Tahun 2020 masih dipandang sebagai tahun politik oleh masyarakat. Hal ini salah satunya terkait dengan besarnya atensi masyarakat pada pemilihan kepala daerah serentak pada tahun ini.
Oleh
Dedy Afrianto/ Litbang Kompas
·5 menit baca
Tahun 2020 masih dipandang sebagai tahun politik oleh masyarakat. Hal ini salah satunya terkait dengan besarnya atensi masyarakat pada pemilihan kepala daerah serentak di 270 daerah yang akan digelar pada tahun ini. Pilkada langsung yang aman, damai, dan bebas dari politik uang tetap menjadi harapan publik.
Harus diakui, tahun ini akan menorehkan catatan bagi perjalanan demokrasi di Indonesia. Jika tidak ada perubahan regulasi, pemilihan kepala daerah atau pilkada serentak yang akan digelar di 270 daerah pada tahun ini akan menjadi pilkada serentak transisi terakhir sebelum menuju pilkada serentak nasional di semua kabupaten/kota dan provinsi pada 2024. Sebelumnya, pilkada serentak transisi diselenggarakan pada 2015 (269 daerah), 2017 (101 daerah), dan 2018 (171 daerah).
Tidak heran jika kemudian hiruk pikuk pilkada yang akan dilangsungkan pada 23 September 2020 mulai dirasakan di sejumlah wilayah. Setidaknya hal ini terekam dalam jajak pendapat Litbang Kompas pada 26-27 Desember 2019. Lebih dari separuh responden di daerah yang akan melaksanakan pilkada mengaku telah merasakan berbagai kegiatan politik sejak akhir 2019.
Merujuk Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 16 Tahun 2019 tentang Tahapan Pilkada, masa kampanye baru berlangsung 11 Juli hingga 19 September 2020.
Namun, kegiatan politik sudah dirasakan publik. Sebut saja seperti pemasangan baliho, sosialisasi bakal calon kepala daerah ke permukiman warga, dan pembagian atribut bakal calon kepala daerah. Meskipun masa kampanye masih jauh, aktivitas sebagian bakal calon itu dilakukan dengan alasan memperkenalkan diri kepada calon pemilih.
Tahapan pilkada sudah dimulai sejak November 2019 yang diawali dengan sosialisasi kepada masyarakat terkait penyelenggaraan pilkada. Memang, sebagian besar responden sudah mengetahui agenda pilkada ini, tetapi tidak sedikit responden yang belum paham. Jajak pendapat Kompas menunjukkan, sebanyak 14,1 persen responden mengaku tidak tahu di tahun 2020 akan ada pilkada. Dari kelompok responden yang belum tahu itu, hampir separuhnya berasal dari daerah yang akan menggelar pilkada, seperti Kota Medan (Sumatera Utara), Surabaya (Jawa Timur), dan Makassar (Sulawesi Selatan).
"Meskipun demikian, publik tetap antusias menyambut Pilkada 2020. Hal ini terlihat dari banyaknya responden yang ingin berpartisipasi aktif sebagai pemilih. Sebanyak 82,4 persen responden di daerah penyelenggara pilkada mengaku akan menggunakan hak pilihnya untuk memilih kepala daerah."
Meskipun demikian, publik tetap antusias menyambut Pilkada 2020. Hal ini terlihat dari banyaknya responden yang ingin berpartisipasi aktif sebagai pemilih. Sebanyak 82,4 persen responden di daerah penyelenggara pilkada mengaku akan menggunakan hak pilihnya untuk memilih kepala daerah. Antusiasme ini menjadi sinyal positif bagi tingkat partisipasi pemilih di pilkada. Sebagai catatan, data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan tingkat partisipasi pemilih di pilkada serentak 2018 mencapai 73,24 persen.
Responden juga meyakini pilkada secara langsung lebih baik dibandingkan pilkada melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Mayoritas responden (81,6 persen) meyakini hal ini. Untuk itu, sebagian besar dari mereka berharap sistem pilkada ini tidak diubah. Harapan ini muncul merespons wacana perubahan sistem pilkada dari pemilihan langsung menjadi pemilihan melalui DPRD yang sempat mencuat pada 2019. Mahalnya biaya penyelenggaraan pilkada langsung menjadi salah satu pertimbangan munculnya opsi mengembalikan pilkada melalui DPRD.
