Bali dan DI Yogyakarta, Matahari Pariwisata Indonesia
Selain Bali sebagai destinasi terfavorit di negeri ini, provinsi lain yang juga layak menjadi matahari bagi dunia pariwisata Indonesia adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Penilaian Daya Saing Pariwisata 2019 menempatkan keduanya di posisi atas sebagai provinsi paling berdaya saing di dibandingkan 32 provinsi lainnya.
Daya Saing Pariwisata (DSP) Provinsi DIY dan Bali berturut-turut menduduki peringkat pertama dan kedua dengan selisih tipis di angka 0,06. Dalam skala 1 sampai 5 dengan 5 sebagai skor tertinggi, DIY mengumpulkan skor 3,18 sementara Bali 3,12. Skor ini jauh di atas rata-rata semua provinsi, di luar DKI Jakarta, sebesar 2,59 termasuk tiga provinsi lain di peringkat lima teratas yaitu Jawa Tengah (2,87), Jawa Barat (2,85), dan Jawa Timur (2,82).
Litbang Kompas melakukan penilaian DSP dengan mengadopsi The Travel & Tourism Competitiveness Index (TTCI) yang diterbitkan World Economic Forum dengan penyesuaian kondisi Indonesia. Skor DSP provinsi sendiri disusun dari skor DSP kabupaten dan kota.
Dilihat dari DSP di tingkat kabupaten/kota, baik DIY maupun Bali memiliki daerah-daerah dengan skor DSP di atas rata-rata nasional (2,58) serta masuk dalam kategori daya saing menengah dan tinggi. Artinya, pengelolaan pariwisata kedua provinsi tersebut diterjemahkan dengan baik di tingkat kabupaten/kota sehingga masing-masing memiliki keunggulan.
Hal ini juga didukung keberhasilan mengelola potensi wisata yang kaya akan identitas budaya lokal. Data Potensi Desa menunjukkan DIY dan Bali memiliki wisata budaya sebanyak 33 dan 35 serta candi sebanyak 25 dan 19.
Sementara itu, keunggulan tipis DIY dari Bali dapat dijelaskan dari skor aspek dan pilar yang membentuk DSP. Dari empat aspek sebagai dasar penilaian, skor DIY pada tiga aspek diantaranya lebih tinggi ialah aspek sarana pendukung, aspek tata kelola, serta aspek sumber daya alam dan budaya. Sebaliknya, Bali unggul dibanding DIY pada aspek infrastuktur. Posisi Bali sebagai pulau mendukung kelebihan ini.
Skor tertinggi DSP yang diraih DIY menunjukkan daerah dengan ikon tugu ini mampu bersaing dengan daerah lainnya di Indonesia, terutama dengan Bali yang sudah terlebih dulu populer sebagai destinasi wisata terbaik di tingkat internasional. Apalagi, visi pembangunan pariwisata DIY 2012-2025 adalah mewujudkan Yogyakarta sebagai destinasi wisata berkelas dunia, berdaya saing, berwawasan budaya, berkelanjutan, mampu mendorong pembangunan daerah dan pemberdayaan masyarakat.
Hal lain yang bisa dicermati dari hasil DSP dalam lingkup provinsi ini adalah bagaimana kota dan kabupaten di DIY bisa maju bersama untuk mendorong pariwisata di daerahnya masing-masing. Nilai dan ranking seluruh daerah yang ada di provinsi berstatus istimewa ini berada di 100 besar. Ranking paling rendah ada di urutan 82. Namun, memang jumlah kota dan kabupaten di Bali lebih banyak sehingga bisa jadi membutuhkan kerja dan kolaborasi yang lebih banyak.
Kota dan kabupaten di DIY bisa maju bersama untuk mendorong pariwisata di daerahnya masing-masing.
Sarana pendukung dan tata kelola
Aspek sarana pendukung DIY mendapatkan skor 3,59. Skor tertinggi bersumber dari pilar lingkungan bisnis. Dukungan pemerintah provinsi terhadap masuknya investasi untuk pengembangan sektor pariwisata terlihat dari kemudahan perizinan usaha dan payung hukumnya. Kejelasan aturan berinvestasi tertuang pada Pergub Nomor 8 Tahun 2014 tentang Rencana Umum Penanaman Modal.
Arah kebijakan penanaman modal di DIY meliputi tujuh elemen utama. Pertama, perbaikan iklim penanaman modal. Kedua, persebaran penanaman modal. Ketiga, fokus pengembangan pangan dan hasil bumi, infrastruktur, energi, kebudayaan dan pariwisata, pendidikan, serta ekonomi kreatif. Keempat, penanaman modal berwawasan lingkungan. Kelima, pemberdayaan UMKM dan koperasi. Keenam, pemberian fasilitas, kemudahan, dan insentif penanaman modal. Terakhir, promosi penanaman modal.
Dampak kebijakan tersebut tercermin dari realisasi investasi yang diperoleh DIY. Pada semester I 2019, realisasi investasi mencapai Rp 2,10 triliun atau meningkat 83,31 persen dibanding semester II 2018. Capaian investasi tersebut bersumber dari Penanaman Modal Dalam Negeri sebesar Rp 1,97 triliun dan Penanaman Modal Asing sebesar Rp 131,27 miliar.
Pada pilar keselamatan dan keamanan, DIY mempunyai pelatihan dan pendidikan kesiapsiagaan bencana alam. Pelatihan dan pendidikan ini untuk membekali warga dan aparatur terkait penanggulangan bencana. Terlebih DIY memiliki potensi bencana alam seperti meletusnya gunung berapi, tsunami, longsor, dan banjir. Keberadaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah pada setiap Kabupaten/Kota juga melengkapi kesiapsiagaan tersebut.
