Apakah Gelombang Unjuk Rasa Mahasiswa akan terjadi Lagi pada 2020?
›
Apakah Gelombang Unjuk Rasa...
Iklan
Apakah Gelombang Unjuk Rasa Mahasiswa akan terjadi Lagi pada 2020?
September 2019, gelombang demonstrasi mahasiswa pecah di sejumlah daerah. Apakah gelombang demonstrasi serupa akan terjadi lagi pada 2020?
Oleh
Soelastri Soekirno
·5 menit baca
Sepanjang 2019, ada beberapa kejadian menonjol yang melibatkan mahasiswa. Salah satunya, unjuk rasa menolak sejumlah RUU kontroversial. Apakah pada 2020 mahasiswa akan bergerak lagi? Yuk kita dengar suara beberapa ketua/presiden BEM yang ikut merancang unjuk rasa.
September 2019, mahasiswa di berbagai daerah bergerak serentak memprotes pengesahan UU KPK dan menolak beberapa RUU kontroversial terutama RUU PKS, RUU pertanahan, RUU KUHP, RUU minerba. Gelombang demonstrasi yang nyaris serentak itu membuat kaget banyak kalangan yang selama ini menganggap mahasiswa sekarang apolitis.
Pada saat yang sama, mereka terpesona dengan cara mahasiswa zaman now mengekspresikan aspirasinya lewat pesan-pesan poster yang kocak, seperti "Ga papa make ku luntur asal jangan keadilan yang luntur". Meski poster yang muncul bikin pembacanya tersenyum, namun tidak mengaburkan inti pesannya, yakni mahasiswa terusik dengan prilaku sejumlah elite yang berupaya melemahkan kebebasan sipil, praktik korupsi, dan mengabaikan keadilan.
Apakah gelombang unjuk rasa mahasiswa akan kembali muncul pada 2020 mengingat, RUU kontroversial yang dipersoalkan belum dibatalkan melainkan hanya ditunda?
"Kalau demokrasi diganggu lagi, korupsi tidak juga berhenti, dan pelemahan lembaga demokrasi terjadi lagi, kita akan tetap bergerak. Itu semua akan memantik energi mahasiswa untuk turun ke jalan," tegas Sultan Rivandi, Presiden Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Selasa (7/1/2019).
Hal yang sama ditegaskan Presiden Mahasiswa Universitas Trisakti Dinno Adriansyah. Mahasiswa akan bergerak pada 2020 untuk mengawal dan mengawasi kinerja legeslatif, yudikatif dan eksekutif. Apalagi pada periode ke-2 pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak ada lagi oposisi setelah Prabowo Subianto bergabung ke kabinet.
Sejauh ini, jelas Dinno, aktivis mahasiswa dari berbagai kampus yang tergabung dalam BEM Nusantara terus berkonsolidasi. Akhir Desember lalu, Dinno bertemu beberapa aktivis mahasiswa di Jakarta Selatan untuk berdiskusi dan membuat rencana pada 2020.
Dari situ, para pengurus mahasiswa antarkampus sepakat mulai bergerak lagi pada Januari 2020. “Kami terus memantau kapan reses berakhir dan kapan anggota dewan aktif lagi di parlemen,” tambah Dinno, Selasa (17/12/2019) di Jakarta. .
Pertama-tama, mereka akan memantau rencana Komisi III DPR RI mengundang pihak terkait dengan pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia. Sebelumnya, para wakil mahasiswa BEM Nusantara mendatangi Komisi III DPR RI pada 10 Desember lalu untuk mempertanyakan penanganan kasus pelanggaran HAM berat di Papua, Jakarta (Tragedi Trisakti dan Semanggi), juga kasus tewasnya dua mahasiswa Universitas Halueolo Kendari saat demo, September lalu.
“Pimpinan Komisi III DPR berjanji setelah reses, mereka akan membahas persoalan itu dengan pihak terkait. Kami akan hadir pada rapat tersebut,” ujar Dinno. Selain soal penanganan kasus HAM, mereka juga menuntut perbaikan isi RUU yang mereka tolak pada September lalu.
