Nona Penyimpan Rahasia dan Tokek Raksasa
Semenjak sakit, Nona tak pernah bercerita lagi tentang teman-teman laki-lakinya. Sebenarnya aku tidak memahami apa yang diceritakan olehnya. Ia tak bercerita seperti dongeng-dongeng Ibu.
Kompas/Cahyo Heryunanto
Lelaki berkepala botak itu pernah mengatakan suatu rahasia padaku, bahwa perempuan yang tinggal di rumah petak seukuran pos polisi di ujung gang, hanya bisa disembuhkan dengan tokek raksasa. Ia tidak menceritakan lebih jauh seperti apa rincinya. Ia hanya mengatakan bahwa aku harus mencari tokek yang berukuran besar – niscaya perempuan itu sembuh.
“Lalu tokeknya dimakan?”
Aku sungguh-sungguh tak tahu apa yang harus kulakukan setelah mendapatkannya. Jika ia dianggap sebagai sesuatu yang menyembuhkan, maka ia harus dimakan atau dioleskan. Tetapi tokek bukan obat salep. Tokek ya…tokek. Cicak raksasa. Cicak berukuran besar. Macannya kucing kalau di dunia para cicak. Dan sekarang aku harus menemukan cicak berukuran besar yang jauh lebih besar lagi.
Bapak Botak tertawa diikuti oleh suara yang sama-sama mengejutkannya. Pria-pria seumurannya yang meski tak botak – ada yang berambut panjang – juga tertawa. Aku sungguh tak tahu apa yang lucu. Menurutku ini tak lucu, tetapi mereka semua tertawa. Sebab itulah, aku tak suka bersama dengan orangtua. Mereka suka sekali menertawakan apa yang aku tanyakan dan katakan. Banyak yang tanpa sebab dan aku tak pernah boleh menanyakan alasannya.
“Apa Nona harus memakan tokeknya?” aku bertanya sekali lagi, mencoba memberanikan diri.
Ngomong-ngomong, perempuan yang tengah sakit parah itu sering kupanggil Nona. Dia satu-satunya orang di tempat tinggalku yang selalu berhenti ketika melihatku duduk di halte sendirian – menunggu Ibu. Ia akan memberiku roti cokelat atau roti kacang. Dan dia juga satu-satunya orang yang tanpa kuberitahu tentang rahasia-rahasia, sudah mengerti terlebih dahulu tanpa aku harus mengatakannya. Termasuk jika aku lebih menyukai roti cokelat daripada roti kacang.
Sejak mengetahuinya, ia tak pernah lagi memberiku roti kacang. Ia selalu memberiku roti coklat di waktu senja. Kadang dua. Pernah ia memberiku tiga. Dan sejak saat itu pula, kami sering berbagi soal rahasia-rahasia, termasuk tentang rambutnya. Ia menyimpan banyaaak sekali rahasia-rahasia, termasuk tentang semua lelaki yang datang ke rumahnya.
Sudah empat bulan ini Nona tak pernah lagi keluar dari rumah sewanya. Orang-orang bilang, ia sakit parah. Penyakit yang dideritanya menular. Semua orang menjauhinya. Badannya mengurus. Kedua pipinya sekarang punya cekungan. Awalnya aku pikir itu lucu. Tetapi ia menangis saat aku mengatakannya. Sejak saat itu, aku tak pernah lagi bilang kalau pipinya yang cekung itu lucu. Aku tak mau Nona menangis. Kalau aku melihat Nona menangis, aku sebetulnya diam-diam juga menangis.
Ibu pernah bilang bahwa laki-laki tidak boleh menangis. Nona juga bilang begitu. Makanya, aku selalu menangis diam-diam. Sesekali di malam hari dekat bak sampah yang sepi.
Semenjak sakit, Nona terus meminta maaf kepadaku karena tidak ada lagi roti cokelat. Sebetulnya aku sangat tidak keberatan. Akhir-akhir ini aku bisa membeli roti cokelat sendiri. Kadang-kadang dua. Dan kubagi satu untuk Nona. Kalau aku hanya bisa membeli satu, separuh akan kuberikan untuknya. Bagian Nona biasanya aku lebihkan. Aku sedih melihatnya menjadi kurus. Dan meski pipinya lucu, aku tak mau Nona punya cekungan lagi di sana karena hal itu membuatnya sedih.
