Presiden Hassan Rouhani mengancam keberadaan pasukan Eropa di Timur Tengah setelah Inggris, Perancis, dan Jerman mempersoalkan kepatuhan Iran terhadap kesepakatan nuklir.
Oleh
Elsa Emiria Leba/MH Samsul Hadi
·3 menit baca
TEHERAN, RABU— Presiden Iran Hassan Rouhani, Rabu (15/1/2020), memperingatkan bahwa tentara Eropa di Timur Tengah ”bisa berada dalam bahaya” setelah tiga negara Eropa menantang Teheran terkait tuduhan pelanggaran kesepakatan nuklir tahun 2015. Peringatan ini disampaikan Rouhani dalam sidang kabinet yang disiarkan melalui televisi.
Peringatan itu merupakan ancaman langsung pertama yang diarahkan Rouhani pada Eropa di tengah ketegangan antara Teheran dan Washington. Rouhani dalam pidatonya di sidang kabinet tidak biasanya memperlihatkan kemarahan hingga melontarkan pernyataan keras tersebut.
”Hari ini, tentara Amerika berada dalam bahaya, besok giliran tentara Eropa berada dalam bahaya,” kata Rouhani. ”Kami ingin kalian hengkang dari kawasan ini, tetapi tidak melalui perang. Kami ingin kalian pergi secara baik-baik. Ini demi kebaikan kalian juga.”
Rouhani tak memerinci dan menguraikan lebih lanjut soal ancaman tersebut. Pasukan asal Eropa ditempatkan bersama pasukan AS di Irak dan Afghanistan. Perancis juga mempunyai pangkalan angkatan laut di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Adapun Inggris membuka pangkalan di Bahrain.
Kami ingin kalian pergi secara baik-baik. Ini demi kebaikan kalian juga.
Juru bicara Komisi Eropa, Peter Stano, mengatakan, kepada wartawan bahwa pihaknya sadar dengan ancaman itu. Namun, Uni Eropa menegaskan tidak memiliki rencana untuk menarik pasukan dari Irak. Menteri Luar Negeri Lorenzo Guerini di hadapan anggota parlemen bahkan mengatakan, Italia berencana menambah pasukannya di Selat Hormuz, jalur utama sekitar 20 persen transportasi minyak dunia.
Di Teheran, Rouhani saat ini mengalami situasi sulit akibat tekanan internasional dan unjuk rasa di dalam negeri terkait penembakan tanpa sengaja oleh militer Iran terhadap pesawat komersial Ukraina. Sebanyak 176 penumpang dan awak pesawat itu, termasuk banyak warga Iran, tewas.
Insiden itu terjadi di tengah memuncaknya ketegangan antara Iran dan AS. Dua pekan lalu, serangan pesawat nirawak AS menewaskan Komandan Brigade Al-Quds Garda Revolusi Iran Qassem Soleimani. Iran membalasnya dengan menyerang pangkalan AS di Irak dengan rudal balistik, 8 Januari lalu. Tak lama kemudian, rudal antipesawat Iran menembak jatuh pesawat maskapai Ukraine International Airlines, yang baru lepas landas dari Bandara Internasional Imam Khomeini, Teheran, menuju Kiev, Ukraina.
Tekanan Eropa
Di tengah ketegangan itu, tiga negara penanda tangan kesepakatan nuklir 2015 (Inggris, Perancis, dan Jerman) menyatakan akan menggunakan mekanisme perselisihan dalam Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) terkait program nuklir Iran. Ketiga negara itu menuding Iran telah melanggar komitmen yang tertera dalam kesepakatan nuklir. Tudingan itu dapat menimbulkan sanksi dari PBB.
”Kami tak menerima argumen bahwa Iran berhak mengurangi kepatuhan dengan JCPOA,” bunyi pernyataan itu. ”Tiga negara kami tak bergabung dalam kampanye untuk menerapkan tekanan maksimum terhadap Iran. Harapan kami adalah membawa Iran kembali ke kepatuhan penuh dengan komitmennya di bawah JCPOA.”
Terkait mekanisme perselisihan dalam JCPOA, ketiga negara Eropa itu perlu memberi tahu UE sebagai penjamin perjanjian. UE lalu harus memberi tahu pihak lain, yakni Rusia, China, dan Iran. Kemudian, diberikan waktu 15 hari untuk menyelesaikan perselisihan. Apabila Iran terbukti bersalah, Teheran akan kembali menerima sanksi dari PBB.
Rouhani menolak proposal kesepakatan nuklir baru, yang disebut dengan ”kesepakatan Trump”.
Iran menyebut langkah tiga negara itu—yang juga kerap disebut dengan E3—sebagai ”kesalahan strategis”. Dalam pidato terpisah di televisi, Rouhani menolak proposal kesepakatan nuklir baru, yang disebut dengan ”kesepakatan Trump”. Tawaran kesepakatan baru itu dilontarkan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, Selasa, sebagai pengganti kesepakatan nuklir 2015 yang ditinggalkan AS.
Kesepakatan nuklir 2015 ditandatangani Iran dan enam negara (AS, China, Inggris, Perancis, Rusia, dan Jerman). Dengan kesepakatan itu, Iran harus meninggalkan program senjata nuklirnya dengan imbalan akan dibebaskan dari sanksi- sanksi internasional. Pada 2018, Presiden Donald Trump menyatakan AS keluar dari kesepakatan sekaligus menjatuhkan kembali sanksi pada Iran.