Di Bandung, Ketua BEM Kema Universitas Padjadjaran Riezal Ilham Pratama melihat, secara nasional belum ada momentum politik yang besar pada 2020. "Meski begitu kami tetap memantau dan terus berkomunikasi dengan kawan-kawan pengurus BEM," katanya, Desember.
Saat ini, BEM Kema Unpad bersama beberapa kampus di Bandung dan sekitarnya sedang menyikapi isu lokal yakni penggusuran di Taman Sari, Bandung yang mengakibatkan gesekan antar warga dan aparat. Namun pada 2020 mereka akan menyoroti isu demokrasi, kasus pelanggaran HAM, persekusi, kerusakan lingkungan, dan kesehatan mental di kalangan mahasiswa dan dosen.
Dinamika kampus
Meski para pimpinan mahasiswa itu bertekad terus bergerak, namun mereka menyadari bahwa ekskalasi gerakan mahasiswa 2020 akan sulit menyamai tahun 2019. Ada beberapa situasi yang berpotensi memperlambat konsolidasi gerakan pada 2020. Salah satunya, menurut Sultan, adalah dinamika politik kampus yang bisa berubah seiring pergantian kepengurusan BEM di berbagai kampus.
"Pengurus BEM yang baru harus bekerja dari awal di kampus, membangun lagi nostalgia demo September, konsolidasi lagi dengan pengurus BEM dari kampus lain, dan sebagainya. Itu kalau ketua BEM yang baru punya visi gerakan yang sama. Kalau beda, ya lain lagi ceritanya," tambah Sultan.
Riezal juga mengakui hal itu. Adanya pergantian kepengurusan BEM dan organisasi kemahasiswaan di banyak kampus membuat komunikasi tersendat. "Kami perlu waktu lagi untuk membangun pola komunikasi dengan pengurus baru," tambah Riezal yang menjabat Presiden BEM Kema Unpad Desember lalu. Sebelumnya ia menjabat sebagai Presiden BEM FISIP Unpad.
Selain itu, menurut Sultan, konsolidasi antar kampus bisa terganggu karena ada kecemburuan antar aktivis. "Unjuk rasanya bareng-bareng tapi kampus besar yang bisa muncul di tingkat nasional, yang kecil nggak. Ada yang mengklaim, ada yang merasa diklaim ha ha ha," ujar Sultan.
Situasi serupa juga terjadi pada gerakan mahasiwa di era Reformasi. Ini tampaknya menjadi salah satu karakter gerakan mahasiswa yang cenderung cair.
Di samping faktor internal, faktor eksternal juga berpengaruh. "Tahun 2020 tensi politik kemungkinan tidak sepanas 2019. Kan nggak ada pilpres dan pileg. Isu besar juga belum kelihatan," tambah Riezal.
Pemerintah, menurut Sultan, juga akan berhitung untuk bikin kebijakan yang lebih hati-hati. "Kalau nggak hati-hati, nostalgia demo September akan muncul lagi."
Di tengah aneka perubahan internal maupun eksternal, kemungkinan mahasiswa akan memilih beberapa cara lain untuk bersuara. Dino mengatakan, diskusi dan gerakan moral bisa jadi pilihan. Sultan menduga, diskusi dan audiensi serta penghimpunan gagasan secara daring seperti petisi online akan banyak dilakukan mahasiswa pada 2020.
Kalau bentuk-bentuk gerakan seperti itu mentok, baru mahasiswa akan turun ke jalan. Menurut Dinno, Sultan, dan Riezal, turun unjuk rasa di jalan itu langkah terakhir. “Demo itu nggak gampang. Biayanya besar dan kami harus menanggungnya bareng-bareng. Tapi kalau demokrasi diganggu ya kita turun," tegas Dinno.
Ya demo berhari-hari dan panas-panasan di jalan pasti berat. Dilan aja belum tentu sanggup. (BSW)