Impor Pangan Meningkat, Petani dan Lahan Pertanian Menyusut
›
Impor Pangan Meningkat, Petani...
Iklan
Impor Pangan Meningkat, Petani dan Lahan Pertanian Menyusut
Kedaulatan pangan yang pernah dijanjikan Presiden Joko Widodo pada periode awal pemerintahannya semakin menjauh. Hal itu ditandai dengan terus meningkatnya impor pangan dan menyusutnya luas lahan pertanian.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kedaulatan pangan yang pernah dijanjikan Presiden Joko Widodo pada periode awal pemerintahannya semakin menjauh. Hal itu ditandai oleh terus meningkatnya impor pangan di tengah menyusutnya lahan pertanian dan jumlah petani. Sistem pangan di Indonesia juga dinilai tidak berkelanjutan.
”Belum ada perubahan dalam sistem pangan Indonesia selama dua dekade ini. Angka impor pangan semakin tinggi, jumlah petani pangan terus menurun, khususnya di kelompok petani sawah pada kisaran umur di bawah 35 tahun karena pertanian pangan dianggap tidak menjanjikan lagi,” kata Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator Aliansi untuk Desa Sejahtera, di Jakarta, Selasa (15/1/2020).
Dari lima prioritas misi Presiden Joko Widodo dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, penyediaan pangan hanya masuk dalam agenda untuk memperkuat ketahanan ekonomi. ”Padahal, pada periode pemerintahan Jokowi sebelumnya, pangan jadi salah satu prioritas yang tertuang di Nawacita tentang kedaulatan pangan,” katanya.
Menurut Tejo, program kedaulatan pangan itu menghasilkan capaian peningkatan produksi pangan, menurunkan angka kerawanan pangan hingga 7,9 persen, dan konsumsi ikan masyarakat naik menjadi 47,3 kilogram per kapita per tahun. Namun, program kedaulatan itu dikritik karena hanya fokus pada angka produksi dan belum melihat kesejahteraan produsen pangan.
Meski terjadi peningkatan produksi, impor berbagai komoditas pangan di Indonesia terus meningkat. Data yang diolah dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada tahun 2010, impor beras 0,687 juta ton dan pada tahun 2018 menjadi 2,25 juta ton. Impor kedelai tahun 2010 sebesar 1,74 juta ton menjadi 2,58 juta ton pada tahun 2018.
Bahkan, impor gandum melonjak tinggi dari 4,81 juta ton menjadi 10,09 juta ton pada 2018. Sementara impor daging dari 0,453 juta ton pada 2010 menjadi 0,75 juta ton pada 2018. Peningkatan juga terjadi pada impor garam, dari 2,083 juta ton pada 2010 menjadi 3,7 ton pada 2018.
Penyediaan pangan ke depan juga menghadapi tantangan menurunnya jumlah petani dan nelayan dari tahun ke tahun. Menurut Tejo, jumlah petani di Indonesia menurun dari 35,9 juta orang pada 2017 menjadi 35,7 juta orang tahun 2018. Sementara jumlah nelayan dari 2,4 juta orang tahun 2000 menjadi 1,6 juta orang pada 2016. Pada saat sama terjadi penyusutan jumlah lahan pertanian dari 7,75 juta hektar pada 2013 jadi 7,1 juta ha tahun 2016.
Persoalan pangan ke depan meningkat karena program pangan kian direduksi, padahal kita masih berkutat dengan triple burden masalah tengkes (stunting), kelebihan gizi, dan kekurangan nutrisi mikro. Di tengah berbagai persoalan ini, dunia menghadapi perubahan iklim yang mengancam produktivitas tanaman pertanian.
Ekspansi Sawit
Tantangan lain, luas lahan pangan di Indonesia semakin menyempit, di antaranya akibat perluasan perkebunan monokultur yang masif. Perluasan kebun sawit kini mencapai 22,8, juta hektar, dengan 60 persen dikuasai oleh perusahaan besar.
”Lahan pangan Indonesia yang paling subur itu di Pulau Jawa, tetapi kami menemukan ada lahan pangan yang dijadikan perkebunan sawit di Jawa Timur,” kata Achmad Surambo dari Sawit Watch.
Lahan pangan Indonesia yang paling subur itu di Pulau Jawa, tetapi kami menemukan ada lahan pangan yang dijadikan perkebunan sawit di Jawa Timur.
Perluasan kebun sawit juga memicu konflik agraria dan kerentanan penghidupan masyarakat. ”Kami mencatat ada 822 konflik terjadi di perusahaan sawit. Selain itu, moratorium yang ditetapkan pemerintah tidak diindahkan dengan ditemukannya beberapa wilayah yang diubah jadi perkebunan sawit. Pembukaan kebun di antaranya terjadi di Buol, Sulawesi Tengah,” ucap Achmad.
Tejo mengingatkan, Kabinet Indonesia Maju dituntut segera menata sistem pangan secara berkelanjutan. Hal itu membutuhkan koordinasi dan integrasi dari berbagai sektor yang terlibat dan terkait dari produksi, pengumpulan, pemrosesan, distribusi, konsumsi, dan sampah pangan yang dihasilkan dari pertanian, kehutanan dan perkebunan, serta perikanan.
”Sayangnya, hingga kini arah kebijakan pangan kita masih sektoral sehingga jangan heran jika Indonesia akan menghadapi krisis pangan, gizi, lingkungan makin dalam. Pada akhirnya akan menghambat Indonesia untuk maju,” kata Tejo. Kalau tidak ada perbaikan sistem pangan, hal ini akan menjadi utang tambahan bagi Presiden Jokowi yang dulu menjanjikan kedaulatan pangan bagi negeri ini.