Seperti halnya tahun 2018, tahun 2019 merupakan tahun yang berat bagi pasar modal Indonesia. Melemahnya perekonomian global akibat perang dagang AS – China yang berkepanjangan dan konflik geopolitik di sejumlah kawasan telah memukul perdagangan saham di bursa-bursa dunia termasuk Indonesia.
Hingga akhir minggu kedua Desember 2019, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia tercatat 6.197,3, relatif stagnan dibandingkan IHSG pada akhir tahun 2018 yang sebesar 6.194,5. Kondisi ini tak jauh berbeda dengan tahun 2018 yang juga bisa dibilang agak stagnan. Adapun pada tahun 2016 dan 2017, IHSG tumbuh signifikan masing-masing 15 dan 20 persen.
Jumlah perusahaan yang mencatatkan saham perdana di BEI sepanjang 2019 sebanyak 52 perusahaan, juga tidak berbeda jauh dengan tahun sebelumnya yang sejumlah 57 perusahaan.
Indeks saham sektor industri dasar, properti, infrastruktur, dan keuangan tercatat naik sepanjang 2019. Sebaliknya, indeks saham sektor pertanian, pertambangan, aneka industri, industri konsumsi, dan perdagangan tercatat turun.
Kendati kinerjanya tak terlalu menggembirakan dalam dua tahun terakhir, fondasi pasar modal Indonesia dinilai semakin kokoh, dilihat dari makin tingginya perlindungan terhadap investor, terutama perorangan dan membaiknya ekosistem pasar.
Transaksi pasar yang semakin teratur, wajar dan efisien belakangan ini akan memberikan informasi yang riil ke masyarakat dan kesempatan untuk berinvestasi secara sehat dengan ekspektasi/harapan yang realistik.
Kian kokohnya fondasi pasar modal tersebut tidak terlepas dari ketegasan otoritas dalam mengawasi dan menegakkan hukum.
Sepanjang 2019, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku pengawas pasar modal dengan tegas memberikan sanksi kepada sejumlah perusahaan dan pengurus Manajer Investasi di Pasar Modal yang melanggar aturan dan berlaku curang.
Pada Agustus 2019, OJK mengeluarkan sanksi denda sebesar Rp 5 miliar kepada Benny Tjokrosaputro, selaku Direktur Utama PT Hanson Internasional Tbk yang terbukti melanggar ketentuan penyajian laporan keuangan tahunan.
Kemudian pada Nopember 2019, OJK berturut-turut mengeluarkan sanksi kepada tiga perusahaan Manajer Investasi. Tak tanggung-tanggung, regulator industri keuangan ini mengeluarkan surat perintah penghentian penjualan dan pembubaran produk reksa dana yang dinilai melanggar aturan pasar modal.
Pertama, OJK mengenakan sanksi suspensi terhadap penjualan produk reksa dana yang dikeluarkan oleh PT Narada Aset Manajemen. Alasannya, manajer investasi ini terbukti mengalami gagal bayar transaksi pembelian saham senilai Rp 177,78 miliar
Kedua, OJK membubarkan enam produk yang diterbitkan PT Minna Padi Aset Manajemen. Manajer investasi ini dinilai menjual produk reksa dana berbasis saham dengan menjanjikan hasil investasi pasti (fixed rate). Suspensi ini kemudian berlanjut pada perintah pembubaran enam produk reksa dana yang dikelola Minna Padi.
Ketiga, melarang penjualan reksa dana selama 3 bulan kepada PT Pratama Capital Assets Management karena porsi saham PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA) di dalam reksa dana Pratama Capital telah melebihi batas 10 persen. Padahal, OJK sudah melakukan pembinaan kepada manajer investasi tersebut terkait dengan saham KIJA pada 2017 dan 2018.
Berikutnya, pada 20 Desember 2019, OJK mengeluarkan sanksi kepada PT MNC Asset Management berupa larangan menambah unit baru untuk tujuh produk reksa dana dengan total dana kelolaan Rp 1,21 triliun karena terbukti melakukan sejumlah pelanggaran antara lain kepemilikan portofolio yang porsinya lebih dari 10 persen dari nilai aktiva bersih (NAB, dana kelolaan) untuk reksa dana konvensional, dan lebih dari 20 persen untuk reksa dana syariah.
Selain penegakan hukum (law inforcement), OJK juga terus meningkatkan sistem pengawasan di pasar modal. Pengawasan diperkuat dengan sarana pengawasan berbasis sistem teknologi, salah satunya s-invest untuk mengawasi portfolio investasi. S-invest membuat supervisory action dapat semakin efisien dan efektif karena proses dan waktu identifikasi menjadi real-time.
Dengan demikian, identifikasi potensi risiko dapat dilakukan sedini mungkin sehingga pelanggaran tidak menjadi lebih besar dan merugikan banyak investor. Upaya ini juga dilakukan agar pelaku pasar juga dapat melakukan corrective action dengan lebih cepat.
Bersih-bersih
Aksi bersih-bersih yang dilakukan OJK ini terbukti meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri pasar modal. Semakin banyak masyarakat yang berinvestasi di reksa dana, tercermin dari meningkatnya unit penyertaan dan nilai aktiva bersih (NAB).
Hingga minggu kedua Desember 2019, unit penyertaan reksa dana mencapai 433,95 juta, meningkat 16 persen dibandingkan akhir tahun 2018 yang sebesar 373,7 juta. Adapun NAB naik 9,3 persen dari Rp 505,4 triliun pada akhir 2018 menjadi Rp 552,4 triliun.
Dengan fondasi yang semakin kokoh dan tingkat perlindungan konsumen yang semakin tinggi, minat masyarakat untuk berinvestasi di pasar modal diharapkan terus meningkat sehingga dampak pelemahan ekonomi dapat diminimalisir.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.