Rabu, 15 Januari 2020, tepat 46 tahun terjadi peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) di Indonesia.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hari Rabu ini, 15 Januari, tepat 46 tahun terjadi peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari atau Malari di Indonesia. Ketika itu, mahasiswa dan rakyat menolak masuknya investasi asing yang berpotensi membuka celah korupsi di Pemerintah Indonesia.
Pada 15 Januari 1974, ribuan mahasiswa yang dipimpin Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) Hariman Siregar menggelar aksi demonstrasi untuk mengkritik kebijakan Presiden Soeharto yang proinvestasi asing.
Peristiwa ini bertepatan dengan kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Indonesia yang menurut rencana ingin berinvestasi di Indonesia.
”Peristiwa 46 tahun lalu diharapkan bisa menjadi pengingat bagi pemerintah agar investasi ini jangan sampai membuka celah korupsi serta perputaran uang hanya terjadi di kalangan elite tertentu,” ujar Hariman dalam acara peringatan 46 tahun peristiwa Malari bertajuk ”Mendengar Suara Rakyat” di Jakarta, Rabu.
Pada peristiwa Malari, rakyat membuat tiga tuntutan yang dikenal sebagai Tritura Baru 1974, yaitu agar pemerintah mau membubarkan lembaga Asisten Pribadi Presiden (Aspri), menurunkan harga bahan pokok, dan mengganyang korupsi. Akibat peristiwa tersebut, terjadi pembakaran produk-produk yang berbau Jepang dan pusat pertokoan di sejumlah daerah di Jakarta.
”Saat ini rasanya tuntutan tersebut masih relevan dengan pemerintah saat ini. Saya berharap agar pemerintah tidak hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memperhatikan pemerataan kesejahteraan penduduk dengan investasi,” kata Hariman.
Peneliti Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Wijayanto, mengatakan, peristiwa Malari ini juga mengingatkan masyarakat akan aksi mahasiswa yang terjadi pada September 2019.
”Pada demonstrasi September 2019, ribuan mahasiswa turun ke jalan karena merasa reformasi telah dikorupsi dan lembaga KPK telah dilemahkan,” katanya.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bilal Dewansyah, menjelaskan, pemerintahan otoriter biasanya menggunakan instrumen hukum dan undang-undang untuk terus melanggengkan kekuasaan.
Menurut Bilal, revisi UU KPK juga dikhawatirkan menjadi salah satu cara untuk melemahkan pemberantasan korupsi agar investasi bisa lebih berjalan lancar.
”Sebenarnya masyarakat pun berharap untuk dilibatkan dalam pembuatan undang-undang. Kami berharap agar instrumen hukum dan undang-undang ini jangan sampai malah dijadikan alat kekuasaan,” lanjutnya.
Sebelumnya, secara terpisah, Ketua MPR Bambang Soesatyo mengingatkan agar proses pemberantasan korupsi jangan sampai mengganggu iklim investasi di Indonesia. Oleh sebab itu, ia mengingatkan KPK agar jangan sampai membuat kegaduhan ketika melakukan pemberantasan korupsi.
”Kita juga memiliki tanggung jawab yang sama agar tidak boleh mengganggu perekonomian nasional. Artinya, tidak boleh ini menakut-nakuti atau mengganggu iklim investasi yang telah susah payah dibangun oleh pemerintah,” ujar Bambang seusai bertemu dengan pimpinan KPK di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (14/1/2020).
Kemunduran demokrasi
Wijayanto menuturkan, saat ini telah terjadi kemunduran demokrasi dengan munculnya sejumlah indikasi, yaitu lemahnya oposisi terhadap pemerintah, sekaligus terbentuknya pemerintahan yang oligarki. Ia menjelaskan, kemunduran demokrasi ini bisa membentuk pemerintahan yang otoriter.
”Selain itu, banyak elite politik yang terpilih dengan sistem pemilu yang demokratis, tetapi malah ingin mengubah sistem kepemiluan tersebut. Padahal, mereka dipilih oleh rakyat,” ujarnya.
Sebelumnya, sejumlah fraksi di DPR menginginkan adanya perubahan sistem pemilu legislatif (pileg) menjadi sistem proporsional tertutup. Dengan adanya sistem proporsional tertutup, nantinya rakyat hanya memilih lambang partai dan parpol yang menentukan caleg-caleg pilihannya.
PDI-P menyarankan agar sistem pileg kembali diubah menjadi proporsional tertutup.
”Parpol merupakan representasi dari demokrasi karena merupakan peserta pemilu juga sehingga PDI-P menyarankan agar sistem pileg kembali diubah menjadi proporsional tertutup,” ujar anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P, Djarot Saiful Hidayat.
Senada dengan Djarot, Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Golkar Ahmad Doli Kurnia mengatakan, berdasarkan hasil Musyawarah Nasional Partai Golkar, partai ini ingin merevisi pemilu menjadi sistem proporsional tertutup.
”Biaya pemilu yang sangat mahal membuat kami berpikir untuk mengembalikan sistem pemilu menjadi proporsional tertutup,” ujarnya.