Pasang Naik Hubungan Jakarta-Amsterdam
Jakarta menyusul Amsterdam menjadi kota dengan daratan lebih rendah dari permukaan laut. Seolah disatukan nasib tersebut, relasi Indonesia-Belanda meningkat dari tahun ke tahun. Relasi itu terus membaik.
Perubahan iklim membuat Jakarta menyusul Amsterdam menjadi kota dengan daratan lebih rendah dari permukaan laut. Dua ibu kota itu sama-sama rawan tenggelam setiap kali laut pasang. Seolah disatukan nasib tersebut, relasi Indonesia-Belanda meningkat dari tahun ke tahun. Ada bayang-bayang kompleksitas sejarah, tetapi relasi itu terus membaik.
Peningkatan hubungan kedua negara tecermin pada awal tahun 2020 ini. Dimulai dengan Indonesia secara resmi menerima kembali koleksi total 1.500 artefak dari Museum Nusantara yang ditutup di Delf, Belanda, kedekatan hubungan itu bakal berlanjut dengan kunjungan Raja Belanda Willem-Alexander pada Maret 2020.
Lawatan kali ini merupakan kunjungan resmi kedua Willem-Alexander ke Indonesia. Kala masih berstatus putra mahkota pada 1995, ia mendampingi ibunya, Ratu Beatrix, mengunjungi Indonesia. Kala itu, mereka antara lain menyambangi Yogyakarta.
Kedutaan Besar Belanda untuk Indonesia belum bisa memastikan, apakah Raja Willem-Alexander akan kembali bertandang ke Yogyakarta atau tidak. Duta Besar Belanda untuk Indonesia Lambert Grijns menyebut lawatan ini untuk semakin mempererat hubungan Indonesia-Belanda. ”Raja akan datang bersama perwakilan pengusaha,” ujarnya saat berkunjung ke kantor Redaksi Kompas di Menara Kompas, Jakarta, Rabu (15/1/2020).
Ekonomi memang menjadi salah satu misi penting dalam lawatan Raja Willem-Alexander. Grijns menyoroti potensi Indonesia menjadi salah satu dari lima besar perekonomian dunia dalam beberapa tahun mendatang.
Raja akan datang bersama perwakilan pengusaha.
Indonesia dinilai mempunyai potensi untuk mencapai target itu. Jumlah penduduk produktif lebih dari 100 juta jiwa, sumber daya alam yang banyak, pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata global, dan berada di kawasan yang stabil secara politik ataupun keamanan adalah sebagian dari faktor pendukung Indonesia mencapai ambisi besar tersebut.
Mitra penting
Grijns menyatakan, Belanda ingin terlibat dalam upaya Indonesia itu. Amsterdam ingin agar lebih banyak pelaku usahanya terlibat dalam perekonomian Indonesia. Selama ini, sebenarnya Belanda sudah menjadi mitra penting bagi perekonomian Indonesia. Di antara negara-negara Eropa, Belanda menempati peringkat kedua dalam daftar mitra perdagangan Indonesia.
Selama beberapa tahun terakhir, nilai perdagangan Indonesia-Belanda melebihi 5 miliar dollar AS per tahun. Transaksi dengan Belanda menjadi salah satu sumber surplus neraca perdagangan internasional Indonesia. Bahkan, Amsterdam berada di peringkat pertama soal investasi asal Eropa. Belanda juga masuk lima besar daftar negara penyumbang pelancong asing ke Indonesia. Selain itu, Belanda mendukung peningkatan kualitas sawit yang merupakan salah satu komoditas penting Indonesia.
Pada September 2019, Indonesia-Belanda menyepakati kerja sama pengembangan sawit berkelanjutan. Tujuan kerja sama itu, antara lain, untuk meningkatkan kemampuan petani kecil Indonesia memenuhi standardisasi pengembangan sawit berkelanjutan. Grijns mengatakan, isu sawit memang menjadi salah satu perhatian di Eropa dan, tentu saja, Belanda. Amsterdam ingin mendapat gambaran utuh atas kondisi persawitan Indonesia. Gambaran itu diperlukan agar langkah lanjutan yang proporsional bisa ditetapkan.
Sawit menjadi salah satu isu sensitif dalam hubungan Indonesia-Uni Eropa (UE) saat ini. Jakarta bersiap menggugat Brussels di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) gara-gara dugaan UE menghambat ekspor sawit Indonesia ke wilayah anggota organisasi di negara-negara Eropa tersebut.
Pendidikan-kebudayaan
Bukan hanya ekonomi yang menjadi fokus hubungan Indonesia-Belanda. Pendidikan juga menjadi perhatian dalam relasi kedua negara. Selama ini, memang banyak warga Indonesia belajar di Belanda. Sejumlah perguruan tinggi Indonesia juga bekerja sama dengan perguruan tinggi Belanda.
