Saat ini, banyak mahasiswa yang dengan sukarela terlibat dalam kegiatan sosial. Malahan, sebagian dari mereka mendapat pengalaman tak terlupakan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
Berbagi dengan sesama lewat beragam aktivitas sosial ternyata menarik minat mahasiswa. Di tengah kesibukan kuliah, sejumlah mahasiswa dengan semangat dan rela hati memberikan waktu bagi berbagai aktivitas pelayanan sosial, ada yang dilakukan bersama teman-teman kampus maupun langsung bergabung dengan masyarakat.
Tak hanya menyisihkan waktu dan tenaga, terkadang mahasiswa yang jadi relawan dalam kegiatan sosial harus merogoh uang dari kantung sendiri untuk bisa mendukung lancarnya kegiatan yang berbasis sukarela. Namun, kebahagiaan berbagi dengan sesama membuat hitung-hitungan menjadi tak berarti. Memberi dan berbagi kebaikan ternyata dirasakan indah dan memberikan banyak pelajaran berharga dalam hidup.
Di tengah kesibukan menyusun skripsi, Dina Adi Sayekti, mahasiswa program studi hubungan internasional di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Jumat (27/11/2019) menyempatkan dirinya untuk menjadi penerjemah bagi Anissa Restu Dewi, mahasiswa penyandang bisu tuli yang kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta. Tugas kuliah dari dosen untuk mewawancarai komunitas Deaf Art Community yang kini berganti nama Bawayang di Yogyakarta pada 2017, membuat hatinya merasa terpanggil untuk menjadi “telinga” bagi penyandang bisu tuli.
“Pas mau wawancara, penerjemah datang telat. Jadinya komunikasi dengan penyandang tuli yang mau ditanya-tanya jadi susah. Dari situ, aku mikir, kenapa tidak aku bisa terlibat jadi penerjemah bahasa isyarat,” cerita Dina.
Untuk bisa menjadi teman pendamping dan penerjemah bagi komunitas tuli, Dina merogoh kocek sendiri untuk kursus bahasa isyarat secara formal. Berinteraksi langsung dengan penyandang bisu tuli, membuat Dina semakin terlatih untuk menjadi penyambung lidah yang memudahkan komunikasi dengan mereka.
“Aku jadi pendamping mahasiswa tuli yang kuliah di kampus di Yogyakarta. Kadang juga menjadi penerjemah sejumlah penyandang tuli yang ikut seminar. Dengan Annisa baru kenal, tapi aku punya waktu untuk mendampingi dia, ya senang saja. Mereka aku anggap teman. Sampai ada yang curhat sih,” ujar gadis asli dari Pacitan, Jawa Timur ini.
Terlibat dalam kegiatan sosial memberi banyak ruang untuk melatih skill sesuai bidang yang digeluti hingga pada penguatan soft skills. Bagas Wikantayasa, mahasiswa Ilmu Komunikasi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, bergabung dengan Komunitas Bule Mengajar di daerah asalnya, di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, sejak 2015. Komunitas ini mendatangkan orang-orang asing dari berbagai negara untuk datang ke sekolah-sekolah di Kulon Progo dan berinteraksi dengan anak-anak sekolah dalam bahasa inggris.
“Aku ikutan di seksi desain dan dokumentasi, sekalian menerapkan ilmu yang dipelajari di kampus. Aku dapat banyak pengalaman berinteraksi dengan orang bule dan masyarakat di daerahku. Tak kalah penting, aku bisa berpartisiapasi dalam kegiatan sosial di Kulon Progo yang bersifat positif, baik untuk saya sendiri maupun masyarakat Kulon Progo,” kata Bagas.
Di kampus, kesempatan untuk terlibat kegiatan baksos juga tersedia. Lewat unit kegiatan mahasiswa Pramuka, Novi Berlianti, mahasiswa semester 5 Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, Semarang, bisa ikut kegiatan baksos 4-5 kali dalam setahun. Dalam rangka hari ulang tahun ke-41 Pramuka Undip, pada Oktober lalu, Novi terlibat dalam kegiatan bakti lingkungan menanam mangrove. Lalu, di November lalu ikut menyosialisasikan tanggap bencana dan bersih-bersih lingkungan.
“Seru ya bisa berinteraksi langsung dengan masyarakat. Bisa nambah ilmu dan relasi,” ujar Novi yang terlibat di bidang hubungan masyarakat.
Tak terlupakan
Terlibat di kegiatan baksos ternyata bisa meninggalkan kesan yang mendalam dalam diri mahasiswa. Bahkan, ada yang mengaku jadi momen tak terlupakan sehingga merasa rugi jika cuma sekali saja ikutan.
Riska Farisa, mahasiswa semester 7 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, sudah beebrapa kali ikut kegiatan baksos yang digelar Dewan Mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta. Terakhir di Februari lalu, Riska ikut baksos di Desa Capar, Brebes, Jawa Timur. “Baksos di desa seru. Meskipun fasilitas desa tidak memadai dan jauh dari kota. Belum lagi sinyal susah sehingga enggak bisa menghubungi orang rumah. Tapi, aku enggak kapok ikut baksos di desa,” ujar Riska yang terlibat baksos sejak semester 2.
Bagi Riska, berbaur dengan masyarakat lokal, merasakan kegiatan sehari-hari masyarakat, dan merasakan kehangata keluarga meskipun baru kenal, jadi momen tak terlupakan. “Aku suka kangen dengan suasana desa kalau sudah sampai rumah,” tutut Riska.
Ashil Fadillah, mahasiswa Universitas Prof Dr Moestopo Jakarta, mengatakan kegiatan baksos memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk berpartisipasi membangun masyarakat.
“Banyak pelajaran hidup yang bisa gue ambil dari baksos. Gotong-royong yang jarang ditemui di Jakarta, tapi lewat baksos kita bisa merasakannya,” ujar Ashil.
Dosen di Departemen Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung, Ifa Hanifah Misbach, mengatakan terlibat di baksos memberikan pembelajaran sosial emosional dan pengalaman hidup secara langsung bagi mahasiswa.
“Seru kalau bisa terlibat langsung melayani masyarakat. Jadi, mahasiswa bisa merasakan sendiri bagaimana membangun interaksi sosial yang nyata. Mahasiswa enggak cuma memahami interaksi lewat media sosial, Banyak softskills yang bisa diasah dari terlibat di baksos yang penting untuk kehidupan usai lulus kuliah,” ujar Ifa. (*)