Pak Botak sudah berhenti tertawa dan menatapku tajam. Pak Botak selalu melirikku dengan sorot mata yang membuat takut. Aku tak pernah berani menatapnya lama-lama. Pernah sekali aku menatapnya agak lama dan dia memukul kepalaku dengan keras. Waktu itu, ia menggenggam botol di tangan kirinya. Matanya memerah dan kumisnya bergerak-gerak. Aku hampir-hampir mengira bahwa botol itu akan menghantamku. Untungnya ia menggunakan tangan kanan. Meski tetap sama-sama sakit.
Aku tak pernah mampu memahami Pak Botak. Selain karena rambutnya malah tumbuh di bawah hidung, Pak Botak juga bisa tiba-tiba menjadi ramah dan tersenyum banyak-banyak meski sebentar kemudian mendadak marah-marah dan berteriak pada semua orang. Biasanya dia seperti itu jika tangan kiri atau kanannya menggenggam botol berwarna hijau. Aku selalu berpikir bahwa botol itulah penyebabnya. Pernah sekali, aku mencoba menggenggam botol itu. Aku melakukannya selama bermenit-menit. Tetapi aku tidak kunjung marah. Mataku juga tidak memerah. Lalu, mengapa Bapak Botak bisa menjadi seperti itu?
“Memangnya tokek itu bisa menyembuhkan, Nona?” lagi-lagi Pak Botak tertawa.
Nada tertawanya selalu aneh. Mulutnya menganga dan suara yang ditimbulkannya membahana. Seolah-olah, di dalam perut Pak Botak ada kumpulan petir – yang siap dimuntahkan untuk memekakkan semua telinga. Ada kesedihan dan kemarahan dari suatu cara yang seharusnya menjadi parameter seseorang berbahagia. Tapi tidak dengan cara Pak Botak tertawa.
Orang-orang dewasa kadang seperti itu. Mereka bisa saja terlihat tertawa dan menangis bersamaan. Mungkin setelah tua mereka jadi tak bisa membedakan mana yang benar-benar membuat mereka senang dan apa yang membuat mereka sungguh-sungguh sedih. Aku pikir, Pak Botak tidak sungguh-sungguh tertawa karena ada hal yang benar-benar lucu. Kadang-kadang suara tertawanya kedengaran begitu sedih. Aku tak tahu mengapa bisa berpikir begitu. Aku hanya ingin berpikir seperti itu.
“Cari saja, tokek yang besar,” ia menunjukkan lengan kanannya yang penuh dengan tato. Salah satu tato yang aku suka adalah tato kucing. Tapi, kata Pak Botak, itu macan.
“Cari yang sebesar ini. Sebesar lenganku. Kalau bisa, yang lebih besar! Semakin besar tokeknya, semakin manjur untuk mengobati Nona-mu itu!”
***
Aku sungguh-sungguh mencari tokek raksasa. Orang dewasa – meski kadang suka menipu anak kecil – omongan mereka kadang-kadang banyak benarnya juga. Jadi, kupikir, tidak ada salahnya jika aku mencari tokek raksasa dan mendapatkannya satu atau dua.
Semenjak sakit, Nona tak pernah bercerita lagi tentang teman-teman laki-lakinya. Sebenarnya aku tidak memahami apa yang diceritakan olehnya. Ia tak bercerita seperti dongeng-dongeng Ibu. Dulu, aku pikir, semua laki-laki yang datang ke rumahnya adalah suaminya. Sebelum hilang, Ibu pernah bilang bahwa seorang perempuan tak mungkin bersuami banyak. Jadi, kupikir, semua laki-laki itu saudaranya atau temannya.
Namun Ibu, sebelum dia pergi ke pasar beberapa tahun lalu dan belum pernah kembali lagi, pernah bilang, mereka semua bukan saudara maupun teman Nona. Sayangnya, Ibu tak pernah menjelaskan kepadaku lebih lanjut soal itu. Makanya, aku selalu menunggu Ibu di halte bus. Demi mendengarkan penjelasannya yang lain tentang Nona. Tapi Ibu tak pernah kembali semenjak ia berpamitan pergi ke pasar untuk membeli ikan segar. Ia meninggalkanku seorang diri dengan kumpulan rahasia yang disimpan oleh Nona – juga rahasia tentang Ibu yang pergi tetapi belum kembali.