Pada aspek tata kelola, penyumbang skor tertinggi berasal dari pilar pemrioritasan pariwisata (4,73). Keberadaan rencana tata ruang wilayah, kebijakan terkait pariwisata, dan keberadaan laman pariwisata merupakan beberapa indikator dari pemrioritasan pariwisata. Pemrioritasan pariwisata di DIY merupakan upaya dalam mendukung pencapaian visi 2025 menjadikan Yogyakarta sebagai daerah tujuan wisata terkemuka di Asia Tenggara.
Sementara itu, apabila ditinjau dari pilar keterbukaan internasional salah satu indikatornya yakni keberadaan agenda nasional dan internasional. Berdasarkan data Statistik Kepariwisataan 2018, jumlah penyelenggaraan meeting, incentive, convention, dan exhibition (MICE) di hotel berbintang DIY meningkat dari tahun 2016 hingga 2018.
Selama periode tahun 2016-2018 jumlah penyelenggaraan MICE terus naik. Bahkan kenaikannya mencapai 26 persen dari 14.069 di tahun 2016 menjadi 17.814 di tahun 2018. Rata-rata penyelenggaran MICE per bulannya sebanyak 1.172 (2016), 1.345 (2017), dan 1.485 (2018). Sedangkan jumlah pesertanya sebanyak 951.527 orang pada 2016, meningkat menjadi 1,05 juta orang pada 2017, dan pada 2018 menjadi 1,08 juta orang.
Data tersebut menunjukkan bahwa DIY prospektif dalam penyelenggaraan agenda-agenda nasional maupun internasional. Banyaknya penyelenggaraan MICE yang berlangsung di DIY diharapkan bukan hanya berdampak pada kunjungan wisata namun juga menjadi momentum untuk mengakselerasikan bisnis.
Aspek lain
Banyaknya destinasi wisata dan event yang telah dirancang tidaklah berarti jika tidak ditunjang dengan kelengkapan infrastruktur, baik infrastruktur darat, udara, maupun infrastruktur pendukung lainnya. Oleh karena itu, pembangunan dan perbaikan fasilitas infrastruktur di DIY diprioritaskan untuk proyek pendukung sektor pariwisata.
Pembangunan Bandara Yogyakarta International Airport (YIA) di Kabupaten Kulon Progo adalah salah satu langkah untuk mendukung pengembangan destinasi pariwisata Joglosemar sebagai prioritas nasional. Dengan kapasitas menampung sekitar 8 juta penumpang per tahun, sejak Mei 2019 Bandara YAI siap menjadi pintu gerbang transportasi udara selain Bandara Adisutjipto yang selama ini hanya bisa menampung 1,8 juta penumpang per tahun.
Dari segi infrastruktur darat, DIY melakukan percepatan pembangunan Jalur Jalan Lintas Selatan dan menata sejumlah titik di wilayah selatan. Di wilayah barat dilakukan pembangunan Bedah Menoreh yang menghubungkan Kulon Progo dengan kawasan pariwisata Borobudur. Di perkotaan, pembangunan jalur pedestrian dengan fasilitas memadai juga akan diperbanyak demi kenyamanan wisatawan.
Untuk kebutuhan akomodasi wisatawan provinsi ini memiliki 2.010 restoran dan rumah makan, 453 hotel berbintang dan non bintang, dan 93 gedung pertemuan. Jasa wisata juga tersedia disini dengan jumlah mencapai 695 usaha. Adanya kelengkapan sarana dan prasarana pariwisata di berbagai obyek wisata juga menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk kembali berkunjung.
Daya tarik utama dari daerah yang khas dengan kuliner gudeg ini tentu saja karena pesona alam, budaya, dan sejarahnya. Sepanjang tahun 2018, jumlah pengunjung ke obyek wisata alam di empat kabupaten mencapai 15,5 juta orang dengan kunjungan terbanyak ke Kabupaten Bantul (7,2 juta orang). Meskipun Kota Yogyakarta tidak menyediakan wisata alam, namun wisata budaya dan sejarah tersedia disini.
Keunggulan sumber daya budaya di DIY ditopang kuatnya pelestarian budaya dan adat istiadat leluhur dalam tatanan kehidupan masyarakat di tengah keterbukaannya terhadap budaya lain. Kesadaran akan potensi ini diatur dalam Perda DIY Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan DIY (RIPPARDA) yang menjadi panduan pengembangan wisata DIY yang berwawasan budaya.
Sebagai kiblat pengembangan kebudayaan Jawa dan model pengembangan budaya lain di Indonesia, Yogyakarta terus bertumbuh dengan akar budaya yang kuat. Sekitar 61 desa wisata tersebar di provinsi ini menambah kekayaan destinasi sejarah seperti keraton, istana kepresidenan, museum, makam, dan candi.
Pencapaian pada berbagai aspek pariwisata ini sejalan dengan slogan Jogja Istimewa yang memberi semangat kepariwisataan Yogyakarta. Pariwisata berkelanjutan tidak hanya dari pelestarian budaya namun juga mampu menggerakkan perekonomian daerah. Terbukti, pertumbuhan ekonomi DIY pada 2018 sebesar 6,2 persen tidak terlepas dari kontribusi sektor pariwisata.
Belajar dari Yogyakarta yang mampu membangun daya saing selevel dengan Bali, provinsi-provinsi lain pun bisa bermimpi meraih capaian ini. Apalagi, baru 12 provinsi (36 persen) yang mengumpulkan skor DSP di atas rata-rata provinsi secara nasional. Jika semua daerah bersinergi menaikkan daya saing pariwisatanya maka bukan tak mungkin di tahun-tahun mendatang selain Bali akan muncul daerah lain sebagai terfavorit di tingkat dunia. (Widatul Aini/Litbang Kompas)