Daftar Positif Investasi Bukan Jaminan Menarik Investor
›
Daftar Positif Investasi Bukan...
Iklan
Daftar Positif Investasi Bukan Jaminan Menarik Investor
Penyusunan daftar positif investasi harus diiringi perbaikan masalah-masalah fundamental. Selama ini banyak masalah dalam berinvestasi yang tak kunjung diperbaiki pemerintah, seperti kepastian hukum dan pengupahan.
Oleh
KARINA ISNA ISMAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyusunan daftar positif investasi bukan jaminan menarik bagi investor. Masalah fundamental dalam berinvestasi tetap harus dibenahi mulai dari iklim usaha, biaya logistik, kebijakan pengupahan, hingga kepastian pasokan energi.
Kementerian Koordinator Perekonomian akan meluncurkan daftar positif investasi pada Januari tahun 2020. Daftar positif investasi ini akan menggantikan daftar negatif investasi yang sempat menjadi polemik.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, mengatakan, daftar positif investasi dan daftar negatif investasi secara konsep sama. Pemerintah menyusun bidang-bidang usaha yang terbuka dan atau tertutup untuk investasi dengan persyaratan tertentu.
”Selama ini tidak pernah ada evaluasi terhadap daftar bidang-bidang usaha yang terbuka atau tertutup bagi investasi. Penyusunan daftar bidang usaha itu juga bukan satu-satunya cara menarik investasi,” kata Heri yang dihubungi di Jakarta, Selasa (24/12/2019).
Penyusunan daftar positif investasi harus diiringi dengan perbaikan masalah-masalah fundamental. Selama ini banyak masalah dalam berinvestasi yang tak kunjung diperbaiki pemerintah, seperti kepastian hukum, pengadaan lahan, biaya logistik, insentif fiskal, pasokan energi, dan sistem pengupahan.
Menurut Heri, berbagai masalah itu menyebabkan biaya investasi untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi relatif mahal. Kondisi ini tecermin dari Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia yang cukup tinggi, yakni 6,3. Oleh karena itu, perbaikan hambatan berinvestasi menjadi keniscayaan.
ICOR merupakan rasio investasi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan produk domestik bruto (PDB). Semakin tinggi ICOR, biaya investasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi semakin mahal.
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, daftar positif investasi akan terbagi dalam tiga kelompok, mencakup daftar positif (positive list), daftar putih (white list), dan daftar bidang usaha terbuka dengan persyaratan tertentu, termasuk syarat kemitraan dengan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
”Semua bidang usaha dalam daftar positif, daftar putih, dan daftar bidang usaha terbuka untuk investasi dengan persyaratan tertentu. Adapun bidang usaha yang tertutup untuk investasi akan diatur dalam omnibus law,” ujar Airlangga di kantornya, Jakarta, Senin (23/12/2019) malam.
Daftar positif investasi akan merevisi Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal atau disebut daftar negatif investasi.
Daftar positif berisi bidang-bidang usaha yang mendapat fasilitas pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) badan atau tax holiday, mini tax holiday, dan fasilitas fiskal lainnya. Sejauh ini ada 18 sektor usaha, yang terdiri dari 169 klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia (KBLI) penerima tax holiday.
Adapun daftar putih berisi bidang usaha yang mendapat fasilitas nontarif. Misalnya, dikaitkan dengan ratifikasi perjanjian perdagangan Indonesia dan sejumlah mitranya. Sedangkan daftar bidang usaha terbuka mencakup investasi di bawah Rp 10 miliar untuk mendorong perekonomian UMKM.
”Prioritas investasi tetap di industri hulu, seperti hulu kimia dan baja,” kata Airlangga.
Pemerintah juga menetapkan lima sektor yang tertutup untuk beberapa bidang usaha, seperti penangkapan spesies ikan dalam Appendix I Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), budidaya narkotika, kasino dan perjudian, industri produsen dengan proses merkuri, serta industri kimia berbahan perusak ozon.
Sebelumnya, pemerintah menunda penerbitan daftar negatif investasi yang sejatinya ditargetkan pada akhir November 2018. Daftar negatif investasi ini menimbulkan pro dan kontra karena pemerintah secara total mengeluarkan 95 bidang usaha dari daftar negatif investasi (DNI) tahun 2018. Rinciannya terdiri dari 54 bidang usaha baru dan 41 bidang usaha dari DNI tahun 2016.
Akar masalah
Secara terpisah, Kepala Kajian Makro Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia Febrio Kacaribu berpendapat, akar masalah yang mesti diselesaikan pemerintah untuk menarik investasi adalah perbaikan perizinan dan perdagangan lintas wilayah. Buruknya perizinan Indonesia tecermin dalam peringkat memulai bisnis Indonesia ke-140 dari 190 negara.
”Perizinan harus segera diperbaiki dalam dua bulan ke depan untuk bisa menarik investasi asing dan domestik,” kata Febrio.
Menurut Febrio, perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (OSS) harus diperbaiki. Implementasi OSS tidak bisa langsung diterapkan nasional. Pemerintah sebaiknya menunjuk beberapa kota percontohan untuk implementasi OSS, misalnya di Jakarta dan Surabaya, yang juga sebagai sampel lokasi penelitian peringkat kemudahan berusaha.
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dalam laporan statistik Indeks Pembatasan Peraturan (Regulatory Restrictiveness Index/RRI), 8 Agustus 2019, menyebutkan, Indonesia sebagai salah satu negara dengan hambatan regulasi investasi asing langsung tertinggi di dunia, peringkat ke-67 dari 69 negara.
Nilai RRI investasi asing langsung Indonesia 0,31, jauh di atas rata-rata negara OECD yang hanya 0,07 persen. RRI investasi asing langsung dihitung dalam rentang 0-1, yang berarti semakin nilai indeks mendekati 1, hambatan regulasi tinggi atau tertutup pada investasi asing. Nilai indeks mendekati 0 semakin terbuka bagi investasi asing.
OECD mengukur hambatan regulasi investasi pada 22 sektor industri. Di Indonesia, sektor yang paling tinggi hambatan investasinya antara lain konstruksi real estat dengan nilai RRI sebesar 1, perikanan (0,735), pertambangan dan penggalian (0,589), ritel (0,540), serta media radio dan siaran televisi (0,810).