Nona pernah bilang, Ibu memang tak akan kembali. Aku harus mencukupkan penantianku dan mulai menata hidup baru. Tapi aku tak tahu apa itu menata hidup baru. Dan aku tetap menunggu Ibu karena ia menjanjikan ikan laut yang segar, juga rahasia lain soal Nona.
Nona bilang, Ibu sudah tinggal di tempat yang lain. Tempat itu jauh sekali meskipun aku menggunakan bus patas maupun naik pesawat terbang. Kalau aku memang ingin Ibu bahagia, aku harus merelakannya tinggal di sana. Aku senang jika Ibu senang, tetapi aku juga ingin ikan segarku. Sebagai gantinya, Nona menjanjikan ikan laut yang segar. Meski, yang kudapati setiap hari tetap roti cokelat.
Setelah berminggu-minggu berkeliling ke banyak tempat, akhirnya aku menemukan seekor tokek raksasa. Besarnya tidak selengan Bapak Botak yang bertato kucing. Tapi, menurutku, ini cukup besar. Aku membawanya ke rumah Nona dan kudapati dia sedang duduk sembari menyisiri rambut-rambutnya.
Inilah rahasia terbesar Nona dan teman-temannya. Dan cuma aku yang tahu bahwa ia memiliki banyak sekali rambut yang bisa dilepas dan dipasang sesuka hati. Ia menggantungkan rambut-rambut itu di dinding kamar. Rambut Nona yang asli sendiri tidak panjang. Pendek sekali. Hampir sama denganku. Cuma, Nona lebih panjang sedikit dan hampir melewati leher.
“Untuk apa kau bawa tokek, Ren?”
Kuletakkan tokek itu depannya. Wajah Nona terheran-heran.
“Kata Bapak Botak, tokek bisa menyembuhkan Nona. Jadi aku mencarinya dan membawakan satu.”
Nona terdiam sebentar sambil mengamati tokek itu. Pipinya makin cekung. Seperti karet yang ditonjok orang dan meninggalkan lekukan tajam.
“Jarot yang bilang?”
“Pokoknya pria yang botak itu.”
Nona tertawa. Untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan aku selalu mendapatinya merenung dengan ujung bibirnya yang ditarik oleh kurcaci-kurcaci kecil dari bawah. Nona yang bilang begitu waktu kutanya kenapa wajahnya cemberut. Orang-orang dewasa tetapi cebol – tingginya hanya seaku – menarik ujung-ujungnya menggunakan tali.
“Kau percaya?”
“Apa pun, jika itu bisa menyembuhkan Nona, aku percaya. Aku ingin Nona sembuh dan tidak sakit lagi. Dan… pipinya tidak cekung lagi.”
Nona tersenyum. “Lalu, harus kuapakan tokek ini?”
“Tidak tahu. Mungkin Nona harus memakannya,” wajahnya seketika terlihat jijik. Aku pun juga jijik. Aku tak bisa membayangkan memakan tokek. Mereka hewan yang aneh dan tidak kelihatan lezat sama sekali.
Nona mengambil tokek itu dan meletakannya di atas kepala. Dia tertawa senang. Suaranya mengudara ke angkasa dan membuatku tenang. Nadanya tidak mirip Bapak Botak. Suara tawa Nona jelas sedang senang. Bukan di antara senang atau sedih.
***
Hampir setiap hari aku mencari tokek seusai mengamen. Belasan sudah kuberikan kepada Nona. Dan aku selalu berusaha mendapatkan tokek yang ukurannya lebih besar dari yang sebelumnya. Nona selalu meletakkan tokek-tokek itu di dalam sebuah sebuah kardus bekas mi instan. Katanya, Nona akan menyimpannya di tempat itu terlebih dahulu sebelum menjadikannya obat.
Aku mempercayainya dan berharap Nona bisa sembuh keesokan harinya.
Sayangnya Nona tak kunjung sembuh. Badannya semakin mengurus sehingga aku bisa melihat tulangnya. Selain pipinya yang menjadi cekung, ia memiliki lingkaran hitam di bawah matanya seperti panda. Ia juga semakin sering sakit-sakitan. Di leher bagian depan, ada benjolan kecil yang semakin hari semakin terlihat besar. Jika Nona tertawa atau memakan sesuatu, benjolan itu akan bergerak-gerak naik-turun. Aku pernah dengar bahwa benjolan yang tumbuh di tubuh manusia bisa jadi adalah tumor.
