Industri Sawit dan Tantangan Perang Dagang Uni Eropa
Diplomasi dengan semangat solusi jalan tengah perlu dikedepankan sebelum perang dagang Indonesia-Uni Eropa terkait kelapa sawit makin berlarut-larut dan membuat pihak-pihak yang bertikai semakin babak belur.
Ketegangan perang dagang antara Uni Eropa dan Indonesia diawali dengan Uni Eropa yang memberlakukan countervailing atau bea anti-subsidi sebesar 8 persen hingga 18 persen pada produk impor biodiesel bersubsidi dari Indonesia. Indonesia dianggap melakukan kecurangan dengan memberikan subsidi pada komoditas ekspor kelapa sawit dan produk turunannya sehingga harganya jauh lebih kompetitif.
Atas diberlakukannya countervailling itu, Indonesia merespons dengan menaikkan bea masuk atas produk olahan susu dari Uni Eropa dengan tarif 20-25 persen. Uni Eropa bergeming atas respons Indonesia tersebut. Puncaknya, Uni Eropa mengesahkan moratorium kelapa sawit dengan Renewable Energy Directive (RED) II pada 13 Maret 2019.
Delegated Regulation memberikan label minyak kelapa sawit sebagai komoditas Indirect Land Use Change (ILUC) yang berisiko tinggi, yang berakibat pada biodiesel berbahan sawit tidak masuk dalam kategori energi terbarukan.
Penetapan itu makin memperuncing ketegangan hubungan dagang antara Indonesia dan Uni Eropa. Pemerintah Indonesia melalui Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Geneva, Swiss, resmi mengajukan gugatan terhadap Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 9 Desember 2019. Gugatan itu menyatakan bahwa produk kelapa sawit Indonesia telah didiskriminasikan melalui kebijakan RED II.
Tak hanya sampai di situ, pemerintah Indonesia juga melarang ekspor bijih nikel mentah, dan mendorong hilirisasi pengolahan mineral dalam negeri untuk memberikan nilai tambah ekspor sebagai balasan kebijakan boikot produk sawit Uni Eropa.
Akibat perlakuan Uni Eropa terhadap industri sawit yang berdampak pada ekspor sawit dalam negeri, pemerintah Indonesia mencari jalan keluar dari jebakan defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit). Untuk itu, dikeluarkanlah Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024 (RAN-KSB), terkait rencana aksi pemanfaatan Biodiesel atau Bahan Bakar Nabati (BBN) untuk mesin atau motor diesel berupa metil ester asam lemak (minyak nabati atau fatty acid methyl esters/FAME) di dalam negeri.
Sebenarnya, sudah lama Indonesia mengupayakan solusi kelapa sawit sebagai bahan bakar ramah lingkungan dalam negeri. Yang terbaru, lewat Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM tentang Pelaksanaan Uji Coba Pencampuran Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel 30 persen (B30) ke dalam Bahan Bakar Minyak Jenis Solar Periode 2019, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menyampaikan, uji coba sudah berjalan dengan baik dari sisi performa kendaraan, monitoring, dan evaluasi yang dikerjakan oleh tim teknis.
Sebelumnya, uji coba B20 telah pula dilakukan dan berjalan sukses. Ke depan, setelah B30, Pemerintah berniat untuk meneruskan program Energi Baru Terbarukan (EBT) ke B50 dan B100. Nantinya selama dalam pelaksanaan B30, Kementerian ESDM menghitung setidaknya 9,6 juta kiloliter FAME dihasilkan untuk mendukung B30 pada 2020. Jumlah itu didasarkan pada kebutuhan FAME 2019 sebesar 6,6 juta kiloliter.
Jika kita menilik kondisi ke belakang, Indonesia sejatinya memiliki hubungan kemitraan dagang yang strategis dan saling menguntungkan dengan negara-negara Uni Eropa. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang Januari hingga November 2019, ekspor Indonesia ke Eropa mencapai 13 miliar dollar AS, turun 16,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Ekspor produk minyak nabati yang didominasi kelapa sawit dan produk turunannya menyumbang 82 persen dari total ekspor minyak nabati dan hewani Indonesia ke Uni Eropa, ekuivalen dengan 2,3 miliar dollar AS atau Rp 32,2 triliun (asumsi kurs Rp 14.000 per dollar).
Jadi, apabila situasi perang dagang Indonesia dan Uni Eropa masih terus berlanjut, seperti yang terjadi pada Amerika Serikat dengan China, pastilah dampaknya akan sangat terasa terhadap perekonomian nasional terutama di sektor manufaktur. Apalagi, kontribusi sektor manufaktur terhadap perekonomian nasional terbilang cukup besar yaitu mencapai 19,62 persen.
Lalu apa sebenarnya yang melatarbelakangi Uni Eropa melakukan diskriminasi kelapa sawit Indonesia? Apakah hanya semata-mata strategi politik dagang untuk membendung ekspor kelapa sawit Indonesia karena dikhawatirkan akan mendesak minyak nabati Eropa (SFO, RSO)? Jika kita cermati, Uni Eropa menjalankan kebijakan moratorium minyak sawit melalui RED II dengan dalih komitmen mereka melawan perubahan iklim sesuai Perjanjian Paris 2015.
