Paling tidak ada tiga kondisi obyektif terkait dengan persoalan Papua. Pertama, perbedaan ras dan ciri fisik ”kulit hitam dan rambu keriting” plus pelbagai stigma negatif, jadilah orang Papua tersingkir di tanah kelahirannya.
Kedua, kehidupan mereka yang sederhana dan subsisten mendadak berhadapan dengan peradaban modern, digitalisasi, uang elektronik, terlebih nilai-nilai baru: persaingan, disiplin, kreativitas, dan inovasi. Yang terjadi kemudian adalah ”kalah bersaing” dengan pendatang.
Ketiga, kondisi geografis bergunung-gunung dan berhutan lebat telah mengisolasi dan memunculkan beragam suku, adat, dan bahasa, paling tidak ada 255 suku. Semua ini menjadi kendala mewujudkan soliditas rakyat Papua, selain sarana pendidikan dan kesehatan.
Jadi, apa yang harus dilakukan? Menurut saya, yang penting adalah mendengarkan baik-baik tuntutan, aspirasi, dan harapan masyarakat Papua. Atas dasar itu, perlu mengubah cara pandang dan paradigma tentang Papua.
Perubahan itu diwujudkan dalam berbagai kebijakan dan strategi pelaksanaannya, termasuk mengevaluasi Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Solusi masalah Papua harus dimulai dari dialog yang setara, jujur, dan konstruktif.
Jokowi, sebagai Wali Kota Solo, berpuluh-puluh kali berdialog, baru memindahkan lokasi PKL. Maka, Jokowi—sebagai Presiden—mestinya punya empati dan kesabaran yang sama dalam mencari solusi untuk Papua meski jauh lebih rumit.
BHAROTO
Jalan Kelud Timur, Semarang
Membangun Desa
Dalam artikel ”Desa di Daerah Tertinggal” (Kompas, 6/11/2019), Ivanovich Agusta menulis tentang prioritas pembangunan desa-desa daerah tertinggal.
Pembangunan mayoritas soal teknis. Hal ini tampak dari usulan penambahan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Strategi Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal (Stranas PDT).
Obsesi pembangunan ini memunculkan paradigma berpikir yang salah: bahwa pengetahuan teknis mampu menyelesaikan segala persoalan sehingga menggeser ilmu-ilmu sosial (Basis ke-68, 2019).
Apakah ketimpangan ekonomi cukup diatasi dengan infrastruktur dan perkara hidup manusia bisa dikerdilkan sebatas persoalan teknis?
Ironisnya, dari 10 prioritas pembangunan daerah tertinggal, tidak satu pun bicara soal penguatan tradisi dan budaya lokal.
Hal itu perlu dikaji ulang agar 10 prioritas tersebut tidak menggeser hak-hak tradisional dan kearifan lokal.
Sederhananya, perlu internalisasi tradisi dalam perencanaan teknis.
Beda Holy Septianno
Jalan Mayjen Bambang
Soegeng, Mertoyudan,
Magelang 56101
Narkoba Meluas
Kita sudah berusaha keras untuk membasmi narkoba, tetapi kenyataannya narkoba malah makin meluas. Di antara korbannya adalah para pelajar.
Siaran televisi dan surat kabar dalam negeri selalu memuat berita tentang narkoba, sementara siaran televisi dan surat kabar di luar negeri jarang memberitakan.
Oleh karena itu, sebaiknya kita belajar dari negara yang berhasil menanggulangi narkoba, seperti Swiss, Amerika Serikat, Kuwait, dan Rusia.
dr F Pudiyanto Suradibroto
Jl Mandolin, Jakarta 14250