Bencana Hidrometeorologi dan Krisis Ekologi
Frekuensi dan intensitas hujan ekstrem memang meningkat seiring pemanasan global. Namun bencana lebih karena kegagalan menata ruang dan mengelola lingkungan sehingga upaya mengatasinya tidak boleh melupakan hal ini.
Bencana hidrometeorologi menewaskan 71 orang, 2 orang hilang, serta lebih dari 1 juta orang mengungsi, padahal tahun 2020 baru memasuki pekan ketiga. Frekuensi dan intensitas hujan ekstrem memang meningkat seiring pemanasan global, namun bencana lebih karena kegagalan menata ruang dan mengelola lingkungan sehingga upaya mengatasinya tidak boleh melupakan hal ini.
Setelah banjir besar yang melanda Jakarta, sebagian Jawa Barat dan Banten pada awal tahun ini, kini banjir terjadi di wilayah pantai utara Jawa. Sebelumnya, banjir bandang melanda Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, pada 3 Januari 2020. Banjir juga melanda Aceh, Kalimantan, hingga Sulawesi Selatan.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga pertengahan Januari 2020 mencatat, banjir mendominasi jumlah korban jiwa sebanyak 67 orang dan 2 orang hilang, disusul puting beliung 3 orang, dan longsor 1 orang. Selain merusak ribuan rumah dan infrastruktur, bencana di awal tahun ini menyebabkan 1.085.297 orang mengungsi. Kerugian ekonomi, terutama dari kejadian banjir di Jakara dan sekitarnya, diperkirakan triliunan rupiah.
Untuk banjir Jakarta dan sekitarnya, menurut pencatatan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), diawali dengan curah hujan ekstrem sejak 31 Desember 2019 dengan rata-rata di sejumlah wilayah di atas 150 milimeter per hari. Bahkan, curah hujan di Bandara Halim Perdanakusuma mencapai 377 mm, yang merupakan tertinggi sejak dilakukan pencatatan pada tahun 1866.
Baca juga Sejarah Kegagalan Mengatasi Banjir Jakarta
Namun, untuk banjir di Sangihe dan di Pantura Jawa, tidak ada indikasi terjadi hujan ekstrem. Data BMKG menunjukkan, hujan dengan intensitas 52,4 mm terekam di Stasiun Meteorologi Naha di Tahuna, Kepulauan Sangihe saat kejadian. Sekalipun tergolong lebat, curah hujan ini belum mencapai ekstrem.
Fenomena serupa terjadi di Pantura Jawa, yang kini dikepung banjir. "Di catatan kami tidak ada intensitas hujan ekstrem di pantai utara Jawa. Hanya ada hujan berturut-turut selama tiga dengan intensias 20 - 50 mm per hari," kata Kepala Subbidang Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Siswanto.
Jelas bahwa, bencana banjir dan longsor tak melulu soal iklim tapi lebih didominasi krisis ekologi. Pembangunan di Pulau Jawa telah lama dikeathui melampaui daya dukung ekologinya. Luas tutupan hutan terus berkurang seiring bertambahnya lahan kritis. Fenomena serupa terjadi di daerah lain di luar Jawa.
Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Agus Wibowo mengatakan, berdasarkan pantauan udara pada Selasa (14/1), ditemukan kerusakan hutan dan lereng bukit yang parah di Lebak, yang enam kecamatannya dilanda banjir bandang. "Maraknya alih fungsi lahan menjadi jenis tanaman musiman menyebabkan wilayah itu kehilangan kekuatan dan pengendali banjir alami," katanya.
Maraknya alih fungsi lahan menjadi jenis tanaman musiman menyebabkan wilayah itu kehilangan kekuatan dan pengendali banjir alami.
Selain itu, BNPB menemukan lokasi tambang emas ilegal di hulu Sungai Ciberang, Gunung Julang, yang masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Lebakgedong. Di sepanjang bantaran sungai dan lembah ini, menurut Agus, dipadatai permukiman penduduk. Itu memicu kerentanan terhadap bencana semakin tinggi.
Kembali ke Alam
Para ilmuwan saat ini mencapai konsensus bahwa pemanasan global telah memicu meningkatnya frekuensi dan intensitas cuaca ekstrem. Dengan peningkatan suhu global 1,1 derajat celsius dibandingkan era praindustri atau sekitar 1850-an, bisa dipastikan telah terjadi perubahan pola hujan.
Persamaan Clausius-Clapeyron merupakan dasar untuk memahami relasi ini. Clausius dan Clapeyron merupakan nama keluarga dari ahli meteorologi Jerman dan Prancis yang menemukan atmosfer lebih hangat menyimpan lebih banyak uap air. Untuk tiap kenaikan suhu 1 derajat celsius, udara bisa menampung sekitar 7 persen uap air ekstra.
Ketika terjadi kenaikan penguapan air dalam jumlah masif, maka akan terbentuk awan hujan dan hujan lebat dapat turun tiba-tiba, seperti yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya pada pergantian tahun lalu.
