Pelecehan Seksual Itu Kompleks
Pelecehan seksual bukan kejahatan biasa. Tak hanya merugikan atau menyakiti fisik para korbannya, kejahatan itu juga melukai batin dan menyisakan trauma mendalam.
Pelecehan seksual bukan kejahatan biasa. Tak hanya merugikan atau menyakiti fisik para korbannya, kejahatan itu juga melukai batin dan menyisakan trauma mendalam. Pelakunya bisa siapa saja. Bahkan, sosok orang yang kita hormati dan percaya. Film ”Bombshell” (2020) coba menggambarkan semua itu.
Beragam absurditas, kompleksitas, dan kesulitan penanganan masalah pelecehan seksual coba direkonstruksi lewat film drama biografikal, Bombshell. Film itu dibuat berdasarkan kisah nyata.
Disutradarai Charles Randolph, naskah Bombshell ditulis oleh Jay Roach. Sejak awal, cerita langsung penuh dengan konflik dan kontroversi. Semua dipicu skandal memalukan, yaitu pelecehan seksual oleh salah seorang petinggi kanal pemberitaan bergengsi Fox News di negeri ”mbahnya” demokrasi, Amerika Serikat.
Pemimpin umum (CEO) Fox News, Roger Aisles (John Lithgow), digugat mantan pembaca beritanya sendiri, Gretchen Carlson (Nicole Kidman), atas tuduhan pelecehan seksual. Belakangan gugatan itu berkembang ketika satu per satu korban bermunculan.
Gugatan Carlson ibarat membuka kotak pandora. Seperti juga terjadi di dunia nyata, sedikitnya ada 23 mantan pegawai Fox News tampil dan mengaku pernah dilecehkan Aisles. Oleh Aisles, gugatan dan tuduhan itu dibantah mentah-mentah.
Dia menuduh balik semua sangkaan terhadap dirinya penuh nuansa politis. Apalagi, saat gugatan dilancarkan, AS memang tengah menghadapi proses pemilihan presiden. Sudah bukan rahasia lagi jika jaringan media milik konglomerat Rupert Murdoch, dalam film diperankan Malcolm McDowell, memang mendukung salah seorang kandidat, Donald Trump.
Latar waktu proses pemilihan presiden di AS itu juga menjadi penambah kompleksitas. Murdoch belakangan memecat Aisles, yang sempat melawan lantaran merasa punya banyak jasa telah membesarkan Fox News.
Dalam film digambarkan, selama bekerja Carlson memang kerap dilecehkan, termasuk oleh sesama rekan kerja redaksinya. Carlson meyakini pemecatannya terjadi lantaran dia pernah menolak ajakan mesum Aisles.
Penyalahgunaan kekuasaan macam itu memang menjadi ”senjata” oleh para pelaku dalam beraksi. Sayangnya, peraturan perusahaan sendiri digambarkan malah memungkinkan praktik-praktik bejat tadi berlangsung lama dan tanpa pengawasan atau pemberian sanksi berarti.
Aktor Charlize Theron, pemeran Megyn Kelly, mantan pembawa berita tenar Fox News, menggambarkan betapa kompleksnya penanganan sebuah kasus pelecehan seksual. Hal itu terutama jika pelakunya adalah seorang high profile, yang juga banyak berjasa serta punya nama di tempatnya bekerja.
”Film ini dengan baik coba menggambarkan betapa rumitnya peristiwa itu. Termasuk juga bagaimana kasus seperti itu hidup dan berkembang di lingkungan yang sangat abu-abu. Bahkan, kita sendiri pun tak dapat menyadari keberadaannya secara langsung,” ujar Theron, yang juga memproduseri film tersebut, kepada kantor berita Reuters.
Dalam film ini, sang sutradara juga menghadirkan sosok pemeran utama ketiga, korban pelecehan seksual. Tak seperti dua karakter lain, Carlson dan Kelly, Kayla Pospisil (Margot Robbie) adalah tokoh rekaan. Meski begitu, kehadirannya di film itu penting.
Pospisil digambarkan sebagai perempuan muda ambisius, yang sejak awal memang ingin menjadi bagian penting dari Fox News. Karakter Pospisil seolah ”diadakan” untuk menjadi semacam rekonstruksi bagi penonton, seperti apa peristiwa pelecehan saat terjadi dan bagaimana si pelaku melancarkan aksinya.
Akting Robbie di salah satu adegan sendiri terbilang meyakinkan. Dia mampu mewujudkan seperti apa kebingungan, kemarahan, luka batin, dan perasaan ternodai, yang dirasakan oleh seorang korban pelecehan seksual.
Sementara penulis naskah, Charles Randolph, mengaku berusaha menggambarkan sosok pelaku apa adanya. Menurut dia, pelaku bisa jadi siapa saja, bahkan seorang mentor yang dihormati, atau rekan kerja, yang coba melancarkan kejahatannya saat ada kesempatan.
Dalam film itu, sosok Aisles memang digambarkan dengan sangat manusiawi, seorang pria tua penuh humor dan punya pesona. Aisles memosisikan dirinya sebagai seorang mentor bagi kebanyakan staf perempuan, bahkan di saat dia akan melakukan aksi bejatnya.
”Dengan memanusiakan karakter Aisles, pada derajat tertentu Anda sadar sosok predator itu bukanlah seseorang berkumis seram, yang duduk menanti mangsanya datang. Dia bisa siapa saja, seorang mentor yang Anda percaya atau rekan kerja saat Anda melakukan perjalanan tugas luar kota bersama,” tutur Randolph.
Kontroversi
Film Bombshell juga diliputi kontroversi. Sejumlah pihak yang digambarkan dalam film reka ulang tersebut mengaku tak pernah dihubungi dan dimintai persetujuannya. Mereka protes ada banyak rincian yang justru tidak sesuai dengan peristiwa serta kondisi sebenarnya.
Tak hanya itu, pihak Fox News dan jaringan konglomerasi media Fox Corp juga menolak menerima pemasangan iklan film itu. Padahal, pihak distributor film, Lions Gate, telah menyiapkan dana promosi dalam jumlah yang fantastis, khusus untuk ditayangkan di televisi.
Pihak Lions Gate disebut-sebut menyediakan 7 juta dollar AS, setara lebih dari Rp 96 miliar, untuk mempromosikan Bombshell lewat medium televisi. Dana itu untuk membuat dan mengudarakan sedikitnya 1.500 iklan, seperti dikutip situs Bloomberg.com dari ISpot.tv.
Walau menuai kontroversi, Bombshell berhasil memenangkan sejumlah penghargaan film internasional bergengsi. Beberapa di antaranya adalah The Australian Academy of Cinema and Television Arts Awards (AACTA Awards) untuk kategori Pemeran Pembantu Internasional Terbaik (Margot Robbie). Juga Heartland Film Festival untuk kategori Truly Moving Picture Award.
Selebihnya, film ini juga masuk dalam nominasi beberapa penghargaan bergengsi internasional lain, seperti Golden Globe Awards dalam dua kategori, yakni artis dan pemeran pembantu terbaik. (Reuters)