Jalani Sidang, Antonius Mengaku Ditangkap Saat Padamkan Api
›
Jalani Sidang, Antonius...
Iklan
Jalani Sidang, Antonius Mengaku Ditangkap Saat Padamkan Api
Antonius (50), warga Desa Kamawen, Kecamatan Montallat, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah menjalani persidangan pertamanya pada Senin (13/1/2020). Ia ditangkap karena dituduh membakar lahan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
MUARA TEWEH, KOMPAS – Antonius (50), warga Desa Kamawen, Kecamatan Montallat, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, menjalani sidang pertamanya Senin (13/1/2020) setelah ditangkap karena dituduh membakar lahan. Ia sendiri mengaku ditangkap saat sedang memadamkan api di kebunnya.
Sidang dilaksanakan di Kota Muara Teweh, ibu kota Kabupaten Barito Utara atau 3,5 jam perjalanan dari Desa Kamawen, tempat tinggal Antonius. Sebelum sidang dimulai pukul 11.00 wib, Antonius yang menjadi tahanan kota, datang bersama istrinya Salia (44) dan empat anaknya.
Dalam persidangan, ia didampingi Jubendri Lus Fernando, asisten pengacara dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PP-MAN) Kalimantan Tengah. Jubendri belum bisa bersidang karena belum dilantik. Namun, karena tak ada pendampingan hukum, ia mengajukan diri sebagai pendamping sekaligus membantu menjadi penerjemah bagi Antonius yang kesulitan berbahasa Indonesia.
Sidang dipimpin Hakim Ketua Cipto Nababan dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Barito Utara Teguh Iskandar menghadirkan beberapa saksi. Agenda sidang hanya mendengarkan saksi dari pihak penuntut.
Menurut Teguh, pemerintah melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mendapatkan laporan sebaran titik panas. Salah satunya berada di sekitar wilayah kebun milik Antonius. Kejadian berlangsung 8-10 September 2019. “Hari ini mendengarkan saksi ahli saja dari BPBD, hanya mau menunjukkan kalau titik panas berada di sana,” katanya.
Menanggapi hal itu, Antonius membenarkan kalau kebakaran berada di sekitar kebunnya dan masuk ke kebunnya. Namun, menurut dia, api baru membakar tepian kebunnya yang kemudian ia coba padamkan. “Tidak mungkin saya membakar lahan yang sudah saya tanami sawit,” ujar Juben menerjemahkan keterangan Antonius.
Antonius menjelaskan, saat dirinya bersama keluarga menghitung jumlah pohon yang ditanam, terdapat 145 pohon sawit yang tingginya mencapai lebih kurang 1,5 meter. Dari total 145 pohon, 47 pohon justru mati karena terbakar.
Menurut Antonius, api berasal dari kawasan kebun lainnya dan bukan berasal dari kebunnya. Jaksa, sesuai berita acara pemeriksaan, mengungkapkan jika luas lahan Antonius mencapai enam hektar. Padahal, sesuai Surat Keterangan Tanah (SKT) milik Antonius tertulis luas lahan hanya 1,3 hektar.
Sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pasal 168 membolehkan petani membakar lahan dengan luas kurang dari dua hektar.
Menurut Antonius, saat kejadian, dirinya sedang memadamkan api yang membakar pohon-pohon sawit yang sudah ditanamnya sejak dua tahun lalu. Dua tahun lalu ia memang membakar dan membuka lahan untuk menanam sawit di kebunnya.
Salia, istri Antonius, mengungkapkan, selain menanam sawit, keluarganya memiliki sebidang tanah lain yang luasnya tidak sampai satu hektar dengan tanaman pohon karet. Selama ini, dirinya dan suaminya menghidupi empat anaknya dengan menyadap karet.
“Kalau karet kan sekarang harganya tidak bagus, bapak itu kalau tidak nyadap ya bantu kerja kebun orang bantu bersihkan,” kata Salia.
Salia menjelaskan, dalam sehari, mereka hanya mampu menghasilkan 10 kilogram sampai 15 kilogram karet yang dijual dengan harga Rp 7.000 per kilogram. “Kalau enggak nyadap karet ya tidak bisa sekolahkan anak,” katanya.
Selain Antonius, ada juga Saprudin (61) dari Kabupaten Murung Raya yang menjalani sidang sore itu. Saprudin ditangkap oleh kepolisian saat membakar lahan yang tidak sampai setengah hektar. Saat ditangkap, ia sedang membakar sampah dari kayu-kayu bekas pembuatan pagar di kebunnya.
Dari data Polda Kalteng, terdapat setidaknya 161 kasus perorangan dan 20 kasus korporasi terkait kebakaran hutan dan lahan. Dari 161 kasus itu, terdapat 121 tersangka dengan total luas lahan kebakaran seluas 298,97 hektar. Adapun dari 20 kasus korporasi, baru dua perusahaan yang menjadi tersangka dengan total luas mencapai 468,5 hektar.
Adapun di Barito Utara, terdapat sembilan tersangka dari delapan kasus pembakaran lahan yang ditangani polres setempat. Dari delapan kasus itu, total luas lahan yang terbakar hanya 8,25 hektar.
Sebagian besar kasus perorangan melibatkan petani atau peladang berpindah. Ironinya, tidak semua tersangka didampingi penasihat atau pendamping hukum. "Di sini banyak saja pengacara, tetapi mana mampu masyarakat bayar mereka sedangkan yang ditangkap itu petani kecil semua," ungkap Jubendri.