Soal kebudayaan juga menjadi perhatian. ”Setiap kali ada kegiatan tentang kebudayaan Belanda di Jakarta, banyak anak muda Indonesia datang. Begitu pula jika ada kegiatan kebudayaan Indonesia di Amsterdam, banyak anak muda Belanda datang. Para generasi ketiga ini seperti ingin mencari akar identitas,” kata Grijns. Hubungan Indonesia-Belanda dimulai ratusan tahun sebelum Indonesia diproklamasikan.
Rekaman hubungan selama ratusan tahun itu, antara lain, berupa sekitar 30.000 koleksi aneka artefak Nusantara di Museum Nusantara, Delf. Beberapa tahun lalu, museum itu ditutup. Keterbatasan biaya diduga menjadi alasan penutupan itu. Menjelang ditutup, Belanda menawarkan penyerahan 14.000 koleksi museum itu kepada Indonesia. Direktur Jenderal Kebudayaan kala itu, Kacung Maridjan, mengakui tawaran tersebut.
Setelah proses panjang, akhirnya hanya 1.500 koleksi atau 5 persen dari keseluruhan artefak di Museum Nusantara yang dikembalikan ke Indonesia. Koleksi pertama diserahkan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte kepada Presiden Joko Widodo di Jakarta pada 2016. Butuh hampir 3,5 tahun sampai akhirnya seluruh 1.500 koleksi tiba di Indonesia pada akhir Desember 2019. Koleksi itu secara resmi diterima Indonesia pada Januari 2020.
Sejarah emosional
Sebagian orang Indonesia keberatan dengan pengembalian yang dinilai terlalu sedikit itu. Artefak-artefak tersebut tak hanya mahal secara komersial. Benda-benda itu mewakili kekayaan sejarah yang panjang di Nusantara.
Keberatan sebagian orang itu juga gambaran hubungan emosional dan sejarah yang rumit antara Indonesia dan Belanda. Orang Belanda juga mengalami itu. Grijns dan Menteri Luar Negeri Belanda periode 2003-2007 Bernard Bot termasuk yang merasakan pengalaman yang rumit itu. Grijns lahir di Bogor, pernah magang di Bandung kala masih kuliah dan fasih mengucapkan beberapa kata dalam bahasa Sunda. Sementara Bot lahir di Jakarta dan pernah masuk penampungan paksa untuk orang Belanda kala Jepang menjajah Hindia Belanda.
Bot merupakan salah satu politisi Belanda dengan tugas paling berat menyangkut hubungan Jakarta-Amsterdam. Ia mewakili Belanda secara resmi mengakui 17 Agustus 1945 sebagai Hari Kemerdekaan Indonesia. Ia menjadi pejabat pertama di pemerintahan Belanda yang menghadiri upacara peringatan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2005 di Istana Merdeka, Jakarta.
Bot mengatakan, kehadirannya dalam peringatan itu untuk menutup babak lama dan membuka babak baru dalam hubungan Indonesia-Belanda. ”Selama bertahun-tahun, kita tidak pernah meminta sebuah permintaan maaf. Ini adalah masalah yang kita selalu kembalikan kepada hati nurani mereka. Kita bukan tahanan masa lalu. Hal tersebut juga tidak mencegah kita untuk mengembangkan dan memperkuat hubungan bilateral.
Kita harus menghargai sikap Belanda.
Kami menerima dan menyambut baik pernyataan tulus Menlu Bot,” ungkap Menteri Luar Negeri Indonesia periode 2004-2009 Hassan Wirajuda soal pengakuan Belanda melalui Bot (Kompas, 18 Agustus 2005).
Sebelum di Istana Merdeka, Bot lebih dulu menyampaikan pengakuan di Kemlu RI pada 16 Agustus 2005. Pengakuan itu mengakhiri 60 tahun sikap Belanda yang hanya menerima 27 Desember 1949 sebagai hari kelahiran Indonesia. Pada 27 Desember 1949, Ratu Juliana menandatangani penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia.
”Pengetahuan sejarah memang tidak mewah, tapi (itu adalah) persyaratan untuk memandang lebih jelas tentang masa depan. Dan yang pasti, berlaku (juga) untuk hubungan antara Belanda dan Indonesia,” kata Bot di Kemlu RI kala itu.
Bot juga secara tersirat menyesali agresi militer Belanda pada masa perang kemerdekaan Indonesia. Ia menyebut agresi militer Belanda sebagai kenyataan pahit dan melukai. ”Ini adalah pernyataan yang sensitif. Di Belanda pun untuk menyatakan penyesalan ini menjadi perdebatan sejumlah pihak. Kita harus menghargai sikap Belanda,” kata Wirajuda.