Vudu Abdul Rahman Menjadi Guru Multiliterasi Di Tasikmalaya
Sebagai guru, Vudu Abdul Rahman selalu mendorong siswa untuk lebih kreatif. Tak hanya mengajarkan membaca dan menulis, Vudu mengajari para siswa untuk bermusik, bernyanyi dan membuat film.
Bagi Vudu Abdul Rahman (36), guru SD Perumnas Cisalak, Tasikmalaya, ada pendekatan "sakti" yang selalu ia gunakan untuk mengajarkan multiliterasi kepada banyak orang. Rumus pendekatan "sakti" itu bernama kreativitas. Inilah yang mengembangkan daya nalar dan akal budi para murid.
Multiliterasi merupakan pekerjaan rumah yang besar bagi pendidikan bangsa. Selain membaca, menulis, dan berhitung, di dalamnya turut mencakup kesadaran berbudaya dan berkewarganegaraan, literasi keuangan, dan kemampuan memanfaatkan teknologi digital untuk pemberdayaan diri.
Karena itu, Vudu berprinsip, multiliterasi harus berdasar dan berpuncak kepada kesadaran seseorang untuk menjadi diri sendiri. Setiap siswa, misalnya, memiliki cara belajar dan berekspresi yang unik. Jika guru memahaminya, ia bisa mengelola siswa dengan keragaman itu untuk mencapai tujuan yang sama.
Jadi kunci untuk pengajaran multiliterasi adalah kreativitas. "Kreativitas itu alat yang paling canggih. Bisa mengumpulkan berbagai orang dalam satu wadah, memungkinkan setiap orang mengekspresikan diri," tutur Vudu beberapa waktu lalu di sela pelaksanaan Hari Aksara Nasional di Makassar, Sulawesi Selatan.
Kini, melalui Laboratorium Kreatif Mata Rumpaka yang ia dirikan, Vudu berusaha mengajak siswa beserta anak-anak muda Tasikmalaya untuk menyebarluaskan literasi.
Vudu berprinsip, multiliterasi harus berdasar dan berpuncak kepada kesadaran seseorang untuk menjadi diri sendiri.
Warna kelas
Vudu lulus S1 Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, pada tahun 2008 dan langsung diterima bekerja di SD Perumnas Cisalak sebagai guru kelas IV. Ia melihat ada 35 siswa dengan warna masing-masing. Apabila menggunakan cara konvensional seperti guru menegur siswa satu per satu, tentu ia akan kelelahan secara fisik dan mental.
Ia kemudian menyadari bahwa selain warna individual, setiap angkatan memiliki warna kelas yang berbeda. Misalnya, ada angkatan yang lebih cenderung ke musik, ada pula yang lebih ekspresif pada jalur visual.
"Pelajarannya tematik, jadi kami berembuk mengenai tema besar untuk akhir tahun, yang kemudian diputuskan anak-anak agar menjadi proyek musik, film, drama, atau cerita," kata Vudu.
Setiap siswa memiliki peran masing-masing sesuai kesepakatan. Sebagai guru, Vudu menilai perkembangan siswa berdasarkan kegiatan mereka sehari-hari. Misalnya, dengan membuat lagu, gambar, komik, cerpen, ataupun esai tentang tema yang mereka pelajari. Dari sana tampak proses anak meningkatkan kompetensi mereka secara nalar, kosa kata, sosial, dan pertanggungjawaban. Ia berprinsip anak menjadi dewasa dengan menjadi diri sendiri. Peran guru dan orangtua, memastikan jalur yang mereka ambil itu aman.
Ia mengungkapkan, julukan "guru nyeleneh" sering diberikan publik kepada dirinya. Sejak baru lulus SMA, ia meminta izin satu tahun kepada orangtuanya untuk fokus melakukan hal-hal yang ia suka, yakni bermusik. Vudu kemudian sibuk tampil di panggung berbagai pentas musik dan membuat album. "Prinsipnya, fokus lakukan hal yang kita suka dengan serius. Nongkrong ini harus bermanfaat," ujarnya.
Setelah setahun, ia memutuskan kuliah. Keluarga dan teman kaget melihat pemuda urakan ini ternyata bercita-cita menjadi guru. Namun, Vudu yakin berdasarkan pengalamannya bermusik bahwa sebuah band bisa menyatukan orang-orang dengan sifat dan keahlian berbeda. Kelas juga demikian, anak-anak yang berbeda bisa menjadi diri sendiri sekaligus bermain dengan harmonis bersama-sama.
