Tantangan Mengatasi Petarung Teror yang Melibatkan Keluarga
›
Tantangan Mengatasi Petarung...
Iklan
Tantangan Mengatasi Petarung Teror yang Melibatkan Keluarga
Pelibatan keluarga dalam terorisme diperkirakan masih berpotensi terjadi di Indonesia sebagai upaya para petarung teror menghindari pengawasan kepolisian. Diperlukan keterlibatan masyarakat untuk mengatasinya.
Oleh
Muhammad Ikhsan Mahar
·5 menit baca
Tahun 2019 semakin meneguhkan revolusi pola serangan teror yang dilakukan simpatisan kelompok Jamaah Ansharut Daulah atau JAD yang berafiliasi dengan Negara Islam di Irak dan Suriah atau NIIS. Aksi teror tidak lagi dimonopoli oleh laki-laki, tetapi telah melibatkan pula perempuan hingga anak-anak.
Pada Maret 2019, penangkapan pemimpin jaringan JAD Sumatera Utara, yaitu Husain alias Abu Hamzah, di Sibolga, Sumatera Utara, mengungkap pula radikalisme yang dialami sang istri, Solimah. Bahkan, ketika Abu Hamzah telah ditangkap tim Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri, Solimah menolak menyerahkan diri dan memilih meledakkan diri bersama anaknya.
Selanjutnya, pada kasus serangan teror yang menyita perhatian di tahun 2019, yaitu penusukan terhadap mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto di Alun-alun Menes, Kabupaten Pandeglang, Banten, Oktober lalu, pelaku utamanya, Syahrial Alamsyah alias Abu Rara, melibatkan sang istri, Fitri Andiriana, dan anaknya, RA, untuk menyerang Wiranto dan pejabat negara lainnya. RA memilih melarikan diri dan menjauh dari lokasi penusukan itu meskipun Abu Rara telah memberinya senjata tajam.
Keterlibatan keluarga dalam aksi teror di Indonesia awalnya diketahui saat terjadi teror bom di Surabaya yang terjadi dua hari berturut-turut, yakni 13 Mei dan 14 Mei 2018. Terdapat tiga keluarga yang diketahui telah merencanakan aksi teror di ”Kota Pahlawan” kala itu.
Pertama, Dita Oeriarto yang mengajak istrinya dan keempat anaknya untuk melakukan bom bunuh diri di tiga gereja. Kedua, Anton Febrianto yang menyiapkan bom di kediamannya di Sidoarjo, Jawa Timur, tetapi bom itu meledak lebih dulu di rumahnya yang menewaskan Anton bersama istri dan kedua anaknya. Ketiga, keluarga Tri Murtiono yang membawa dua sepeda motor untuk menyerang Markas Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya pada 14 Mei 2019, dengan bom bunuh diri yang menewaskan dirinya, istri, dan dua anaknya.
Proses keluarga terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan aksi teror tidak dilakukan dalam waktu singkat. Ada proses awal bagi para laki-laki dewasa atau kepala keluarga untuk mengikutsertakan keluarga mereka dalam aksi teror.
Hal itu diawali dengan doktrinisasi yang diterima para kepala keluarga dalam kegiatan agama yang eksklusif. Sebagai contoh, Dita, Anton, dan Tri merupakan pengikut kegiatan keagamaan yang diberikan Abu Umar yang berafiliasi dengan JAD dan NIIS. Dalam perspektif ajaran yang dianut Abu Umar, ia memerintahkan para muridnya untuk melakukan teror bom, tetapi terlebih dahulu paham keagamaan yang ekstrem juga perlu diberikan kepada istri dan anak-anak.
Hasil dari pemahaman agama yang menyimpang itu membuat Dita, Anton, dan Tri mengeluarkan anak-anak mereka dari sekolah formal. Mereka memilih memberikan pendidikan secara mandiri kepada anak-anak dengan pendidikan agama sebagai materi prioritas. Ternyata, pendidikan berkonsep mandiri itu justru merupakan cara orangtua untuk menanamkan paham ekstremisme kepada anak, mereka sehingga bisa mengikutsertakan anak dalam aksi teror.
