Menghadapi Arus Balik Pemberantasan Korupsi, Kolaborasi Penting
›
Menghadapi Arus Balik...
Iklan
Menghadapi Arus Balik Pemberantasan Korupsi, Kolaborasi Penting
Arus balik upaya pemberantasan korupsi mesti disikapi serius. Kolaborasi menjadi senjata untuk menghadapinya.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberantasan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dinilai menemui jalan terjal. Bahkan, ada indikasi adanya arus balik pemberantasan korupsi. Untuk menghadapi kondisi itu, kolaborasi berbagai elemen dibutuhkan. Kolaborasi tidak semata melaksanakan satu pekerjaan bersama-sama, tetapi bisa pula dalam kapasitas masing-masing.
Pokok pemikiran tersebut mengemuka dalam diskusi bertajuk ”Membangun Kolaborasi Gerakan Pemberantasan” yang diselenggarakan Perempuan Indonesia Antikorupsi (PIA), di Jakarta, Selasa (14/1/2020).
Hadir sebagai narasumber antara lain ekonom senior Faisal Basri, Anita Wahid dari PIA, Duta Transformasi Kementerian Keuangan Fitri Mayang Sari, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti, Direktur Bandung Independent Living Centre Yuyun Yuningsih, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), William Aditya Sarana.
Seluruh pemateri sepakat, jalan yang dilalui oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini terjal dan berliku. KPK menerima tekanan, baik dari kelembagaan maupun perseorangan. Salah satunya terlihat melalui Undang-Undang (UU) KPK yang baru, yaitu UU Nomor 19 Tahun 2019.
Faisal Basri menyebut para elite, penguasa, dan partai politik nyata-nyata telah melemahkan upaya pemberantasan korupsi dengan menyetujui keluarnya UU No 19/2019. UU KPK yang baru itu membuat KPK tidak lagi bertaji. Keberadaan Dewan Pengawas KPK, misalnya, membuat upaya penyidikan menjadi birokratis.
”Oleh sebab itu, kolaborasi dibutuhkan untuk melawan arus balik upaya pemberantasan korupsi,” kata Faisal.
Setelah pengesahan UU No 19/2019, terlihat timbul keinginan untuk terus menggelorakan semangat memberantas korupsi. Untuk menjaga hal itu, para pegiat antikorupsi diharapkan terus memperkuat jejaring di berbagai elemen masyarakat. Selain itu, mereka juga dianjurkan memperkuat kolaborasi dengan pemerintah dan wakil-wakil legislatif yang memiliki kesamaan semangat, yaitu semangat memberantas korupsi.
Bivitri Susanti pun mengemukakan, elemen masyarakat sipil mesti bergerak bersama-sama dan berkolaborasi. Menurut dia, cara itu harus diambil karena tidak mungkin sepenuhnya mengharapkan pada para pembentuk aturan.
Gerakan kolaborasi juga diharapkan datang dari kelompok muda. Selain semangat dan idealisme yang masih kuat, kelompok atau kaum muda saling terhubung dengan mudah melalui berbagai sarana komunikasi.
”Anak muda harus ikut mengawal pemberantasan korupsi. Agar di hari tua nanti kita berkesempatan melihat Indonesia yang makmur dan sejahtera,” kata William.
Anak muda harus ikut mengawal pemberantasan korupsi. Agar di hari tua nanti kita berkesempatan melihat Indonesia yang makmur dan sejahtera.
Anita Wahid berpendapat, kolaborasi yang dimaksud tidak harus diartikan dengan melakukan suatu pekerjaan secara bersama-sama. Namun, bisa pula dengan menggunakan keahlian di bidang masing-masing.
Contoh nyata kolaborasi itu pernah terjadi di Amerika Serikat (AS). Dalam buku KPK: Berdiri untuk Negeri karya Arin Swandari, Cisya Satwika, dan Lilyani Harsulistyati, disebutkan bahwa upaya menangkap mafia kelas kakap Chicago, Al Capone, membuahkan hasil setelah ada kerja sama yang erat antara agen pemerintah, polisi, dan akuntan. Capone merupakan mafia pengemplang pajak yang lama diincar pemerintah Chicago, AS.
Capone dikenal sebagai mafia berpengaruh dan sangat sulit ditangkap. Beberapa kali upaya menyeret dia ke meja hijau kandas. Upaya menangkap Capone baru menemui titik terang setelah sang akuntan, polisi, dan agen pemerintah berkolaborasi. Profesi itu masing-masing punya peran dalam menjebloskan Capone ke penjara.
Anita Wahid menyampaikan, perempuan pun harus turut ambil bagian. Pasalnya, perempuan menjadi pihak yang paling rentan dirugikan.
Dia mencontohkan saat Reformasi 1998. Sebelum Reformasi, korupsi merajalela yang menciptakan ketidakstabilan ekonomi dan politik. Ketika tidak ada kestabilan, konflik pecah. ”Ketika konflik terjadi, dampak atau konsekuensinya itu tidak sama antara laki-laki dan perempuan. Perempuan lebih rentan menjadi korban konflik,” katanya.
Anita bahkan melihat perempuan punya peran besar dalam memberantas korupsi. Dari sejumlah studi, perempuan lebih responsif terhadap hal-hal yang dianggap sebagai sebuah kegagalan moral. Perempuan juga memiliki empati dan kepedulian yang lebih.
Selain itu, di ranah administrasi publik, perempuan lebih banyak yang bersedia merelakan keuntungan pribadi demi kesejahteraan bersama.
”Studi-studi itu memperlihatkan tingginya perwakilan perempuan di parlemen di beberapa negara sebanding dengan turunnya tingkat korupsi di negara itu. Karena itu, banyak yang berpikir perempuan menjadi kunci melawan korupsi,” ujarnya.