Program Adaptasi Pemerintah Kurang Libatkan Masyarakat
›
Program Adaptasi Pemerintah...
Iklan
Program Adaptasi Pemerintah Kurang Libatkan Masyarakat
Pemerintah pusat maupun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum cukup melibatkan masyarakat dalam menjalankan program-program adaptasi bencana, termasuk bencana banjir. Padahal, warga adalah kunci untuk mengurangi risiko.
Oleh
J GALUH BIMANTARA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Pemerintah pusat maupun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum cukup melibatkan masyarakat dalam menjalankan program-program adaptasi bencana, termasuk bencana banjir. Padahal, penerimaan oleh masyarakat adalah kunci mengurangi risiko bencana agar dampak seperti yang diakibatkan banjir awal tahun 2020 ini tidak lagi terjadi.
Adaptasi merupakan tindakan untuk mengatasi dampak. Caranya bisa dengan mengurangi kerentanan dan keterpaparan terhadap dampak buruk, dan bahkan mencari manfaat atau keuntungan dari tindakan itu. Program adaptasi bencana di Jakarta antara lain normalisasi dan naturalisasi Kali Ciliwung, revitalisasi waduk, serta pembangunan tanggul pesisir yang terintegrasi dengan Pembangunan Kawasan Pesisir Terpadu Ibu Kota Nasional (NCICD).
“Adaptasi yang dilakukan pemerintah bertujuan untuk mengurangi keterpaparan (masyarakat terhadap bencana), tetapi saat di masyarakat sering kali berbenturan,” ucap peneliti pengurangan risiko bencana dan adaptasi bencana dari Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Gusti Ayu Ketut Surtiari, dalam jumpa media di Jakarta, Selasa (7/1/2020).
Peneliti hidrologi LIPI M Fakhrudin serta geografer perkotaan Pusat Penelitian Kebijakan dan Manajemen Iptek dan Inovasi LIPI Galuh Syahbana Indraprahasta turut berbicara.
Pentingnya pelibatan masyarakat terlihat dari polemik relokasi dalam upaya pembenahan Kali Ciliwung. Padahal, menurut Galuh, penerapan metode normalisasi versi pemerintah pusat maupun naturalisasi versi Pemerintah Provinsi DKI sama-sama membutuhkan relokasi warga di bantaran Ciliwung mengingat lebar sungai harus dipulihkan terlebih dulu. Pemprov DKI tidak bisa menghindari opsi relokasi warga.
Ayu mengatakan, relokasi idealnya melalui empat tahap, yaitu perencanaan, proses penyesuaian diri warga sasaran, kemudian memastikan warga mendapat manfaat atau keuntungan (contohnya, bisa mencari nafkah), baru serah terima unit hunian dilakukan. Seluruh tahap itu umumnya menghabiskan 5-20 tahun, tetapi durasi bisa diperpendek asalkan pemerintah dan pemprov memastikan tidak ada tahap yang terlewatkan.
Selain itu, membangun kemauan warga di bantaran sungai untuk direlokasi bergantung pada persepsi yang dimiliki. Persepsi dipengaruhi oleh arus informasi yang diterima warga. Karena itu, Ayu mendorong agar pemerintah dan pemprov memastikan seluruh individu, bukan hanya perwakilan seperti ketua RT atau RW saja yang menerima informasi program.
“Jadi, mau tidak mau harus bekerja keras menyamakan persepsi sehingga muncul keinginan untuk melakukan tindakan adaptasi, bukan sekadar nanti kalau banjir ke pengungsian setelah itu gotong royong membersihkan lingkungan. Itu harus sama-sama pelan-pelan diubah,” ujar Ayu.
Galuh menuturkan, masalah banjir Jakarta terkait dengan pengendalian tata ruang. Ruang merupakan sistem yang terdiri dari tiga sub sistem saling terkait, yaitu teknis, sosial, dan ekologi. “Bicara tentang banjir, apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah dan jajarannya adalah bagaimana bisa mengintervensi supaya sub sistem-sub sistem ini bisa berjalan kurang lebih seimbang,” ucap dia.
Intervensi berupa normalisasi atau naturalisasi baru menyasar sub sistem teknis. Infrastruktur sangat penting tetapi bukan satu-satunya. Galuh mencontohkan, terkait sub sistem sosial, terdapat masalah berupa kebiasaaan membuang sampah ke dalam sungai yang kemudian turut memicu bencana. Padahal, produksi sampah warga Indonesia yang rata-rata 0,5-0,8 kilogram per orang per hari masih lebih rendah dibanding Singapura dan Malaysia (rata-rata lebih dari 1 kg per orang per hari).