Dalil Gugatan Korban Banjir Jakarta Harus Menyentuh Aspek Kebijakan
›
Dalil Gugatan Korban Banjir...
Iklan
Dalil Gugatan Korban Banjir Jakarta Harus Menyentuh Aspek Kebijakan
Dalil gugatan ”class action” harus bisa membuktikan kelalaian kewajiban yang menjadi tanggung jawab Gubernur DKI sebagai kepala pemerintahan daerah. Pemprov DKI membantah telah lalai. Respons cepat telah dilakukan.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO/AGUIDO ADRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalil dari gugatan class action atau gugatan perwakilan kelompok yang didaftarkan para korban banjir Jakarta ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat harus mampu membuktikan kelalaian Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam mengatasi banjir. Tanpa bukti yang kuat, gugatan tersebut berpotensi ditolak oleh majelis hakim.
Pengajar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, di Jakarta, Selasa (14/1/2020), mengatakan, permasalahan banjir yang melanda Jakarta di awal 2020 harus dilihat secara holistik agar menjadi jelas titik masalahnya. Selain dilihat dari sisi penunaian kewajiban pemerintah dalam mengatasi banjir, persoalan krisis alam juga tak bisa serta-merta dikesampingkan.
Apabila yang digugat hanya Gubernur DKI, para korban harus bisa membuktikan kelalaian kewajiban yang menjadi tanggung jawab Gubernur DKI sebagai kepala pemerintahan daerah.
”Seharusnya, yang digugat itu terkait kebijakan. Kebijakan pun harus detail, mana yang menjadi tanggung jawab pemerintah DKI dan mana yang (pemerintah) pusat. Kalau penggugat tak bisa membuktikan kelalaian Gubernur DKI, pasti (gugatan) ditolak,” tutur Abdul.
Sebelumnya, pada Senin (13/1/2020), sebanyak 243 warga menggugat Gubernur DKI ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas kelalaian mengantisipasi banjir di Jakarta awal tahun 2020. Mereka tergabung dalam Tim Gugatan Class Action Banjir DKI 2020.
Dari kesaksian penggugat, tak ada peringatan dini dari pemerintah daerah kepada warga. Pascabanjir, warga juga tak menerima bantuan dari pemerintah daerah. Atas kelalaian Gubernur DKI itu, penggugat menyebutkan, terjadi kerugian materiil yang mencapai Rp 42,3 miliar.
Melawan hukum
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Arif Maulana menambahkan, warga memiliki hak untuk menuntut atau menggugat ke pengadilan.
Jika merujuk pada Pasal 58 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang bertanggung jawab atas peristiwa bencana adalah pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
”Hal itu terkait pula kesiapsiagaan, peringatan dini, dan mitigasi. Ini penting agar bencana tidak terjadi atau dapat diminimalkan dampak dari bencana. Nah, ini dilakukan atau tidak? Jika tidak dilakukan atau lalai, pemerintah bisa dikatakan melawan hukum karena mengakibatkan kerugian materiil dan non-materiil,” ucap Arif.
Bantuan, pemulihan, dan pemenuhan kebutuhan pokok bagi korban banjir juga menjadi hal krusial yang harus dilakukan pemerintah daerah pascabencana. Jika pascabanjir pemerintah tidak memenuhi tanggung jawab tersebut, bisa dianggap melawan hukum.
Arif pun mengingatkan, agar gugatan class action dikabulkan hakim, materi gugatan harus cermat dan mampu membuktikan kerugian dan bukti perbuatan melawan hukum yang dilakukan pemerintah.
”Selain itu, penting untuk tidak hanya menuntut kerugian, tetapi evaluasi dari pemerintah pusat dan daerah terkait penanggulangan bencana agar menjadi koreksi ke depan,” lanjut Arif.
Sementara itu, kuasa hukum penggugat, Alvon Kurnia Palma, menjelaskan, alasan pemilihan Gubernur DKI sebagai pihak tergugat karena banjir awal tahun ini merupakan banjir lokal. Pemprov DKI seharusnya memahami topografi daerah dan sigap memberikan peringatan dini kepada warga di kawasan rawan banjir.
Selain itu, dengan pemetaan kawasan rawan banjir, Pemprov DKI seharusnya memiliki perencanaan strategis guna mencegah banjir berulang di kawasan tersebut. Namun, pencegahan itu dinilai tak pernah terjadi.
”Nah, pencegahan ini, kan, tidak ada. Apalagi kawasan yang terdampak banjir merupakan daerah yang secara musiman dan dari dulu juga sudah terkena dampak dari banjir lokal,” ucap Alvon.
Ditambah lagi, sejak 23 Desember 2019, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebenarnya telah mengeluarkan peringatan cuaca ekstrem akan terjadi di sejumlah wilayah, termasuk DKI Jakarta. Namun, menurut Alvon, hingga 31 Desember, pemberitahuan informasi itu dari aparat pemerintahan kepada masyarakat tak pernah terjadi.
”Itu terbukti bahwa yang namanya early warning system tidak ada,” kata Alvon.
Pascabencana pun, lanjut Alvon, para penggugat yang ada di kawasan terdampak banjir tak mendapatkan bantuan darurat. Hal itu, menurut Alvin, juga menunjukkan respons lambat dari pemerintah daerah.
Namun, Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah, saat ditemui di Balai Kota Jakarta, menyampaikan, Pemprov DKI Jakarta telah cepat merespons bencana banjir pada awal 2020.
Dia menyebutkan, para petugas langsung menjalankan tugas masing-masing dalam menangani banjir. Sejumlah kawasan yang tergenang air pun saat ini telah surut.
”Yang jelas, kami, pemprov ini, dipimpin oleh Pak Gubernur, merespons bencana ini dengan waktu yang sangat singkat, cepat. Seluruh aktivitas perdagangan, transportasi, bisa berfungsi sesuai dengan sediakala. Jadi indikatornya itu kalau kami,” ujar Saefullah.