Seleksi Komisioner (yang) Masih Meninggalkan Pertanyaan
Penetapan 15 komisioner Komnas Perempuan periode 2020-2024 dinilai subyektif dan sarat kepentingan politik, menyusul digantinya tiga nama yang direkomendasikan panitia seleksi, sesuai urutan peringkat.
Meski Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan periode 2015-2019 telah mengumumkan 15 komisioner yang baru untuk periode 2020-2024 pada Kamis (19/12/2019), hasil akhir dari seleksi calon komisioner tersebut masih meninggalkan persoalan. Sejumlah kalangan mempertanyakan mekanisme pemilihan oleh Sidang Komisi Paripurna Komnas Perempuan pada 22 November 2019.
Di Jakarta, Jumat (20/12/2019), sejumlah aktivis organisasi dan pimpinan lembaga keumatan di Jakarta yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Pemerhati Komnas Perempuan mempertanyakan mekanisme sidang komisi paripurna pemilihan Komisioner Komnas Perempuan tersebut.
Penetapan 15 komisioner baru dinilai subyektif dan sarat kepentingan politik, menyusul digantinya tiga nama yang direkomendasikan Panitia Seleksi Calon Anggota Komnas Perempuan 2020-2024 sesuai urutan peringkat. Salah satunya adalah Ruth Ketsia Wangkai yang berada di peringkat 6 dalam rekomendasi. Adapun dua nama lainnya yang berada di 15 besar yang tidak dipilih adalah Mathilda AM Wowor (peringkat 12) dan Yulia Dwi Andriyanti (peringkat 13).
Sebagai pengganti ketiga calon tersebut, sidang komisi paripurna memilih tiga calon yang urutan peringkatnya di atas peringkat 15, yakni Andy Yentriyani (peringkat 16), Mariana Amiruddin (peringkat 19), dan Retty Ratnawati (peringkat 20).
”Penggantian nama-nama tersebut dengan tidak melakukan pemeriksaan obyektif dan membuka ruang klarifikasi bagi yang bersangkutan merupakan praktik-praktik yang mencederai nilai-nilai dasar yang menjadi pegangan Komnas Perempuan,” ujar Ratna Lesawengen dari Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia (Peruati), Jumat petang. Dia membacakan pernyataan sikap mewakili Jaringan Solidaritas Pemerhati Komnas Perempuan.
Penggantian nama-nama tersebut dengan tidak melakukan pemeriksaan obyektif dan membuka ruang klarifikasi bagi yang bersangkutan merupakan praktik-praktik yang mencederai nilai-nilai dasar yang menjadi pegangan Komnas Perempuan.
Jaringan tersebut menilai, penggantian nama-nama tersebut sebagai tindakan kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan pihak-pihak yang terkait. Komnas Perempuan, sebagai lembaga negara yang menegakkan hak asasi manusia (HAM) perempuan Indonesia, seharusnya menempatkan tata cara pemilihan dengan lebih konsisten, transparan, dan obyektif, serta mengalokasikan waktu yang cukup untuk melakukan klarifikasi atas informasi yang diterima.
Karena itu, Jaringan Solidaritas Pemerhati Komnas Perempuan meminta klarifikasi secara terbuka tentang alasan pergantian nama tersebut sebagai bagian dari transparansi Komnas Perempuan kepada publik. Selain itu, mereka juga mendesak Komnas Perempuan mengubah mekanisme sidang paripurna penetapan komisioner perempuan tersebut dengan menempatkan tata cara pemilihan yang transparan, obyektif serta membuka ruang klarifikasi kepada lembaga pemberi rekomendasi dan kepada yang bersangkutan sebelum mengambil keputusan.
”Kami menyerukan agar Komnas Perempuan yang baru periode 2019-2024 menjadikan peristiwa ini sebagai pelajaran berharga, berani mengkritisi cara-cara yang tidak adil, dan memikirkan secara serius langkah-langkah strategis menyangkut mekanisme pemilihan Komisioner Komnas Perempuan yang akan datang sehingga kejadian seperti ini tidak terulang di kemudian hari,” demikian dibacakan Ratna Lesawengen.
Ketua Umum Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI) Baktinendra Prawiro menyatakan prihatin atas proses pengambilan keputusan sidang komisi paripurna Komnas Perempuan. Ada proses yang bersifat janggal atau minimal perlu dipertanyakan.
”Karena itu, demi kebenaran, baik menurut undang-undang maupun mengacu pada etika, dan kebenaran bukan hanya secara prosedural, melainkan juga substansial, maka komisi nasional yang bekerja dan melindungi harkat dan martabat perempuan Indonesia, perlu melakukan proses secara bermartabat dan menimbulkan kepercayaan dan keyakinan seluruh masyarakat, khususnya perempuan Indonesia,” kata Baktinendra.
Selain Baktinendra, sejumlah pimpinan organisasi seperti Ketua Umum PP Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Kornelis Galanjinjinay serta dari Youth Interfaith Forum on Sexuality (YIFoS), Persekutuan Intelegensia Sinar Kasih (Piska), Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMK), dan lain-lain juga menyampaikan sikap.