Data-data yang dikompilasi dalam laporan ratusan ilmuwan yang tergabung dalam Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada 2018 menunjukkan perubahan ini. Secara statistik tercatat ada peningkatan jumlah curah hujan deras di lebih banyak wilayah. Pada saat bersamaan, sejak 1950-an di beberapa wilayah di dunia mengalami tren kekeringan lebih hebat dan lama, khususnya di Eropa selatan dan Afrika Barat.
Baca juga Jakarta Belum Siap Hadapi Hujan Ekstrem
Peningkatan cuaca ekstrem ini juga terdeteksi di Indonesia. Peneliti iklim yang juga Kepala Subbidang Peringatan Dini Iklim BMKG Supari menyebut, perubahan iklim menyebabkan jeda antar kejadian ekstrem memendek. "Misalnya, pada kondisi iklim zaman dulu, hujan 200 mm per hari itu periode ulangnya 100 tahun. Di kondisi iklim sekarang hujan sebesar itu periode ulangnya menjadi 50 tahun-an atau bisa lebih cepat lagi," ungkapnya.
Sebelum terjadi hujan dengan intensitas 377 mm di Halim awal tahun ini, rekor curah hujan tertinggi di Jakarta sebesar 367 mm per hari terjadi di Sunter pada 11 Februari 2015, dan 340 mm per hari di Pondok Betung pada 2 Februari 2007. Dari ketiga kejadian ekstrem ini selalu diikuti banjir besar di Jakarta.
Peneliti iklim dari Tropical Marine Science Institute, National University of Singapore Jiangdong Liu dalam kajiannya yang dipublikasikan di jurnal Natural Hazard pada 2014 menyebut, berdasarkan analisis periode ulang berdasarkan skala regional, kembalinya hujan ekstrem seperti pada Februari 2007 adalah 300-an tahun. Namun, hujan ekstrem, bahkan dengan intensitas lebih tinggi, terjadi jauh lebih cepat dari prediksi.
Kondisi itu sejalan dengan laporan IPCC pada 2019 yang memperingatkan, peristiwa cuaca ekstrem yang secara historis terjadi sekali dalam 100 tahun dapat menghantam kota-kota pesisir tiap tahun pada 2050. Kota-kota perlu bersiap sekarang.
Perubahan dinamika cuaca ini, menambah kompleksitas upaya memitigasi bencana terkait hidrometeorologi, khususnya banjir. Skenario dan upaya yang dilakukan sebelumnya, bisa jadi tak lagi efektif. Contohnya, sistem tanggul yang menjadi ujung tonggak dalam mengatasi banjir dinilai tidak lagi efektif.
Studi yang dilakukan para peneliti dari University of California, Davis dan diterbitkan di jurnal Environmental Science & Policy (2016) menyebutkan, risiko banjir jangka panjang dan kegagalan struktur mengakibatkan kerugian ekonomi di kawasan yang dilindungi tanggul bisa jauh lebih besar.
Tanggul bisa meningkatkan tinggi dan aliran air saat banjir, dan begitu tanggul jebol atau terlampui tinggi air, bencana lebih besar bisa terjadi. Dua bencana besar akibat gagalnya sistem tanggul di Amerika Serikat telah menghancurkan New Orleans, tahun 1927 dan sekali lagi setelah Badai Katrina pada tahun 2005.
Dengan meningkatnya frekuensi dan intensitas hujan ekstrem hingga siklon tropis, sangat mungkin tanggul yang telah dipersiapkan sebelumnya, tidak lagi memadai. Apalagi, jika tutupan vegetasi dan daerah resapan air yang harusnya bisa mengurangi aliran air permukaan semakin menyusut. Dampaknya, volume air yang harus ditampung tanggul bisa melebihi kapasitasnya.
Survei yang dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) setelah banjir Jakarta beberapa waktu lalu juga menemukan, selain jebolnya 44 titik tanggul yang jadi pemicu banjir, juga ditemukan drainase tersumbat (3 titik), kapasitas drainase terlampaui (13 titik), dan pintu air rusak (11 titik). Sementara , banjir di banyak daerah di Pantura saat ini banyak disebabkan tanggul jebol, seperti terjadi di Demak, Kudus, Patidan, Bojonegoro.
Dinding tanggul sebenarnya bukan satu-satunya pilihan. Banyak ahli merekomendasikan, alternatif "hijau", yaitu dengan memperbaiki kualitas lingkungan dan tata ruang jadi kunci menyelamatkan warga di masa depan.
Solusi ini sebenarnya telah lama diketahui, namun tidak juga direalisasikan. Misalnya, menegakkan sempadan dan menjaga daerah aliran sungai, memperbanyak daerah resapan air dan retensi banjir, hingga memperbanyak vegetasi. Tak hanya mengurangi risiko banjir dan longsor, vegetasi juga menjadi cara paling efektif untuk menyerap emisi karbon.
Dalam mengelola alam ini, kita perlu belajar pada masyarakat adat, salah satunya Baduy di Lebak, Banten. Sekalipun berada di daerah dengan topografi perbukitan dan lembah-lembah, dengan curah hujan tinggi, masyarakat Baduy aman dari bencana banjir hidrometeorologi, padahal kampung-kampung di sekitarnya dilanda banjir bandang dan longsor.