Perdana Menteri Inggris Boris Johnson diperingatkan bahwa Skotlandia tidak bisa ditahan untuk tetap berada dalam naungan Inggris Raya.
Oleh
BENNY DWI KOESTANTO
·3 menit baca
LONDON, MINGGU -- Menteri Utama Skotlandia Nicola Sturgeon memperingatkan Perdana Menteri Boris Johnson bahwa dirinya tak dapat melawan keinginan Skotlandia dan mempertahankan wilayah itu tetap berada di Inggris Raya. Isu referendum untuk menuntut kemerdekaan di Skotlandia mencuat lagi setelah Partai Nasional Skotlandia (SNP) meraup 48 dari 59 kursi di Parlemen Inggris dalam pemilu pada pekan lalu.
Johnson dan pemerintahannya telah berulang kali mengatakan pihaknya tak akan memberikan referendum baru bagi kemerdekaan Skotlandia. Namun, menurut Sturgeon, perolehan kursi partainya di Parlemen Inggris dalam pemilu terbaru merupakan bentuk mandat bagi SNP. ”Jika dia (Johnson) berpikir bahwa mengatakan ’tidak’ adalah akhir dari masalah ini, dia akan tahu dirinya sepenuhnya salah,” kata Sturgeon dalam program Andrew Marr Show di BBC.
Sturgeon menegaskan, Inggris dan Johnson tak dapat menahan Skotlandia tetap dalam naungan Inggris Raya jika kemerdekaan sudah menjadi misi Skotlandia. Apabila Johnson percaya diri dengan posisi Inggris Raya, menurut Sturgeon, Johnson seharusnya justru siap dan terbuka menggelar referendum itu. ”Biarkan Skotlandia memutuskan,” katanya.
Berkat kemenangan Konservatif pada pemilu pekan lalu, Johnson mendapatkan pintu keluarnya Inggris dari Uni Eropa semakin terbuka. Namun, selain harus merampungkan proses Brexit itu, dirinya kembali dihadapkan pada gejolak tuntutan baru untuk referendum Skotlandia. Halaman depan surat kabar Skotlandia, The Scotsman, edisi Sabtu, misalnya, menampilkan foto-foto Johnson dan Sturgeon selaku pimpinan Partai SNB di halaman muka. Tajuk utama media itu berbunyi, ”Two landslides, one collision course”.
Beda aspirasi
SNP menentang Brexit dan menginginkan Skotlandia merdeka dari Inggris Raya. Sturgeon, yang juga pemimpin SNP, menyatakan, kemenangan empatik partainya membuktikan ”bentuk masa depan yang diinginkan mayoritas warga di Skotlandia berbeda dari yang dipilih warga Inggris lainnya”.
SNP selama beberapa dekade memperjuangkan kemerdekaan Skotlandia. Perjuangan itu hampir terwujud pada 2014 saat Skotlandia menggelar referendum untuk memisahkan diri dari Inggris. Saat itu, kubu yang ingin tetap bertahan di Inggris menang 55 persen berbanding 45 persen suara pihak yang ingin berpisah.
Referendum pada waktu itu dinyatakan sebagai keputusan satu kali dalam satu generasi. Namun, SNP berargumentasi, Brexit mengubah segalanya. Ditegaskan, gara-gara Brexit, Skotlandia dipaksa untuk keluar dari UE, sesuatu yang tidak mereka inginkan.
Jumat lalu, Sturgeon menegaskan, Johnson ”tak mempunyai mandat apa pun untuk membawa Skotlandia keluar dari UE”. Ia menambahkan, Skotlandia harus bisa menentukan sendiri masa depannya melalui referendum baru.
Sejarawan Tom Devine menyebut, Inggris tengah menghadapi ”krisis konstitusional yang belum pernah terjadi sebelumnya” saat Johnson menolak tuntutan referendum di Skotlandia. Secara politis dan hukum, katanya, inilah sebuah kebuntuan.
Tanpa persetujuan Pemerintah Inggris, referendum tidak mengikat secara hukum. London bisa mengabaikan hasil referendum itu—jika Skotlandia tetap menggelarnya—seperti saat Pemerintah Spanyol mengabaikan referendum Catalonia tahun 2017.