Aku takut sekali jika Nona kena tumor. Lambat laun, Nona juga cuma bisa terbaring di kasur. Satu-satunya yang bergerak-gerak gelisah adalah bola matanya dan tumor di lehernya. Kuletakkan roti cokelat di sisi tempat tidurnya dan pergi mendatangi Pak Botak. Meminta penjelasannya tentang tokek-tokek dan tumor di leher Nona.
Pak Botak sebenarnya punya nama. Namun, sejak dulu, aku tak pernah mampu menghapal setiap nama orang. Aku menyebut mereka secara asal meski tak pernah kulakukan di depan mereka. Seperti Bapak Botak, Pak Gondrong, Om Buncit, Nona, dan bahkan Ibu. Aku tak pernah tahu nama Ibu. Waktu ke kantor polisi untuk mencari Ibu, polisi berkumis tebal menertawaiku karena aku tak sanggup menyebutkan nama panjang Ibu. Aku hanya tahu dia ibuku dan aku harus memanggilnya begitu.
“Tumor? Kau sebut itu tumor anak kecil?” Pak Botak tertawa terbahak-bahak. Suaranya masih sama. Seperti kumpulan petir yang bertubrukan. Petir selalu membuat anak-anak ketakutan. Termasuk aku. “Kau cari lagi tokek yang lebih besar. Biar Nonamu itu kesenangan,”
“Siapa yang mencari tokek?” itu suara Om Buncit. Dia terlihat penasaran dan memandangku penuh minat. Ia berbicara panjang lebar soal tokek tapi aku mengabaikannya.
Aku hanya ingin Nonaku sembuh.
***
Suatu hari, ketika akhirnya aku mendapatkan tokek yang ukurannya lebih besar dari lengan Bapak Botak yang bertato kucing, rumah Nona mendadak ramai. Di luar rumahnya yang seukuran pos polisi, ada mobil putih besar dan kursi-kursi diletakkan berjajar meski tak banyak yang terisi. Perempuan-perempuan seperti Nona yang memiliki banyak rambut duduk di sana dengan wajah tegang. Ketika mobil putih itu berjalan keluar gang dengan diiringi suara ngiung-ngiung, satu per satu orang-orang yang datang juga ikut pergi.
Di dalam rumah, tak kudapati Nona. Namun, Rambut-rambutnya masih lengkap. Tergantung rapi di dinding. Susunannya masih sama. Tapi Nona tidak ada di mana pun. Aku mencarinya di seluruh ruangan tapi rumah itu terlalu sempit untuk bersembunyi, untuk main petak umpet.
Sewaktu aku nyaris putus asa karena tak kunjung menemukan Nona, Om Buncit tiba-tiba datang dan mengambil kardus di mana Nona menyimpan seluruh tokek-tokeknya. Ia membukanya dan terlihat belasan tokek menggeliat malas dengan banyak remahan roti coklat. Jumlahnya masih sama (ditambah satu dengan tokek terakhir).
Rasanya udara di sekitarku jadi pepat. Sesak sekali sampai membuatku tak bisa bernapas. Mataku panas. Aku jadi tahu kenapa Nona tak kunjung sembuh.
Nona tak pernah menjadikannya obat maupun memakannya, bahkan roti-roti cokelat yang tiap hari kuberikan. Nona tak pernah menyentuhnya sama sekali.
Laki-laki katanya tak boleh menangis. Tapi aku menangis sejadi-jadinya, di hadapan rambut-rambut Nona, remahan roti cokelat yang mulai berjamur, Om Buncit yang tertawa-tawa, dan belasan tokek dengan mata membeliak yang mulai dimasukkan ke dalam karung. Aku sudah tak peduli kalau Nona maupun Ibu tak suka melihat laki-laki menangis. Tak ada lagi perkataan mereka yang bisa kupercayai. Mereka semua pergi dan meninggalkanku seorang diri. Orang dewasa memang pembohong!
______________________
Lamia Putri, lahir di Magelang pada Oktober 1994. Penerima Anugerah Sastra A.A Navis 2016 dengan cerpennya yang berjudul "Hunian Ternyaman". Menerbitkan novel berjudul Dering Kematian (Bentang Pustaka, 2015).