakin modern Jakarta, seharusnya semakin toleran, beradab, dan inklusif. Jakarta jangan lagi mudah dipecah belah oleh isu SARA.