Kemenangan Tsai Ing-wen dilihat sebagai indikasi kuatnya hasrat warga Taiwan untuk menyatakan diri memiliki identitas yang berbeda dari China daratan.
Oleh
·2 menit baca
Dalam pemilihan presiden yang digelar Sabtu pekan lalu, petahana Presiden Taiwan Tsai Ing-wen dari Partai Progresif Demokrat (DPP) menang dengan mengantongi 57,1 persen suara. Pesaing beratnya, Han Kuo-yu dari Partai Kuomintang (KMT), mendapat 38,6 persen suara. Dalam pemilihan legislatif yang digelar bersamaan, DPP berhasil tetap menjadi mayoritas dengan merebut 61 dari 113 kursi parlemen. Hasil ini menunjukkan besarnya kepercayaan warga Taiwan terhadap Tsai dan garis politiknya, serta tentu terhadap DPP.
Dalam belantara politik Taiwan, meski menolak unifikasi dan condong mendukung kemerdekaan, Tsai dan DPP dilihat berada di spektrum yang tidak ekstrem. Setidaknya, setelah meraih kemenangan, Tsai menyatakan sikap terbuka terhadap dialog dengan Beijing. Tentu saja sikap semacam ini tidak berarti ia mendadak beralih cenderung mendukung unifikasi, tetapi sikap tersebut menunjukkan dirinya tidak akan menempuh jalur penuh provokasi dalam menjalin relasi dengan pemimpin China daratan.
Seperti ditulis South China Morning Post, kemenangan Tsai dan keunggulan DPP di parlemen memperlihatkan bahwa sebagian besar warga Taiwan menghendaki status quo, atau situasi sekarang tetap dipertahankan. Situasi itu adalah Taipei tetap independen, dalam arti mandiri, terhadap Beijing, tetapi juga tidak perlu melakukan langkah provokasi dalam bentuk mendeklarasikan kemerdekaan.
Tarik-ulur dalam relasi Beijing-Taipei tetap terjadi.
Kemenangan Tsai, patut dicatat pula, terjadi di tengah demonstrasi besar-besaran di Hong Kong yang tak kunjung usai. Dalam unjuk rasa ini, demonstran antara lain meminta demokratisasi diperluas di Hong Kong. Sentimen negatif terhadap warga China daratan juga muncul dalam unjuk rasa tersebut. Maka, para analis pun melihat Tsai dan kubunya memperoleh suara besar karena sedang menguatnya hasrat untuk membuat garis batas identitas antara China daratan dan bukan China daratan.
Keinginan sebagian besar warga Taiwan untuk mempertahankan status quo ditunjukkan pula dengan anjloknya partai-partai yang berhaluan ”ekstrem”, yakni menghendaki Taiwan mendeklarasikan kemerdekaan dan, sebaliknya, yang menghendaki Taiwan segera menyiapkan penyatuan dengan China daratan. Dengan kondisi ini, dapat dikatakan, dalam periode empat tahun mendatang, hubungan Taipei-Beijing lebih kurang berada dalam keadaan seperti sekarang.
Tarik-ulur dalam relasi Beijing-Taipei tetap terjadi. Setiap pihak senantiasa perlu menempatkan diri secara tepat dan pas sehingga kondisi damai yang dinamis tetap tercapai. Sikap Amerika Serikat yang menjual senjata terhadap Taiwan menjadi salah satu faktor yang harus dihadapi oleh China di tengah upaya untuk terus mengampanyekan Taiwan sebagai bagian dari negara itu.