Indonesia telah meratifikasi konvensi tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas yang diikuti pengesahan UU Penyandang Disabilitas. Namun, stigmatisasi dan diskriminasi membuat mereka tertinggal dalam pembangunan.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
Indonesia telah meratifikasi konvensi tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas yang diikuti pengesahan UU Penyandang Disabilitas. Namun, stigmatisasi dan diskriminasi membuat mereka tertinggal dalam pembangunan.
JAKARTA, KOMPAS — Mewujudkan pembangunan inklusif masih menjadi pekerjaan besar bangsa Indonesia. Meski telah ada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, stigmatisasi dan diskriminasi di berbagai bidang kehidupan masih dialami penyandang disabilitas.
Menurut Survei Penduduk Antarsensus Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2015, terdapat 21,84 juta penyandang disabilitas atau 8,56 persen dari total jumlah penduduk. Riset Kesehatan Dasar 2018 mendata, sebanyak 3,3 persen anak (usia 5-17 tahun) menyandang disabilitas. Karena berbagai faktor, termasuk sulit mengakses pendidikan, sebagian besar anak yang menyandang disabilitas itu tidak sekolah.
Berdasarkan data Unicef (2016), sebanyak 67 persen anak dengan disabilitas di Indonesia tidak bersekolah. Hal ini diperkuat data Survei Ketenagakerjaan Nasional (Sakernas) 2016 yang menunjukkan 45,74 persen penyandang disabilitas tidak pernah/tidak lulus SD.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional 2017 juga menyebutkan, 5,14 persen anak disabilitas usia 7–17 tahun tidak/belum pernah sekolah.
Di Indonesia, seperti halnya di banyak negara berkembang, penyandang disabilitas memiliki akses pendidikan yang rendah, yang menyebabkan mereka sulit mengakses sumber daya ekonomi.
”Di Indonesia, seperti halnya di banyak negara berkembang, penyandang disabilitas memiliki akses pendidikan yang rendah, yang menyebabkan mereka sulit mengakses sumber daya ekonomi, sehingga tingkat kemiskinan yang mereka alami lebih tinggi dibandingkan masyarakat yang tidak mengalami disabilitas,” kata Bahrul Fuad, Konsultan Disabilitas dan Inklusi Sosial Program Peduli, kepada Kompas akhir pekan lalu di Jakarta.
Pendidikan yang inklusif juga masih jauh dari harapan. Untuk penyandang disabilitas mental, misalnya, anak-anak dengan down syndrome (DI) hampir selalu ditolak masuk sekolah umum, bahkan di sekolah negeri pun ditolak. ”Kalau tahu anak yang mendaftar adalah anak DI, sekolah memang tak serta-merta menolak, tapi meminta orangtua menunjukkan hasil tes IQ anak” ujar Dewi Tjakrawinata, pendiri Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia (Yapesdi).
Akses pekerjaan
Dengan pendidikan yang rendah, penyandang disabilitas sulit mengakses pekerjaan, dan hidup dalam lingkaran kemiskinan. Mereka yang berpendidikan dan mempunyai keterampilan pun tidak selalu mudah mendapatkan pekerjaan. Karena kondisi fisik mereka, mereka dianggap tidak mampu melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh bukan penyandang disabilitas.
Sejumlah penyandang disabilitas yang ditemui Kompas mengungkapkan betapa sulitnya mengakses pekerjaan yang layak bagi mereka, baik sebagai pegawai negeri sipil (PNS) maupun pegawai swasta. Peluang dan kuotanya sangat kecil.
Ketika peluang dibuka pun, penyandang disabilitas harus ekstra berjuang untuk sampai pada tahap diterima sebagai pegawai/karyawan. Meski sudah lulus/lolos seleksi, belum tentu mereka mendapatkan pekerjaan yang sesuai harapan.
Peluang dan kuotanya sangat kecil. Ketika peluang dibuka pun, penyandang disabilitas harus ekstra berjuang untuk sampai pada tahap diterima sebagai pegawai/karyawan.
Mahreta Maha (38), penyandang disabilitas netra, lulusan Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Jakarta, misalnya, melamar untuk menjadi pegawai tetap di sebuah perusahaan BUMN. Namun, dia hanya diterima sebagai pekerja kontrak waktu tertentu di bagian call center. ”Saya melamar saat Forum Human Capital Indonesia (FHCI) menyelenggarakan tes pelamar kerja BUMN untuk disabilitas,” katanya.
Apa yang dialami Mahreta itu, menurut Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia Maulani Rotinsulu, menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah untuk penyandang disabilitas masih setengah hati. ”Saat BUMN membuka lowongan pekerjaan untuk penyandang disabilitas melalui FHCI, yang dipersiapkan hanya cara rekrutmen. Namun, BUMN tidak dipersiapkan untuk mampu berinteraksi dengan calon pekerja,” ujar Maulani.
Padahal, UU Penyandang Disabilitas mewajibkan perusahaan negara menerima penyandang disabilitas minimal dua persen dari seluruh karyawan. Adapun di perusahaan swasta minimal satu persen dari total karyawan.
Banyaknya penyandang disabilitas yang belum bisa mandiri karena belum mendapatkan pekerjaan, antara lain, terlihat di Kota Surabaya. Dinas sosial setempat setiap hari memberikan makanan kepada sekitar 9.500 penyandang disabilitas yang belum mampu bekerja.
Penelantaran anak-anak penyandang disabilitas pun masih terjadi. Di Surabaya masih banyak anak-anak penyandang disabilitas yang dibuang keluarganya di jalan. ”Mereka ditemukan Satuan Polisi Pamong Praja Kota Surabaya lalu dirawat di Lingkungan Pondok Sosial Kalijudan dan diberikan keterampilan agar mandiri. Dari 50 anak berkebutuhan khusus di tempat ini, sekitar 90 persen berasal dari jalanan,” ujar Kepala UPTD Kalijudan Nanik Winarsih.
Infrastruktur yang memadai dan ramah disabilitas juga masih minimal. Fasilitas layanan publik, seperti jalur pedestrian, gedung perkantoran yang tidak menyiapkan ramp (jalan miring), termasuk layanan anjungan transaksi mandiri, masih banyak sulit diakses penyandang disabilitas.
Ketua Dewan Pengurus Cabang Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia Kota Banjarmasin Slamet Triadi menemukan masih ada jalur kuning untuk memandu penyandang disabilitas (guiding block) yang menabrak pohon di Kota Banjarmasin. Hal ini juga masih didapati di Jakarta.
Dirjen Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Edi Suharto mengakui bahwa sebagian besar penyandang disabilitas di Indonesia belum dapat mengakses layanan yang dibutuhkan karena tidak memiliki kartu tanda penduduk, sebagai akibat belum terdata. Akibatnya, banyak penyandang disabilitas yang masih mengalami keterlantaran dan perlakuan salah.
Dia mengatakan, masalah dalam pembangunan inklusi disabilitas sebagaimana diamanatkan UU Penyandang Disabilitas adalah bagaimana memberikan kesempatan yang seluasnya bagi penyandang disabilitas dalam pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi program.
(ERWIN EDHI PRASETYA / IQBAL BASYARI / COKORDA YUDISTIRA / FADJAR RAMADAN / YOLA SASTRA / JUMARTO YULIANUS, SONYA HELLEN SINOMBOR)