Menanti Dirigen Angkutan Umum Jabodetabek
Hari Senin (6/1/2020), aktivitas warga di Jabodetabek diprediksi kembali pulih setelah libur pergantian tahun. Kemacetan mulai membayang. Kepadatan bakal terlihat lagi di angkutan umum.
Hari Senin (6/1/2020), aktivitas warga di Jabodetabek diprediksi kembali pulih setelah libur pergantian tahun. Kemacetan mulai membayang. Kepadatan bakal terlihat lagi di angkutan umum. Belum lagi bila hujan deras mengguyur dan genangan timbul di mana-mana. Situasi ini kian menyadarkan kita bahwa penataan transportasi di Jabodetabek harus dikerjakan bersamaan.
Penanggulangan kemacetan tak bisa dipisahkan dari penyediaan angkutan umum yang memadai bagi mobilitas warga. Keamanan, kenyamanan, dan keterjangkauan moda menjadi kunci keberhasilan angkutan umum. Apalagi bila kita berencana menggantikan kendaraan pribadi dengan angkutan umum ini.
Dengan total penduduk Jabodetabek 31 juta jiwa, terdapat 24,8 juta kendaraan. Angkutan umum hanya mengisi 2 persen dari jumlah kendaraan itu. Jumlah pengguna angkutan umum pun tercatat menurun.
Pada 2002, sebanyak 38 persen warga yang berkegiatan dengan angkutan umum. Pada 2019, jumlah pengguna ini tercatat turun menjadi 17 persen.
Dari catatan Kementerian Perhubungan, sekitar 7,70 juta perjalanan per hari masuk dan keluar Jakarta dari wilayah Tangerang, Bogor, Depok dan Bekasi pada tahun 2004. Dengan tingkat pertumbuhan perjalanan 3-4 persen per tahun, pada 2014 jumlah perjalanan mencapai 10,86 juta perjalanan.
Baca juga : Akses Pergerakan Kendaraan Lebih Efektif di Uji Coba Kedua Kanalisasi Jalur Puncak
Laporan Japtrapis (Jabodetabek public transportation policy implimatation strategy/2012) memperkirakan, di Jabodetabek pada kurun 2010-2020, terjadi kenaikan perjalanan sekitar 20,8 persen, menjadi 64 juta perjalanan per hari. Pada kurun waktu yang sama, terjadi kenaikan penggunaan kendaraan pribadi berupa mobil pribadi sebesar 40 persen, menjadi 28 persen terhadap total mobilitas. Sebaliknya, peran angkutan umum akan menurun drastis 18,5 persen menjadi hanya 22 persen pada tahun 2020.
Tantangan berat
Apabila mengurai kemacetan menjadi impian bersama, tentu optimalisasi angkutan umum menjadi kunci. Langkah ini harus dilakukan bersama di Jabodetabek, demi menekan penggunaan kendaraan pribadi.
Bambang Prihartono, Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) dalam diskusi tentang pengelolaan transportasi megapolitan, Rabu (11/12/2019), menjelaskan, kemacetan di Jakarta tidak bisa lepas dari perjalanan dari dan ke seluruh wilayah Jabodetabek. Karena saat ini wilayah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi sudah teraglomerasi dan menjadi satu kesatuan ekonomi disebut Jabodetabek.
Baca juga : Bekasi Mulai Benahi Transportasi Publik
Kota Bekasi, misalnya, berencana menata angkutan kota sambil menunggu bantuan dari Kementerian Perhubungan atau Pemprov Jawa Barat. “Kami sudah punya bus TransPatriot. Jumlahnya ada 21 unit. Hanya saja untuk penambahan unit, Kota Bekasi menunggu bantuan dari Kementerian Perhubungan atau Provinsi Jawa Barat,” jelas Rahmat Effendi, Wali Kota Bekasi dalam pertemuan Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jabodetabekpunjur di Balai Kota DKI, pertengahan Desember 2019.
Ia pun menjelaskan, keberadaan TransPatriot sebagai transportasi umum yang bisa menjadi pilihan warga Bekasi, belum maksimal dipergunakan. “Masih membutuhkan sosialisasi.”
Di beberapa titik seperti Harapan Indah, pengguna TransPatriot bisa berpindah ke Transjakarta untuk menuju ibu kota. Ada pula rute yang terintegrasi dengan stasiun KRL.
Karena masih terbatasnya jumlah kendaraan umum, Pemerintah Kota Bekasi sampai saat ini belum menerapkan kebijakan pembatasan kendaraan pribadi. Bekasi baru menata dari aspek park and ride, atau kantong parkir bagi pengguna angkutan umum yang hendak naik bus Transjakarta atau naik KRL ke Jakarta.
“Dari BKSP, kami mendapat bantuan untuk membangun dua titik park and ride, yaitu di alun-alun dan di sekitar stadion,” jelas Pepen, panggilan akrab Rahmat Effendi.
Angkutan terintegrasi
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo mengatakan, Jakarta terus mendorong penyediaan angkutan umum yang aman, nyaman, dan cepat di Jakarta.
Saat ini, angkutan bus rapid transit (BRT) Transjakarta melalui sistem angkutan yang terintegrasi, sudah mengangkut sebanyak 900.000-an penumpang setiap hari. Sementara MRT Jakarta sekarang sudah melayani 90.000 orang per hari.
M Effendi, Direktur Operasional dan Pemeliharaam PT MRT Jakarta, dalam diskusi tersebut, juga mengusulkan bentuk integrasi dengan kereta. Salah satunya, penataan jalur sepeda.
