Naturalisasi yang Keliru
Berbeda dengan kata normalisasi yang tidak menimbulkan masalah, kata naturalisasi yang muncul belakangan berbeda maknanya dengan yang selama ini dikenal, begitu pula pembentukannya.
Di tengah cuaca dingin karena hujan tak henti mengguyur Jakarta dan sekitarnya, kita disuguhi perbincangan tentang normalisasi dan naturalisasi. Kedua kata itu dikaitkan dengan penanganan banjir yang sudah, sedang, dan bukan tidak mungkin akan terjadi lagi, mengingat puncak musim hujan terjadi pada Februari.
Kata normalisasi yang diambil dari bahasa Inggris, normalization, dan disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia bermakna ’tindakan mengembalikan pada keadaan normal’.
Dalam konteks penanganan banjir, kata tersebut selama ini kita pahami sebagai proses pengembalian lebar sungai dan memperkuat dinding sungai dengan pembetonan. Kata ini ”naik daun” saat kawasan Kampung Pulo ditertibkan pada 2016. (Kompas, 7 Januari 2020)
Akan halnya naturalisasi, yang juga diambil dari bahasa Inggris, naturalization, bermakna ’tindakan atau proses menjadi warga negara’. Kamus Oxford daring mengartikan kata ini sebagai ’proses membuat seseorang yang tidak dilahirkan di negara tertentu menjadi warga negara dari negara itu’.
Dalam sejumlah kamus, kata ini juga mengacu pada urusan warga negara (pewarganegaraan), dan tidak mengacu pada masalah lain, apalagi banjir.
Sampai di sini kata normalisasi tidak menimbulkan masalah. Hal itu berbeda dengan kata naturalisasi yang selain berbeda maknanya, bisa jadi juga berbeda cara pembentukannya.
Mari kita bandingkan penggunaan kata naturalisasi yang maknanya sudah lama dikenal oleh pengguna bahasa Indonesia dengan naturalisasi yang maknanya baru berkembang belakangan ini.
Bintang film Yul Brynner melepaskan kewarganegaraan AS-nya, demikian Kemlu AS di Washington mengabarkan hari Selasa. Brynner, warga negara AS, melalui naturalisasi, menyerahkan paspornya pada pejabat AS di Jerusalem (Kompas, 24 Juni 1965).
… Gubernur DKI Anies Baswedan mengatakan, pihaknya berniat membuat program naturalisasi sungai. Sebagian sungai akan dikeruk menyesuaikan kondisi setiap tempatnya (Kompas, 12 Desember 2017).
Nyatalah bahwa naturalisasi dalam dua kalimat tersebut berbeda maknanya satu sama lain. Naturalisasi pada contoh pertama terkait dengan urusan warga negara, sedangkan pada contoh kedua terkait dengan konsep pembangunan dan revitalisasi terhadap prasarana sumber daya air (sungai) sesuai Peraturan Gubernur DKI Nomor 31 Tahun 2019.
Konsep naturalisasi, demikian tertuang dalam peraturan gubernur tersebut, adalah cara mengelola prasarana sumber daya air melalui konsep pengembangan ruang terbuka hijau dengan tetap memperhatikan kapasitas tampungan, fungsi pengendalian banjir, serta konservasi.
Dalam bahasa yang lebih sederhana, karena kata ini dipertentangkan dengan kata normalisasi, kata naturalisasi diartikan sebagai proses pengembalian lebar sungai dengan membiarkan dinding sungai tetap alami (natural) tanpa pembetonan.
Naturalisasi dalam KBBI
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebut naturalisasi sebagai pemerolehan kewarganegaraan bagi penduduk asing; hal menjadikan warga negara; atau pewarganegaraan yang diperoleh setelah memenuhi syarat sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Baca juga: Penggunaan Bentuk "Di Mana" yang Tidak Tepat
Dalam KBBI juga tercantum makna lain naturalisasi (bidang biologi), yakni gejala terjadinya penyesuaian diri tumbuhan yang didatangkan dari tempat lain dan menjadi anggota biasa masyarakat tumbuhan di tempat yang baru itu.
