Pada awal dekade 1970-an Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka gencar memburu persahabatan global. Ini bertujuan menampilkan sisi ramah Jepang. Memudarlah perlahan kejahatan Jepang dari era Perang Dunia II diwarnai tangisan para jugun ianfu, kontroversi kuil Yasukuni, dan pembantaian Tianjin di China.
Di Indonesia, penjajahan Belanda 350 tahun dipersepsikan setara dengan efek dahsyat kerusakan selama 3,5 tahun penjajahan Jepang. Di Indonesia juga terkenal sebutan interniran, tak pandang bulu serdadu Jepang memenjarakan para pekerja sosial asal Belanda.
Jepang memang dikenal kejam ditambah rasa superioritas (buku Introduction to Japanese Politics, 2009, karya Louis D Hayes). Kebijakan ekonominya juga dikenal licik, mengeksploitasi. Hal itu menyebabkan aksi protes di Asia, termasuk Peristiwa Malari di Indonesia.
Upaya Jepang memburu persahabatan kelak relatif sukses. Lewat relasi ekonomi, China-Jepang mengalami perkembangan pesat, seperti dituliskan Amy King, dosen strategi dan pertahanan di The Australian National University (ANU), 2 Desember 2019, di East Asia Forum Quarterly.
Hal serupa dituliskan kantor berita Xinhua, 10 April 2007, dengan tulisan berjudul relasi Jepang-China menguntungkan kedua belah pihak.
Tidak tulus
Namun, Jepang belum bersahabat sejati dengan China dan Korea Selatan. Di bawah Perdana Menteri Shinzo Abe, corengan tetap muncul dengan kunjungan ke Yasukuni yang diprotes China dan Korea Selatan. Terbaru, PM Abe menghardik dengan ucapan, sengketa wilayah Kepulauan Senkaku (Diaoyu—China), akan mengganjal seruan kolaborasi Presiden China Xi Jinping.
Jepang, yang masih ”didikte” AS, tampaknya harus melihat waktu. Era Asia sedang dikacaukan Presiden AS Donald Trump lewat perang dagang, lewat saran penasihat dagang Peter Navarro. Relasi lebih tulus Jepang ke Asia kini mendapatkan momentum. (MON)