Fadjar Tedjo Soekarno, Pr Menggaungkan Toleransi di Banyuwangi
Fadjar Tedjo Soekarno, Pr, tak pernah lelah menabur benih-benih toleransi di wilayah dia bertugas, Banyuwangi, Jawa Timur.
Lahir dan besar dari keluarga yang majemuk dalam agama dan kepercayaan, turut membentuk Fadjar Tedjo Soekarno menjadi pribadi yang mau dan mampu menghargai iman orang lain. Pilihan hidupnya menjadi seorang Pastor atau Imam agama Katolik sama sekali tak mengurangi semangatnya untuk terus menggaungkan semangat toleransi.
Fadjar merupakan anak keenam dari delapan bersaudara yang lahir dari pasangan Lilo Soedarmo dan Anna Marsiti Jumaiyah yang menganut kepercayaan Kejawen dan Kristen. Sebagian besar saudara kandung Fadjar beragama Islam.
Pesan ayahnya untuk tetap menjaga kerukunan terus terpatri dalam dirinya dan saudaranya hingga saat ini. Pesan tersebut yang akhirnya ia hidupi dan ia terapkan dalam kehidupan bersama umat dan masyarakat di sekitarnya.
Suatu ketika jelang Idul Adha 1440 Hijriah (11 Agustus 2019), Fadjar tidak sengaja berjumpa dengan seorang lansia yang tinggal tak jauh dari Gereja tempatnya mengabdi. Fadjar membuka pembicaraan dengan menanyakan keadaan dan perasaan lansia tersebut jelang Idul Adha.
“Simbah (lansia) itu menjawab, saat Idul Adha ada perasaan senang sekaligus sedih. Senang karena akan mendapat daging, tetapi sedih karena tak pernah mampu berkurban. Mendengar itu, secara spontan muncul keinginan untuk membuat simbah tidak sedih lagi,” ujar pria kelahiran Malang, 26 September 1970 itu.
Usai perjumpaan tersebut, Fadjar yang menjabat sebagai Pastor Kepala Paroki St Paulus Jajag Banyuwangi, mengajak umatnya untuk membantu seorang lansia miskin yang tinggal di sekitar gereja agar bisa berkurban. Uang sebanyak Rp 3 juta yang terkumpul digunakan untuk membeli seekor kambing beberapa hari sebelum Hari Raya Kurban.
Tepat sehari sebelum Idul Adha, Fadjar dan perwakilan umat menyerahkan kambing itu kepada lansia tersebut. Harapannya kambing tersebut dapat dikurbankan atas nama lansia tersebut di masjid terdekat.
Hubungan Fadjar dengan lingkungan masyarakat cukup baik. Tak jarang, ia mempersilahkan halaman gereja dijadikan tempat untuk tasyakuran peringatan 17 Agustus atau untuk refleksi sumpah pemuda. Fadjar pula yang mengerahkan umat untuk ikut serta dalam proses pembangunan mushola yang berjarak tak lebih dari 100 meter dari bangunan gereja.
Jalinan persahabatan juga ia jalin dengan sesama pemuka agama. Hubungan keduanya bahkan tak hanya sekedar hubungan pertemanan biasa tetapi hubungan yang saling menguatkan iman kepercayaan kendati berbeda agama.
Dalam suatu kesempatan, Fadjar mengunjungi seorang kyai sahabatnya yang sedang sakit parah. Kyai tersebut meminta Fadjar untuk mendoakan dirinya. Tak langsung mengiyakan, Fadjar justru meminta keduanya berdoa bersama.
“Pak Kyai doa Al Fatihah. Bagian ‘iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin’ didoakan berulang dengan penuh keyakinan. Saya akan doa dengan cara saya,” tutur Fadjar menirukan percakapannya saat itu. Hingga kini Kyai tersebut sehat dan persahabatannya dengan Fadjar semakin erat.
Menjadi pribadi yang terbuka dan toleran tidak hanya ia terapkan kepada pemeluk agama lain. Ia juga membuka diri dan terjun langsung dalam adat dan budaya Osing (suku asli Banyuwangi). Tugasnya sebagai Pastor Kepala Paroki Maria Ratu Damai Banyuwangi pada 2006 hingga 2012 yang mengantarkannya dalam perjumpaan bersama masyarakat Adat Osing di Desa Kemiren.
Selain gemar mengikuti tradisi Mocoan Lontar Yusup yang digelar masyarakat Osing, hubungan yang terjalin juga membuat Fadjar dipercaya ikut serta dalam ritual bersih desa Barong Ider Bumi. Dalam ritual yang digelar setiap 2 Syawal itu, Fadjar didapuk sebagai petugas sembur uthik-uthik. Ia dipercaya untuk menebar campuran beras kuning bunga dan uang koin di sepanjang jalan desa. Tugas ini biasa diemban oleh tokoh adat atau pemuka agama.