Uni Eropa menganggap bahwa pembatasan impor terhadap kelapa sawit perlu dilakukan mengingat ekspansi perkebunan sawit memiliki risiko yang tinggi terhadap deforestasi dan kerusakan lahan. Alih fungsi lahan untuk perkebunan kelapa sawit menjadi penyebab utama deforestasi hutan. Satu hektar hutan hujan tropis yang dialihfungsikan sebagai perkebunan kelapa sawit menghilangkan potensi serapan emisi karbon hingga mencapai 174 ton.
Selain itu, Komisi Eropa menilai proses produksi biodiesel sawit menghasilkan emisi gas rumah kaca yang sangat besar. Emisi tersebut berasal dari aktivitas pengalihan fungsi lahan hutan menjadi perkebunan sawit, dan diklaim bisa melepaskan gas rumah kaca sampai tiga kali lipat lebih besar daripada pembakaran energi fosil.
Melihat fakta itu, tak mengejutkan apabila Uni Eropa menganggap biodiesel sawit dinilai dapat berdampak negatif bagi ketahanan iklim global. Belum lagi soal ekosistem dan keanekaragaman hayati yang terancam akibat aktivitas alih fungsi lahan sawit tersebut. Banyak terjadi kasus orang utan di Indonesia yang diburu oleh pengusaha dan petani kelapa sawit karena dianggap sebagai hama, padahal yang terjadi adalah hutan tempat tinggal mereka sudah berubah menjadi kebun sawit.
Secara obyektif, tidak dapat dimungkiri bahwa geliat industri kelapa sawit membawa dampak negatif terhadap ekosistem dan ketahanan lingkungan dalam negeri dan global. Namun di sisi lain, kondisi ini kontradiktif apabila kita sandingkan dengan besarnya potensi industri kelapa sawit dalam menyokong perekonomian nasional.
Sawit sangat cocok dikembangkan di negara iklim tropis dengan kondisi geografis dan demografis seperti di Indonesia. Industri sawit sejauh ini mampu menyerap 5,5 juta tenaga kerja langsung dan 12 juta tenaga kerja tidak langsung. Total nilai ekspor kelapa sawit sepanjang tahun 2018 sebesar 21,4 miliar dollar AS, dan ini merupakan komoditas terbesar melebihi ekspor migas. Tak pelak lagi industri kelapa sawit harus mendapatkan perhatian khusus untuk kepentingan ekonomi nasional, dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan dan keberlanjutan industri.
Seyogyanya pemerintah, bersama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), perguruan tinggi, dan pegiat industri kelapa sawit dalam negeri dapat segera duduk bersama untuk mencari solusi jalan tengah terkait permasalahan tata kelola industri kelapa sawit. Diperlukan forum bersama yang dapat melakukan pengelolaan dan pemantauan tata kelola industri berkelanjutan ramah lingkungan di setiap provinsi yang memiliki industri sawit.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan pemerintah dengan melibatkan berbagai komponen masyarakat sebagai solusi persoalan industri kelapa sawit dalam negeri diantaranya: konservasi keanekaragaman hayati dan landscape perkebunan kelapa sawit; pencegahan kebakaran kebun dan lahan melalui pendekatan civil society dan whistleblowing system.
Berikutnya, pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk membangun early warning system pencegahan terjadinya kebakaran hutan dan lahan; dan menindak tegas oknum aparat penegak hukum dan pemerintah daerah yang terbukti bermain mata dengan pengusaha dalam perusakan ekosistem lahan.
Juga perlu dilakukan pengukuran, pelaporan, dan verifikasi potensi penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di perkebunan kelapa sawit. Selanjutnya, peningkatan pemanfaatan lahan kritis sebagai upaya penurunan emisi gas rumah kaca dalam perkebunan kelapa sawit.
Perlu juga diupayakan pemanfaatan limbah kelapa sawit untuk peningkatan rantai nilai ekonomi; serta peningkatan pemanfaatan produk kelapa sawit sebagai energi terbarukan dalam rangka menjaga ketahanan energi.
Berbagai langkah riil pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan dan capaian keberhasilannya terhadap pelestarian lingkungan perlu juga disosialisasikan kepada dunia seperti di dalam WTO sebagai justifikasi langkah-langkah konkrit Indonesia atas kepeduliannya terhadap lingkungan dan ketahanan energi melalui industri kelapa sawit.
Pendekatan konstruktif melalui diplomasi bilateral dengan negara-negara Uni Eropa juga diperlukan untuk meredakan ketegangan perang dagang dengan mengedepankan asas kepentingan bersama dan saling menghormati antar-entitas negara.
Bagaimanapun, Indonesia hingga saat ini masih menggantungkan komoditas ekspor kelapa sawitnya ke Uni Eropa, begitu pula dengan Eropa masih bergantung pasokan nikel dan mineral lainnya dari Indonesia untuk pengolahan industri baja mereka.
Diplomasi dengan semangat solusi jalan tengah perlu dikedepankan sebelum perang dagang makin berlarut-larut dan hanya membuat pihak-pihak yang bertikai semakin babak belur. Sebab, kunci untuk bertahan di era revolusi industri 4.0 yang sangat dinamis saat ini adalah mampu berkolaborasi dengan siapapun, sesuai kata pepatah, “satu musuh terlalu banyak, seribu teman terlalu sedikit”.
(Ratnadi Hendra, mahasiswa Magister Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia).