Transformasi Teknologi Membuka Kunci Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Transformasi teknologi akan menambah PDB Indonesia 2,8 triliun dollar AS pada 2040. Pengadopsian teknologi baru juga berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekitar 0,5 persen.
Percepatan pertumbuhan ekonomi mutlak membutuhkan pengadopsian teknologi baru. Ekosistem teknologi digital harus dibangun secara bertahap di berbagai lini mulai dari kualitas tenaga kerja, birokrasi, hingga sistem ekonomi.
Transformasi teknologi dinilai menjadi pembuka kunci bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang selama ini bertahan di kisaran 5 persen. Adopsi teknologi akan meningkatkan produktivitas, efisiensi energi, perencanaan dan penganggaran, serta kualitas produk.
Berdasarkan riset Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, transformasi teknologi akan menambah produk domestik bruto (PDB) Indonesia 2,8 triliun dollar AS pada 2040. Pengadopsian teknologi baru juga berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekitar 0,5 persen.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah sudah menyusun peta jalan transformasi digital dalam beberapa sektor, yakni perdagangan, infrastruktur, dan ketenagakerjaan. Peraturan perpajakan dan birokrasi berbasis digital juga terus dimatangkan secara bertahap.
”Peta jalan transformasi digital sudah jelas, fasilitas yang akan diberikan juga jelas,” ujar Airlangga pekan lalu.
Di bidang infrastruktur, Indonesia sudah menyelesaikan pembangunan jaringan serat optik Palapa Ring Broadband pada Oktober 2019. Pembangunan infrastruktur akan dilanjutkan dengan pengembangan jaringan 5G di masa depan. Infrastruktur telematika jadi fondasi pembangunan ekosistem digital.
Pemerintah juga sudah menyusun peta jalan Revolusi Industri 4.0 yang diarahkan untuk meningkatkan produktivitas dan menurunkan biaya produksi. Ada lima industri unggulan yang didorong mengadopsi teknologi baru, yakni makanan dan minuman, tekstil dan pakaian jadi, otomotif, elektronik, dan industri kimia.
”Peta jalan itu berlaku sampai tahun 2030, yang juga dilengkapi dengan riset dari sejumlah lembaga internasional,” kata Airlangga.
Baca juga : Menjadi Penyintas Era 4.0
Adopsi teknologi baru akan menyelamatkan Indonesia dari jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap). Menurut kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Indonesia akan keluar dari middle income trap pada 2036 dengan asumsi rata-rata pertumbuhan ekonomi 5,6 persen. Adapun PDB per kapita sebesar 16.877 dollar AS.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, dalam wawancara khusus bersama Kompas, beberapa waktu lalu, mengatakan, pengadopsian teknologi akan mengubah cara kerja birokrasi. Perkembangan teknologi menuntut birokrat adaptif terhadap perubahan.
Karena itu, pada 2020, internal Bappenas akan melakukan uji coba pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan untuk kerja birokrasi. Seluruh aktivitas aparatur sipil negara (ASN) bisa dikerjakan melalui aplikasi berbasis sistem komputasi awan (cloud). Waktu dan lokasi kerja lebih fleksibel, tetapi terukur.
”Hasil uji coba akan diserahkan kepada Presiden dan diaplikasikan secara nasional,” kata Suharso.
Nantinya, pemerintah akan memiliki sistem cloud nasional dengan lebar pita (bandwidth) yang besar dan firewall paling efektif. Sistem cloud juga terintegrasi dengan program satu data dan satu peta. Penggunaan sistem cloud memungkinkan kinerja birokrasi lebih efektif dan efisien, terutama bagi negara kepulauan seperti indonesia.
Terbaru, Amazon melalui Amazon Web Services (AWS) akan mengembangkan pangkalan data untuk layanan komputasi awan (cloud computing) di Indonesia dengan nilai investasi awal 2,5 miliar dollar AS. Infrastruktur layanan cloud computing ini diperkirakan selesai antara tahun 2021 dan 2022.
Hambatan Indonesia
Yurendra Basnett, Country Economist Asian Development Bank, mengatakan, ada lima hambatan transformasi teknologi di Indonesia, yakni kebutuhan biaya besar, keahlian tenaga kerja rendah, ketidakpastian teknis, resistensi terhadap perubahan (pola pikir), dan pembangunan infrastruktur digital yang belum mencukupi.
Di Indonesia, perusahaan manufaktur di Indonesia yang aktif berinovasi dan melakukan riset kurang dari 6 persen. Perusahaan yang tetap melakukan adopsi teknologi baru terbatas sekitar 30 persen, sementara perusahaan berbasis konvensional yang tidak aktif melakukan riset dan inovasi 54 persen.
”Kesadaran pengadopsian teknologi baru dalam bisnis juga harus ditingkatkan. Tujuannya agar ekosistem riset dan inovasi juga terbentuk,” ujar Basnett.
Perusahaan manufaktur di Indonesia yang aktif berinovasi dan melakukan riset kurang dari 6 persen. Perusahaan yang tetap melakukan adopsi teknologi baru terbatas sekitar 30 persen.
Baca juga : Ekosistem Inovasi Belum Terbangun
Pengadopsian teknologi harus dibarengi perencanaan jangka pendek (5 tahun), menengah (5-10 tahun), dan panjang (lebih dari 10 tahun). Menurut hasil riset, kata Basnett, adopsi teknologi baru berpotensi diterapkan Indonesia pada industri otomotif dan elektronik. Kedua sektor itu akan merajai pasar global masa depan.
Direktur Digital PWC Roman Nadielka mengatakan, pembangunan infrastruktur telematika harus ditujukan untuk mendorong ekonomi inklusif. Jangan sampai akses terhadap teknologi digital hanya bisa dilakukan segelintir orang. Dengan demikian, pemanfaatan teknologi digital bisa berhasil mengakselerasi perekonomian nasional.
Menurut Nadielka, kontribusi ekonomi digital terhadap PDB dunia mencapai 15,5 persen. Pemain utama ekonomi digital saat ini masih terpusat di Amerika Serikat dan China.
Dengan demikian, pembangunan infrastruktur telematika menjadi keniscayaan bagi Indonesia. ”Teknologi digital harus bisa diakses oleh semua penduduk di seluruh wilayah Indonesia,” ujar Nadielka.
Indonesia dinilai memiliki potensi besar dan ruang luas untuk mengadopsi teknologi digital. Berdasarkan riset e-Conomy South East Asia, potensi ekonomi digital Indonesia tahun 2019 sebesar 40 juta dollar AS, sementara tahun 2025 sebesar 133 juta dollar AS. Potensi itu bisa tergarap optimal jika pembangunan ekonomi berkelanjutan dan inklusif.
Potensi ekonomi digital Indonesia tahun 2019 sebesar 40 juta dollar AS, sementara tahun 2025 sebesar 133 juta dollar AS.
Baca juga: Berani Menghadapi Perubahan, Merebut Peluang di Era 4.0
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menambahkan, pengeluaran untuk riset akan ditingkatkan secara bertahap. Selain mengalokasikan dana abadi riset, pemerintah juga membentuk badan riset dan inovasi nasional untuk mengoordinasikan kegiatan penelitian dan pengembangan yang saat ini masih tersebar di sejumlah kementerian/lembaga.
Pengeluaran kotor untuk riset dan penelitian ditingkatkan dari 0,1 persen PDB pada 2013 menjadi 1,5-2 persen PDB pada 2045. Pada 2020, alokasi dana abadi penelitian dalam APBN sebesar Rp 5 triliun.