Gubernur Larang Masyarakat Beraktivitas di Habitat Harimau
›
Gubernur Larang Masyarakat...
Iklan
Gubernur Larang Masyarakat Beraktivitas di Habitat Harimau
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru mengimbau pemerintah daerah dan kota untuk menginstruksikan warganya tidak beraktivitas di habitat harimau.
Oleh
Rhama Purna Jati
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS - Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru menginstruksikan warga menghentikan kegiatan di habitat harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae). Hal ini menyusul banyaknya konflik satwa dalam dua bulan terakhir di Kabupaten Lahat dan Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan. Pembukaan lahan hutan lindung terjadi sejak puluhan tahun lalu dan sampai kini masih terjadi.
Herman mengimbau pemerintah daerah dan kota untuk menginstruksikan warganya tidak beraktivitas di habitat harimau. Aturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah jelas, yakni tidak boleh beraktivitas di hutan lindung yang menjadi habitat sejumlah satwa.
”Harimau merupakan hewan langka yang memiliki habitat untuk menjalani kehidupannya. Kita harus jaga itu,” ujar Herman, Selasa (17/12/2019). Sejumlah perusahaan yang beroperasi di dekat hutan lindung diminta menyediakan jalur khusus bagi harimau sebagai tempat pelintasan. ”Jika peraturan daerah mendesak diperlukan, saya akan menandatangani,” katanya.
Harimau merupakan hewan langka yang memiliki habitat untuk menjalani kehidupannya.
Konflik dengan satwa tidak hanya menimbulkan korban luka ataupun korban jiwa, tetapi juga berdampak pada merosotnya pariwisata di Kota Pagar Alam. Perlu tindak lanjut untuk mengembalikan kepercayaan wisatawan agar kembali berwisata ke Kota Pagar Alam.
Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Dempo Ardiansyah Fitri mengatakan, pihaknya berupaya keras mencegah masyarakat merambah hutan lindung. Namun, terkendala sarana dan prasarana. Hutan lindung di KPH Dempo terbagi dua, kata Ardiansyah.
Blok inti, seluruhnya di Hutan Lindung Bukit Jambul Gunung Patah, luasnya 10.878,38 hektar. Sementara luas blok pemanfaatan 15.186,34 hektar di Hutan Lindung Bukit Dingin (2.280,35 hektar) dan Hutan Lindung Bukit Jambul Gunung Patah (12.905,98 hektar). Dia menuturkan, pembukaan lahan di hutan lindung terjadi sejak puluhan tahun lalu. Bedanya, dulu pembukaan lahan dilakukan secara arif dan tidak brutal. ”Ada proses penanaman kembali sehingga lahan tidak kritis,” ujarnya. Saat ini, pembukaan lahan dilakukan secara serampangan oleh para pendatang.
Ardiansyah mengakui , belum optimal mengawasi aktivitas di hutan. Penyebabnya, polisi hutan hanya satu orang, tidak sebanding dengan luas hutan lindung. Karena itu, pihaknya bekerja sama dengan masyarakat setempat yang memiliki izin usaha hutan kemasyarakatan (HKm) di blok pemanfaatan.
Ada tujuh HKm di kawasan pemanfaatan. Lahan itu ditanami sejumlah komoditas, terbanyak kopi. ”Kami memastikan konflik satwa dan manusia tidak terjadi di kawasan HKm,” ujarnya. Terdapat pula dua izin pinjam pakai kawasan hutan, yakni untuk irigasi dan perusahaan panas bumi.
Konflik umumnya terjadi di kawasan hutan lindung. Sejumlah spanduk peringatan dipasang di beberapa kawasan rawan untuk mencegah konflik satwa kembali terjadi. Kepala Seksi Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah II Lahat Martialis Puspito menuturkan, dalam beberapa kasus, konflik terjadi di hutan lindung yang merupakan habitat harimau. Pemantik konflik di antaranya penebangan liar di hutan lindung untuk dialihfungsikan sebagai perkebunan.
Akibatnya, habitat harimau semakin tergerus. Di sisi lain, sumber pangan untuk harimau juga menyusut akibat perburuan liar. Di kawasan hutan seharusnya terdapat babi, kijang, kambing hutan, dan sejumlah satwa lain sebagai mangsa harimau.