Selain menginginkan pilkada tetap dengan sistem pemilihan langsung, publik juga berharap pilkada dapat berjalan aman, damai, bebas dari isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), serta bersih dari politik uang. Isu politik uang menjadi poin utama yang dikhawatirkan hampir sepertiga responden.
Harapan lain publik terhadap pilkada langsung juga tidak lepas dari hadirnya calon kepala daerah yang lebih baik. Untuk itu, penjaringan calon kepala daerah menjadi kunci. Sayangnya, partai politik sebagai institusi kunci dalam perekrutan politik masih diragukan kemampuannya dalam menghadirkan sosok calon kepala daerah yang berintegritas sesuai harapan publik.
Keraguan ini tampak dari sikap publik yang terbelah dalam memandang keseriusan partai menjaring sosok ideal yang akan dicalonkan dalam pilkada. Sikap responden ini perlu menjadi perhatian partai politik untuk tidak main-main dalam proses perekrutan politik, terutama dalam penjaringan calon kepala daerah pada pilkada tahun ini. Tentu, hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi partai untuk menjawab harapan publik akan lahirnya kepala daerah berintegritas dan berkualitas. Harapan ini wajar karena sejauh ini publik cenderung masih menitikberatkan pilihannya kepada pasangan calon yang diusung partai politik dibandingkan calon yang berasal dari jalur perseorangan.
Rekap elektronik
Selain menyoal sistem dan perekrutan politik dalam pencalonan di Pilkada 2020, publik juga antusias menyambut upaya KPU melakukan perbaikan teknis penyelenggaraan pilkada. Salah satunya terkait wacana rekapitulasi perolehan suara secara elektronik. Melalui sistem ini, data dari tempat pemungutan suara (TPS) akan dikirimkan ke pusat tabulasi data KPU sehingga dapat menghemat waktu penghitungan suara.
"Rekapitulasi elektronik ini juga diyakini dapat meringankan pekerjaan petugas KPU di lapangan. Harapannya hal itu bisa mengurangi beban kerja mereka."
Rekapitulasi elektronik ini juga diyakini dapat meringankan pekerjaan petugas KPU di lapangan. Harapannya hal itu bisa mengurangi beban kerja mereka. Banyaknya kasus petugas kelompok panitia pemungutan suara (KPPS) yang meninggal pada Pemilu 2019 menjadi salah satu pertimbangan KPU mewacanakan sistem rekapitulasi ini.
Publik juga menyambut positif wacana ini. Sebanyak tujuh dari 10 responden dalam jajak pendapat setuju dengan upaya KPU melakukan rekapitulasi penghitungan suara secara elektronik. Bagi responden, rekapitulasi elektronik membuka peluang transparansi proses penghitungan suara sehingga bisa diakses secara langsung dan mudah oleh masyarakat. Apalagi, sebanyak 68,4 persen responden mengaku antusias akan memantau hasil pilkada jika sistem penghitungan suara elektronik diterapkan KPU.
Bagaimanapun, rekapitulasi elektronik merupakan wujud dari perpaduan demokrasi dan teknologi. Apalagi, selain rekapitulasi suara, muncul pula wacana pemilihan umum secara elektronik. Sebenarnya wacana ini sudah tertuang dalam regulasi. Pasal 85 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menyebutkan, pemilihan suara salah satunya dapat dilakukan melalui peralatan pemilihan suara secara elektronik.
Namun, soal memilih secara elektronik ini rasanya belum perlu diterapkan dalam waktu dekat. Selain karena biaya yang besar, kultur pemilih Indonesia masih konvensional. Jajak pendapat menunjukkan, sebanyak 76,2 persen responden lebih nyaman memilih dengan cara mencoblos surat suara dibandingkan memilih lewat peralatan elektronik.
Apa pun cara memilihnya, yang lebih utama adalah bagaimana suara pemilih itu terjaga dan mampu diartikulasikan menjadi amanah oleh pasangan calon terpilih. Bagaimanapun, pilkada adalah gerbang perubahan bagi suatu daerah.
Besarnya perhatian dan harapan publik pada pilkada tahun ini menjadi modal sosial bagi masa depan demokrasi Indonesia yang dibangun melalui kontestasi politik di daerah.