"Pelajarannya tematik, jadi kami berembuk mengenai tema besar untuk akhir tahun, yang kemudian diputuskan anak-anak agar menjadi proyek musik, film, drama, atau cerita," kata Vudu.
Ketika sudah lima tahun menjalankan metode mengajar, ia memutuskan mengajak siswa mengenal lingkungannya. Proyek akhir tahun dikembangkan dengan mengajak anak-anak jalanan dan anak-anak yang diasuh panti. Pendidikan sejatinya jangan memisahkan siswa dari kenyataan di sekitar agar mereka tidak tumbuh sebagai kelompok yang eksklusif.
Bekerja sama dengan rekan-rekan relawan serta lembaga swadaya masyarakat, Vudu mempertemukan siswanya dengan anak-anak lain dalam kegiatan rutin mingguan. "Orang dewasa hanya mengawasi dari jauh. Biarkan anak-anak yang mencairkan suasana dan berkenalan secara alami," tuturnya.
Anak-anak tersebut saling belajar. Misalnya, ada anak jalanan yang mencari nafkah dengan mengamen, bekerja di warnet, dan di rumah makan. Ia memiliki cara berhitung yang ia kembangkan sendiri yang berbeda dari rumus di buku pelajaran. Ilmu yang ia bagi kepada teman-teman dari sekolah formal memberi pendekatan lain tentang pemecahan persoalan matematika. Demikian pula dengan anak sekolah formal mengajarkan cara membaca dan menulis.
Kolaborasi ini kemudian melahirkan kegiatan Pendidikan Pers Cilik Cisalak yang terus berkembang. Individu yang terlibat tidak hanya para siswa SD sederajat, tetapi juga remaja hingga mahasiswa. Bentuk kegiatannya tidak hanya bermusik dan menulis. Mereka turut mengembangkan pembuatan film dokumenter. Akhirnya, gerakan ini dinamai Pendidikan Laboratorium Kreatif Mata Rumpaka.
"Kekurangan lab kreatif, harus mencari dana sendiri dari para donatur, akan tetapi kami bebas mengembangkan ide segila apa pun," katanya.
Karya mereka antara lain adalah Sukapura Project dan Sampurasun pada tahun 2017. Idenya berawal ketika Vudu sedang nongkrong dengan para remaja lab kreatif. Anak-anak muda itu mengusulkan untuk membuat film mengenai keseharian di Tasikmalaya.
Setelah itu konsep Sampurasun muncul, yaitu mengolah teks tentang Tasikmalaya yang diturunkan ke dalam lirik, gambar, dan musik yang dirangkum dalam satu album berjudul Kota Tujuh Stanza. Film Sampurasun karya para remaja ini ditayangkan di Raamfest, festival yang merayakan segala bentuk karya anak muda pada tahun 2017.
Sebelumnya, kisah metode pengajaran dan kolaborasi ini dituangkan oleh Vudu ke dalam buku yang berjudul Saung Langit, bekerja sama dengan rekannya, Syswandi. Buku ini hak ciptanya dibeli oleh penerbit buku dari Taiwan, Slowork Publishing. Pada tahun 2016 versi Bahasa Inggris yang berjudul Shelter of the Sky pun terbit dengan Pei-Shan Huang sebagai editor dan Leo Ruslan Aryandinata sebagai ilustrator.
"Multiliterasi selain membuka wawasan dan kreativitas juga saling membantu. Hal kecil dengan dampak besar. Apalagi dengan adanya lab kreatif ini enggak menutup kemungkinan menghasilkan karya baru yang berbeda dari sebelumnya," tutur Vudu optimistis.
Vudu Abdul Rahman
Lahir: Tasikmalaya, 7 Juni 1983
Pendidikan:
- S1 Pendidikan Guru SD Universitas Pendidikan Indonesia (lulus tahun 2008) Bandung.
- S2 Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia (dalam proses) Bandung.
Pekerjaan:
- Guru SD Perumnas Cisalak,
Tasikmalaya
- Pendiri Pendidikan Laboratorium
Kreatif Mata Rumpaka