Menurutnya, ada baiknya jalur sepeda dibangun di kawasan-kawasan yang banyak dilintasi para pesepeda, di antaranya di kawasan selatan seperti Fatmawati. Di situ, banyak pekerja asing yang suka bersepeda ke kantor sehingga bisa difasilitasi dengan jalur sepeda. Bila mereka perlu melanjutkan perjalanan, bisa langsung naik MRT ke kantor atau ke tempat tujuan.
Ke depan, penataan jalur sepeda itu akan bisa menambah pengguna MRT. Sepeda bisa difungsikan sebagai angkutan pengumpan untuk MRT.
Baca juga : Warga Inginkan Tarif MRT dan LRT Tidak Terlalu Tinggi
Selain itu, tentu saja penataan trotoar menjadi penting karena akses pejalan kaki yang nyaman bisa membuat orang mudah mencapai stasiun atau halte angkutan umum.
Namun dengan angka perjalanan yang besar di Jakarta dan Bodetabek, menurut Syafrin, tetap diperlukan kebijakan lain untuk membenahi dan mendorong penggunaan angkutan umum. DKI Jakarta segera mendorong penerapan kebijakan jalan berbayar elektronik (ERP) dan penerapan tarif parkir yang tinggi.
Kedua kebijakan ini masih dalam tahap kajian sampai hari ini, demi bisa mendorong penerapan kebijakan push and pull dalam menata angkutan umum di Jakarta. “Tahun depan (2020), akan kami implementasikan,” jelas Syafrin.
Vini, pengguna angkutan umum, mengaku merasakan ada perbaikan angkutan umum meskipun masih ada kekurangan di sana-sini. Ia mengaku terbantu dengan adanya bus transjakarta Koridor 13 yang menghubungkan Jakarta dengan Ciledug, Kota Tangerang.
Sebagai warga Ciledug yang bekerja di sekitar kawasan Panglima Polim, Jakarta Selatan, ia memanfaatkan perluasan jangkauan bus transjakarta ini sejak 2 tahun terakhir.
Selain itu, jalur transjakarta yang masih bergabung dengan jalur reguler antara CBD Ciledug hingga selepas halte Adam Malik, juga menghambat laju bus. “Rumah saya sebenarnya dekat dengan Halte Puri Beta. Tetapi, kalau saya naik bus dari Puri Beta, bisa 30 menit untuk sampai di Adam Malik karena macet yang parah. Jadi, saya pakai ojek sampai ke Halte Adam Malik dan menunggu bus di sana,” katanya.
Beberapa tahun terakhir, kata Vini, angkutan umum memiliki pesaing yang kuat yakni ojek online (daring). Meskipun bertarif lebih mahal ketimbang bus transjakarta atau kereta listrik, namun ojek relatif bisa memangkas waktu tempuh. “Ini yang mesti diimbangi dengan perbaikan pelayanan angkutan umum terus-menerus, serta regulasi ojek,” katanya.
Lembaga yang kuat
Alfred Sitorus dari Koalisi Pejalan Kaki menjelaskan, permasalahan kemacetan dan penanganan transportasi di Jabodetabek memang hanya Jakarta yang terlihat sangat sibuk berbenah. Pemerintah kota dan kabupaten di sekitar Jakarta cenderung diam saja. Jakarta juga tidak bisa memberikan hibah terkait transportasi publik untuk daerah sekitar.
“Kalau begini, sebaiknya selain ada holding perusahaan angkutan umum berbasis rel, sebaiknya juga ada holding perusahaan angkutan umum berbasis jalan,” jelas Alfred.
Untuk pengaturan dan pengelolaan transportasi di Jabodetabek, supaya seirama dan seimbang dengan upaya Jakarta berbenah, lanjut Alfred, juga perlu peran BPTJ.
“BPTJ ini seharusnya mengelola dan mengatur manajemen transportasi seluruh Jabodetabek. Yang kami lihat, BPTJ malah seperti operator, mengeluarkan produk JR Connexion dan JA Connexion. BPTJ seharusnya mengatur,” tegas Alfred.
Pengaturan yang ia maksud misalnya BPTJ membuat aturan satu ruas jalan di tol khusus untuk bus. Dengan begitu, layanan bus perpanjangan Transjakarta dari arah Bekasi atau Tangerang bisa lancar membawa penumpang tanpa terhambat macet.
“Orang mau naik bus ini karena ada jaminan waktu, kenyamanan, juga kecepatan. Jaminan yang adalah daya tarik ini saja akan membuat orang meninggalkan kendaraannya dan berganti angkutan umum,” jelasnya.
Alvinsyah, pengamat transportasi dari Universitas Indonesia, menjelaskan, untuk penanganan transportasi di Jabodetabek, memang idealnya wilayah Jabodetabek menjadi satu wilayah administratif tersendiri dengan kewenangan untuk beberapa sektor penting yang terkait erat dengan tata ruang dan transportasi.
BPTJ juga bisa melakukan itu semua, namun statusnya ditingkatkan dengan diberikan kewenangan di sektor-sektor transportasi dan tata ruang. Secara kelembagaan, BPTJ perlu setingkat dengan kementerian yang berada di bawah Presiden. “Kalau status kelembagaannya diperkuat, maka siapapun yang ditempatkan memiliki ruang untuk berbuat banyak. Tinggal kualitas dan kompetensi individunya yang akan menentukan kiprah BPTJ,” jelas Alvinsyah.
Namun, lanjutnya, sudah saatnya penataan angkutan umum memiliki lembaga semacam Transit Authority yang bisa diinisiasi di Jakarta dan bisa diperluas ke Jabodetabek.
Ibarat orkestra, penataan angkutan umum Jabodetabek membutuhkan dirigen yang mumpuni untuk membawa wilayah ini keluar dari jerat kemacetan.