Hal sedikit berbeda muncul dalam kasus RMN (24) yang meledakkan bom bunuh diri di Markas Polrestabes Medan, Sumatera Utara, November 2019. Dia diduga terpapar pandangan ekstrem dari istrinya, DA. Namun, RMN dan DA tidak melakukan teror bersamaan. DA memilih target berbeda, yakni merencanakan teror bom di Bali (Kompas, 15/11/2019).
Pergeseran peran
Ketika NIIS masih berkuasa, periode 2014-2015, pimpinan NIIS telah meminta laki-laki untuk hijrah ke pusat kekhalifahan mereka di Suriah dan Irak. Lambat laun, anjuran hijrah disampaikan ke perempuan dan anak-anak untuk mendampingi suami dan ayah mereka.
Hal itu terkonfirmasi dari salah satu mantan kombatan NIIS asal Indonesia yang keluar dari kamp NIIS akhir 2015. Ketika itu, ia bisa keluar dari Suriah dengan alasan ingin kembali ke Indonesia untuk membawa istri dan anaknya, meski sebenarnya ia ingin meninggalkan Suriah karena janji kehidupan kekhilafahan yang Islami tak terwujud di ”dunia” NIIS.
Peran perempuan di dalam kehidupan NIIS tertuang dalam buku berbahasa Arab yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris, yakni Women of the Islamic State: Manifesto and Case Study. Dalam buku panduan 43 halaman itu, perempuan disebut berperan sentral menjamin kualitas calon ”mujahid” masa depan sesuai dengan ajaran NIIS.
Artinya, perempuan lebih bertanggung jawab merawat anak-anak mereka. Namun, pada 2015, NIIS membentuk brigade kepolisian perempuan di Raqqa, Irak, yang bernama Al-Khansaa. Dalam perkembangannya, ketika kedudukan NIIS melemah di Timur Tengah, simpatisan NIIS di seluruh dunia mulai merekrut perempuan untuk jadi ”pengantin bom”. Di Indonesia, Dian Yulia Novi jadi perempuan pertama yang diketahui disiapkan untuk bom bunuh diri di Istana Negara, Jakarta, Agustus 2016.
Adapun peran anak-anak jauh lebih signifikan bagi NIIS. Jessica Stern dan JM Berger dalam ISIS: The State of Terror (2015) mengungkapkan, secara terstruktur, NIIS memberikan pendidikan paramiliter kepada anak mulai usia 13 tahun.
International Centre for Study of Radicalisation mencatat dalam laporan bertajuk From Daesh to Diaspora: Tracing the Women and Minors of Islamic State (2018), sejak 2013-2018, perempuan anggota NIIS yang berasal dari luar Timur Tengah berjumlah 4.162-4.761 orang atau sekitar 13 persen dari total anggota NIIS dari luar Irak dan Suriah. Sementara itu, anak sekitar 12 persen atau berjumlah 3.704-4.640. Sebanyak 730 bayi lahir di kamp NIIS.
Hindari pengawasan
Di era teknologi intelijen yang makin canggih, ketika aparat Kepolisian, terutama tim Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri mampu menganalisis hasil percakapan terenskripsi di aplikasi pesan instan, seperti WhatsApp dan Telegram, peran teroris keluarga mampu mengelabui aparat keamanan.
Sebab, pola perekrutan di dalam rumah yang melibatkan orangtua dan anak-anaknya tak perlu menggunakan teknologi komunikasi. Alhasil, mereka dapat melakukan indoktrinasi paham radikal secara langsung tanpa menggunakan media apapun. Hal itu sulit diantisipasi teknologi intelijen mutakhir.
Tentunya, era serangan teror yang dilakukan oleh keluarga masih akan membayangi Tanah Air di masa mendatang. Atas dasar itu, peran pemerintah di lingkungan yang direpresentasikan melalui lembaga rukun tetangga dan rukun warga adalah cara deteksi dini yang bisa dilakukan untuk meredam penyebaran paham ekstrem di kalangan keluarga. Tanpa kepedulian masyarakat di lingkungan, paham ekstrem dapat menggantikan nilai kemajemukan di masyarakat akar rumput.