Nilai perdagangan yang terdampak pembatasan impor oleh negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia naik 27 persen setahun terakhir. Hal itu dinilai menjadi alarm bagi Indonesia untuk memperkuat strategi pengamanan perdagangan nasional.
JAKARTA, KOMPAS Berdasarkan laporan Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO, nilai perdagangan negara-negara anggota WTO yang terdampak hambatan impor mencapai 747 miliar dollar AS selama kurun pertengahan Oktober 2018 hingga pertengahan Oktober 2019. Angka itu naik 27 persen dibandingkan dengan tinjauan pada tahun sebelumnya yang tercatat 588 miliar dollar AS.
Laporan dibahas dalam pertemuan Badan Tinjauan Kebijakan Perdagangan pada Kamis (12/12/2019). Laporan mencatat bahwa pembatasan perdagangan baru dan meningkatnya ketegangan perdagangan menambah ketidakpastian perdagangan dan ekonomi dunia.
Direktur Pengamanan Perdagangan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Pradnyawati menyatakan, pemerintah tengah memperkuat strategi perdagangan. ”Melonjaknya nilai tersebut menandakan proteksionisme perdagangan dunia kian meningkat,” katanya saat dihubungi, Jumat pekan lalu.
Strategi eksternal, kata Pradnyawati, berorientasi pada pembelaan produk Indonesia baik di tingkat bilateral, regional, maupun multilateral. Secara internal, pemerintah memperbaiki kebijakan-kebijakan yang berpotensi tidak sejalan dengan ketentuan WTO. Khusus produk pertanian dalam negeri, pemerintah memberikan perlindungan, seperti pengenaan tarif bea masuk.
Diplomasi
Diplomasi yang lebih kuat dan aktif dinilai sangat menentukan peran Indonesia dalam pergaulan global. Sebaliknya, diplomasi yang lemah membuat posisi Indonesia tidak diperhitungkan. Kasus diskriminasi Uni Eropa terhadap minyak kelapa sawit Indonesia menjadi contoh menarik pentingnya kekuatan diplomasi.
Co-founder Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Peter Frans Gontha, dalam pidato kunci ”Indonesia’s Economic and Political Outlook 2020”, Jumat pekan lalu, menyatakan, Indonesia membutuhkan diplomasi yang lebih ofensif. ”Kasus diskriminasi kelapa sawit oleh Uni Eropa adalah contoh betapa penting diplomasi yang lebih ofensif,” ujarnya.
Country Economist Bank Pembangunan Asia Emma R Allen menambahkan, kekuatan diplomasi juga diperlukan untuk membangun mitra-mitra baru Indonesia di tengah ketidakpastian global akibat perang dagang Amerika Serikat dan China. Sejauh ini, Vietnam cukup berhasil mengambil manfaat. Hal itu terlihat dari tingginya investasi asing yang masuk ke Vietnam.
Salah satu fundamen Indonesia yang harus diperbaiki, menurut anggota Dewan Pakar Himpunan Penyewa Pusat Belanja Indonesia (Hippindo), Yongky Susilo, adalah regulasi dan perizinan, khususnya di daerah. Rumitnya perizinan dan regulasi yang menimbulkan ketidakpastian menjadi salah satu penghambat masuknya investasi ke Indonesia. Padahal, investasi dibutuhkan untuk memperluas penciptaan lapangan kerja.
Ketidaksinkronan regulasi di tingkat pusat dan daerah, menurut ekonom senior Bank Mandiri, Andry Asmoro, menyebabkan iklim investasi tersendat. Apalagi, sekitar 30 persen dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara mengalir ke daerah-daerah. Masalah itu menyebabkan dampak aliran dana yang besar ke daerah terbilang minim.
”Masalah lain adalah persyaratan konten lokal. Saat investasi asing masuk, mereka mengeluhkan sulitnya mendapat bahan baku. Jadi, masalah ini juga harus dicarikan jalan keluar untuk menarik masuk investasi asing ke Indonesia,” ujar Andry.
Perkuat UMKM
Terkait situasi ekonomi global yang melambat, termasuk di Indonesia, pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dinilai semakin relevan. Caranya, antara lain, dengan mempermudah akses permodalan dengan memanfaatkan teknologi finansial.
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Muhammad Chatib Basri, berpendapat, melihat pengalaman krisis ekonomi pada 1998, pelaku usaha yang bertahan di Indonesia adalah UMKM. ”Dalam situasi ekonomi yang melambat, maka yang perlu didorong adalah UMKM sebagai mesin pertumbuhan, salah satunya dengan teknologi finansial,” ujarnya.
Teknologi digital berperan penting membuka akses pembiayaan UMKM. Bagi mereka yang penting bukan besaran bunganya, melainkan kemudahan akses mendapat pinjaman. Pendiri dan CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra menyatakan, Amartha telah menyalurkan pinjaman senilai Rp 1,7 triliun.
Pinjaman itu disalurkan ke kaum perempuan atau ibu-ibu di perdesaan rata-rata Rp 500 juta per desa. Menteri Komunikasi dan Informatika 2014-2019 Rudiantara berpendapat, masalah UMKM pertama-tama adalah permodalan. (JUD/APO/NAD)