Dalam kasus penanganan sungai, kata naturalisasi yang terdapat dalam pergub itu, bisa jadi dibentuk dari kata natural + -isasi. Pola ini mengikuti pola pembentukan kata yang bagi pemerhati bahasa, atau katakanlah penentu kebijakan bahasa seperti Badan Bahasa, merupakan bentuk yang keliru. Keliru karena kata tersebut dianggap berasal dari perpaduan antara kata dasar natural dan imbuhan –isasi.
Dulu, ketika ikan lele menjadi primadona, muncul kata lelenisasi. Lalu muncul pula kata rayonisasi, pipanisasi, betonisasi, bahkan sengonisasi dan lamtoronisasi.
Baca juga: KPST dan Kaidah Peluluhan Fonem
Dua kata terakhir sama dengan lelenisasi yang muncul karena penanaman pohon sengon dan lamtoro sedang jadi tren pada masa Orde Baru. Artinya, semua kata yang mengacu pada program pemerintah bisa ditambah dengan –isasi.
Kita tahu bahwa imbuhan -isatie (Belanda) dan -ization (Inggris) yang menjadi –isasi dalam ejaan bahasa Indonesia tidak diserap ke dalam bahasa Indonesia. Namun, imbuhan -isasi memang ada dalam pemakaian bahasa Indonesia karena diserap bersama-sama dengan bentuk dasarnya.
Organization, misalnya, menjadi organisasi, modernization menjadi modernisasi, visualization menjadi visualisasi, dan standardization menjadi standardisasi. Kata-kata ini tidak terbentuk dari organ + -isasi, modern + -isasi, visual + -isasi, dan standar + -isasi.
Kata yang mengandung -isasi tersebut biasanya bermakna proses atau keadaan yang sedang berlangsung. Modernisasi, umpamanya, bermakna ’proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk dapat hidup sesuai dengan tuntutan masa kini’. Visualisasi berarti ’proses pengubahan konsep menjadi gambar untuk disajikan lewat televisi oleh produsen’.
Sebenarnya bahasa Indonesia memiliki imbuhan yang setara dengan –isasi, yakni pe- + -an. Karena itu, kata modernisasi bisa menjadi pemodernan, visualisasi menjadi pemvisualan, dan standardisasi menjadi penstandaran. Dalam gugus pembentukan katanya, kata-kata tersebut terinci dari modern-memodernkan-pemodernan, visual-memvisualkan-pemvisualan, dan standar-menstandarkan-penstadaran.
Baca juga: "Lebih" yang Menimbulkan Salah Persepsi
Mengikuti pola pembentukan kata tersebut, mestinya kata normalisasi dan, khususnya, naturalisasi, bisa diubah menjadi penormalan (sungai) dan penaturalan (sungai).
Namun, kata imbuhan dengan pe- + -an dalam kasus seperti di atas, jarang atau bahkan tidak pernah digunakan oleh para pengguna bahasa, khususnya yang bukan pemerhati bahasa. Mereka lebih senang menggunakan pembentukan dengan –isasi.
Karena itulah muncul kata lelenisasi (pelelean; pembudidayaan lele), sengonisasi (penyengonan; pembudidayaan sengon), dan pipanisasi (pemipaan; pemasangan pipa).
Jangan-jangan kata naturalisasi (penaturalan)—alih-alih alamisasi—yang menjadi program Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam upaya pencegahan banjir juga dibentuk dari proses tersebut.
Baca juga: Mempersoalkan "Disabilitas" dan "Difabel"
Jika ini yang terjadi, bukan tidak mungkin akan muncul kata-kata lain dengan –isasi yang tidak sesuai dengan pembentukannya, atau tidak ada dalam bahasa aslinya. Betonisasi, pagarisasi, tembokisasi, separatorisasi, cupangisasi, dan seterusnya siap-siap saja akan mewarnai perkembangan bahasa Indonesia ke depan.
(Nur Adji, Penyelaras Bahasa Kompas)