Tak sekedar menabur koin. Beberapa tahun terakhir, Fadjar membawa sendiri uang koin yang digunakan dalam ritual adat tersebut. Jumlahnya tak tanggung-tanggung minimal Rp 3 juta.
“Uang itu bukan uang dari saya. Saya hanya mengumpulkan sumbangan dari umat. Ini cara kami untuk terlibat dalam kegiatan tersebut. Saya mengajak umat Katolik untuk ikut ‘ngalap berkah’ dari tradisi masyarakat Osing ini,” ujar pria yang ditahbiskan menjadi imam Keuskupan Malang pada 26 Agustus 1999.
Selain dekat dengan masyarakat adat Osing, Fadjar juga dekat dengan masyarakat adat Dayak Bahau. Beberapa kali perjumpaan dengan pemuda Suku Dayak, dinilai membawa perubahan positif.
Sebagai bentuk penghormatan, Kepala Adat Dayak Bahau Umaq Telivaq Hibau Bong mengangkatnya sebagai anak. Fadjar pun diberi nama Bahalan Hibau.
Apa yang sebenarnya mendasari Fadjar membangun persaudaraan yang hangat lintas agama dan budaya? Fadjar menghidupi prinsip sederhana yaitu cinta kasih (muncul secara) alami, sedangkan perbedaan itu diajarkan.
“Semenjak kecil kita terlahir dengan tangis yang sama. Namun setelah bisa berpikir, seorang anak mulai bertanya dan membeda-bedakan. Kalau orang tua salah mendidik bisa menghasilkan pribadi yang suka membeda-bedakan. Kalau membangun persaudaraan yang didasari cinta kasih itu alami mengapa kita tidak menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari,” tutur Fadjar yang aktif sebagai Fasilitator Nasional Gerakan Aktif Tanpa Kekerasan Indonesia.
Melalui segala aktifitas bersama masyarakat, Fadjar ingin menggaungkan toleransi agar tidak hanya berhenti pada taraf pemahaman tetapi sampai pada taraf pengalaman. Tahun ini Konferensi Waligereja Indonesia dan Persekutuan Gereja Indonesia (KWI-PGI) mengangkat tema “Hiduplah sebagai sahabat bagi semua orang”. Menurut Fadjar, tema ini memiliki semangat yang sama untuk menggaungkan toleransi.
Bahkan baginya, tema natal tahun ini jauh lebih dalam dari sekedar toleransi. Gereja memilih term ‘sahabat’ yang ingin menunjukan kesetaraan. “Sahabat yang baik tidak saling merendahkan. Dalam hubungan sahabat ada “ketersalingan”: Saling menghormati, saling meneguhkan. Itu berarti ada kesediaan mengutamakan orang lian ketimbang diutamakan, mengedapankan orang lain ketimbang dikedepankan, mendengarkan orang lain ketimbang didengarkan. Dalam persahabatan yang eksistensial ukuran utama bukan menerima tapi memberi,“ ujarnya.
Apa yang Fadjar lakukan selama ini dengan membangun hubungan persahabatan antar umat beragama dan antara gereja dengan kebudayaan merupakan wujud nyata toleransi yang ingin ia gaungkan.
Sebagai Imam agama Katolik, Gereja memang memberi tugas kepada Fadjar sebagai gembala bagi umat di Paroki St Paulus, Jajag, Banyuwangi. Namun apa yang ia lakukan saat ini tak hanya untuk upaya pemeliharaan hidup dan iman umat Katolik di Gereja yang ia gembalakan.
“Saya juga harus memastikan, kehidupan yang baik bagi seluruh elemen masyarakat dan alam semesta yang ada di wilayah Gereja Paroki Jajag. Tugas ini tidak hanya bagi saya tetapi juga bagi seluruh umat Katolik dan bahkan bagi seluruh umat manusia. Bersahabat dengan siapa saja termasuk dengan alam yang ada di sekitar kita,” ujarnya.
Nama : Damianus Fadjar Tedjo Soekarno
Tempat tanggal lahir : Malang, 26 September 1970
Tahbisan Imam : Malang, 26 Agustus 1999
Pendidikan :TK Katolik Sang Timur, Batu
SD Katolik Sang Timur, Batu
SMP Katolik Widya Tama, Batu
SMA Katolik St Albertus, Dempo, Malang
Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang
Pendidikan Calon Imam : Seminari Menengah Marianum
Seminari Tinggi Interdiocessan Beato Giovanni XXI, Malang
Tugas Pastor Paroki :
- Bondowoso 1999-2006
- Banyuwangi 2006-2012
- Lumajang 2012-2015
- Pamekasan 2015-2018
- Jajag 2018-sekarang