Beberapa tahun terakhir, semakin banyak komunitas yang tumbuh untuk menawarkan beragam solusi untuk berbagai masalah. Mereka datang untuk membuat perubahan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
Komunitas kini jadi salah satu pilar penting untuk melakukan suatu perubahan. Tak lagi sekadar jadi tempat kumpul-kumpul, mereka yang punya hobi sama, serta ikatan emosional yang kuat membuat beragam kegiatan positif. Seiring berjalannya waktu, komunitas menawarkan solusi berbagai masalah dan pemberdayaan bagi masyarakat dan bangsa. Tentu saja, dengan semangat gotong royong dan suka rela.
Saat ini, generasi muda tertarik dengan komunitas yang punya tujuan positif bagi sesama dan lingkungan. Bukan hanya sebagai anggota komunitas, beberapa dari mereka juga menjadi penggagas sebuah gerakan. Banyak anak muda yang terlibat sukarela dalam komunitas. Biasanya, mereka akan memilih bidang yang diminatinya.
Salah satunya, komunitas Clean Divers Action (CDA) yang dibentuk tahun 2015. Berawal dari keprihatinan sejumlah penyelam yang menemukan banyak sampah plastik di laut saat menyelam. Ide sederhana pun digagas Swietinia Puspa yang hobi menyelam untuk mengajak sesama penyelam membersihkan sampah laut saat menyelam.
Sayangnya, gerakan membersihkan laut hanya oleh para penyelam tak cukup. Kemudian, Swietania mengembangakan DCA menjadi yayasan supaya bisa berkontribusi lebih luas, terutama untuk menjangkau anak-anak muda yang peduli pada masalah lingkungan. Tiap tahun, puluhan anak muda berusia 18-25 tahun didanai untuk mendapat pelatihan lewat program Indonesian Youth Marine Debris Summit.
Kini, DCA dilirik oleh pemerintah dan perusahaan seperti KFC untuk melaksanakan kegiatan bersih laut. Dukungan pun mengalir untuk meluaskan kiprah DCA mengedukasi masyarakat untuk membereskan masalah sampah laut.
Komunitas lainnya, Warung Baca Mata Air di Tangerang Selatan yang berjuang untuk menumbuhkan literasi di kalangan anak-anak dan remaja. Komunitas yang didirikan Sisi Wahyu ini sudah mulai berkegiatan sejak tahun 2008.
Mereka yang datang ke komunitas sebagian besar merupakan anak-anak kurang mampu. Bahkan, beberapa dari mereka sudah putus sekolah, tetapi mempunyai kemauan untuk belajar. ”Saya lebih mengutamakan anak-anak yang membutuhkan perhatian, anak yatim, atau mereka yang kurang mampu. Kami pun seperti sebuah keluarga,” katanya.
Warung Baca Mata Air memiliki program terapan literasi, kelas teknologi informasi, dan wirausaha. Namun, tak mudah mengajak anak-anak untuk membaca buku. Mereka datang dan pergi sesuka hati. Untuk itulah, Sisi mengajak para mahasiswa untuk bergabung menjadi sukarelawan. Dengan berbagai cara, Sisi mempertahankan komunitas tetap berjalan.
Hari Komunitas
Tumbuhnya berbagai komunitas di Indonesia, mendorong Wakil Rektor 3 London School Public Relations Taufan Teguh Akbari menggagas deklarasi Hari Komunitas Nasional (Indonesia Community Network) setiap tanggal 28 September. Perayaan perdana Hari Komunitas Nasiona, tahun 2013, diikuti sekitar 80 komunitas. Sampai kemudian, tahun 2015, bisa mencapai lebih dari 300 komunitas.
Teguh sebagai Co-Inisiator Hari Komunitas Nasional mengatakan, era keterbukaan dan pesatnya media sosial membuat anak-anak muda mulai peka pada isu-isu tertentu. “Dalam pembentukan komunitas, tokoh enggak penting. Asal yang dilakukan bermanfaat, biasanya mulai banyak yang tertarik untuk bergabung,” ujar Teguh yang juga pendiri Rumah Millennials.
“Komunitas ini jadi ruang publik sebagai pilihan untuk mereka yang ingin berbuat sesuatu sesuai idealisme, namun ada keterbatasan. Lalu, di komunitas ini jadi bertemu dengan orang-orang yang satu frekuensi untuk menghasilkan kegiatan yang berdampak,” ujar Teguh.
Menurut Teguh, ada masalah dalam perkembangan komunitas, salah satunya proses regenerasi kepemimpinan di komunitas yang tidak dipersiapkan secara baik atau yang bergantung pada pemimpin. Hal itu bisa menghambat keberlanjutan dan perkembangan kiprah komunitas. Karena itu, komunitas sebagai ladang berkarya perlu dibantu dalam supaya bisa memiliki manajemen organisasi yang baik, namun tetap dengan semangat kesukarelawanan dan gotong royong.
Secara terpisah, Sosiolog Universitas Gadjah Mada yang juga Direktur Eksekutif Youth Studies Center Fisipol UGM Oki Rahardianto mengatakan, saat ini, komunitas kini menjadi ruang publik yang diciptakan masyarakat, khususnya anak-anak muda. Apalagi, mereka dimudahkan dengan fasilitas teknologi digital yang semakin maju.
“Komunitas menjadi ruang komunal yang membuat para anggotanya bisa kembali berinteraksi tatap muka dan saling berbagi. Sehingga, komunitas punya dampak yang baik, positif, dan produktif jika dimanfaatkan dengan baik,” ujar Oki.
Menurut Oki, komunitas perlu diberikan ruang yang bebas untuk berekspresi karena generasi muda yang terus berkembang. Di kalangan anak muda, terlihat marak komunitas yang bebas berekspresi tanpa takut alasan moral, agama, sosial. Banyak yang tumbuh untuk merespon isu yang terjadi baik kultural, ekonomi, maupun politik.
Oki mendorong pemerintah dan dunia swasta dapat merangkul dan membantu komunitas untuk membangun kapasitas sumber daya. Dengan demikian, komunitas bisa menyumbangkan berbagai solusi yang dihadapi masyarakat.