Ruth Wangkai, yang pernah dua kali menjadi Ketua Badan Pengurus Nasional Peruati menyatakan sangat kecewa dengan keputusan Sidang Paripurna Komnas Perempuan yang mengganti namanya yang berada di peringkat 6 dengan peringkat di atas 15. Cara tersebut dinilainya sangat sepihak karena informasi yang diterima Komnas Perempuan yang kemudian dijadikan alasan untuk menggantinya dengan calon lain tidak dikonfrontasi dengan dirinya.
”Mestinya ada keterbukaan dari Sidang paripurna sebelum mengambil keputusan dengan memberikan ruang kepada saya dan lembaga yang merekomendasikan saya. Ada 22 lembaga merekomendasikan saya,” kata Ruth.
Mekanisme yang digunakan Komnas Perempuan tidak hanya mencederai hasil akhir sidang komisi paripurna, tetapi juga nilai-nilai yang selama ini dianut Komnas Perempuan, yakni nilai transparansi, akuntabilitas, dan keadilan.
Berharap sesuai peringkat
Ketua Pansel Calon Anggota Komnas Perempuan 2020-2024 Usman Hamid, beberapa waktu lalu, menyatakan secara resmi pansel sudah menyampaikan agar urutan peringkat 1 hingga 15 diterima sepenuhnya.
”Sayangnya ada yang kemudian ditolak. Misalnya Ruth Wangkai dari Peruati karena paripurna Komnas Perempuan menilai keterwakilan Peruati telah ada Rainy Hutabarat. Jadi, mereka menilai keberadaan Ruth justru membuat keterwakilan ganda dari satu organisasi,” kata Usman.
Bagi Pansel, dua sosok tersebut berbeda. ”Kami sendiri lebih menempatkan Rainy sebagai sosok perempuan pemikir feminis dengan disabilitas. Sementara Ruth lebih kami lihat sebagai perempuan feminis dari kalangan gereja yang juga mewakili wilayah geografis Sulawesi (Tomohon). Jadi, kami memang sejak awal berharap dia tidak didrop,” katanya.
Pertimbangan komposisi
Menanggapi tudingan tersebut, Ketua Komnas Perempuan Azriana Manalu mengatakan, proses pemilihan tersebut sudah berlangsung terbuka dan tidak mengurangi kewenangan Pansel. Soal pergantian satu nama calon yang masuk dalam peringkat 10 besar, pertimbangannya adalah komposisi keberagaman. Pada proses persidangan paripurna yang berlangsung tertutup, pengesahan nama calon menjadi anggota dilakukan satu per satu berdasarkan peringkat yang diberikan pansel.
Soal pergantian satu nama calon yang masuk dalam peringkat 10 besar, pertimbangannya adalah komposisi keberagaman.
Calon pada peringkat 4 yang telah ditetapkan menjadi anggota memiliki kesamaan latar belakang (pendidikan, keahlian dan organisasi) dengan calon pada peringkat 6. Karena itu, calon pada peringkat 6 diganti daftar nama cadangan yang diberikan pansel.
”Jadi, saya rasa kalau dibilang tidak terbuka tidak tepat. Tidak juga seenaknya. Paripurna tentu punya pertimbangan. Mungkin jawaban ini tidak memuaskan semua orang itu,” ujarnya seraya menegaskan sampai saat ini pengambilan keputusan dalam pemilihan Komnas Perempuan adalah paripurna.
Komnas Perempuan sudah melakukan beberapa perbaikan mengakomodasi masukan publik dari pemilihan sebelumnya. Sebagian dari publik mengapresiasi itu. ”Tapi kami menyadari masih ada hal-hal yang belum sempurna karena harapan publik terhadap Komnas Perempuan juga terus berkembang. Tentu masukan-masukan tersebut akan digunakan untuk perbaikan berikutnya,” kat Azriana.
Jangan terulang lagi
Terlepas dari mekanisme pemilihan akhir yang menimbulkan pertanyaan dan kritik, Hartoyo dari Masyarakat Sayang Komnas Perempuan mengapresiasi proses seleksi calon Komnas Perempuan yang terus membaik, terutama kerja Pansel yang transparan dan membuka seluas-luasnya ruang partisipasi masyarakat.
Karena itu, walaupun paripurna mempunyai hak melakukan perubahan 30 persen (5 orang), dia berharap mekanisme pemilihan yang tidak mempertimbangkan usulan pansel sesuai peringkat tidak terulang lagi.
”Sebab, proses yang terjadi sekarang persis yang terjadi pada pemilihan periode sebelumnya. Praktik seperti itu tidak berubah. Harusnya sidang komisi paripurna seperti kerja pansel yang memberi ruang untuk klarifikasi atas hal-hal yang masih dipertentangkan, diragukan informasinya, bukan langsung mengambil keputusan,” ujar Hartoyo.
Semoga ini menjadi pelajaran berharga bagi Komnas Perempuan di masa mendatang.