Seuntai Nyanyian untuk Sungai
Peradaban masyarakat Dayak Kayaan tidak terlepas dari sungai. Sungai di masa lalu, menjadi jalur migrasi, mempererat relasi sosial, menopang kehidupan, hingga berfungsi strategis bagi pertahanan. Seuntai nyanyian syair atau telimaa’ tentang sungai menjadi salah satu cara mengekspresikan penghargaan terhadap sungai yang telah menopang kehidupan.
Martha Haran (63), Siprianus Gunung (51), dan beberapa perempuan Dayak Kayaan di Desa Datah Diaan, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, menaiki perahu bermesin menuju hulu Sungai Mendalam, Selasa (12/11/2019). Mereka menyusuri sungai yang jernih dan berbatu.
Sesekali tampak burung beterbangan hinggap di pepohonan yang masih asri di tepi Sungai Mendalam. Warga lain yang hendak pergi menuju ke ladang, juga melintasi sungai dengan perahu serupa, tampak melambaikan tangan menyapa.
Saat melintasi air yang deras, Martha mengeluarkan galah dari bambu untuk menolak perahu ke arah hulu menambah kecepatan perahu yang kami naiki. Setelah sekitar 10 menit mengarungi Sungai Mendalam, tibalah di gundukan batu di tepi sungai.
Martha dan dua perempuan Mendalam lainnya duduk di atas batu itu. Gunung berdiri di belakang mereka sambil memegang alat musik sape’ ting duaa’, alat musik petik tradisional suku Dayak. Gunung membawa jenis sape’ yang bersenar dua.
Suara sape’ perlahan mengalun. Di tengah kicau burung dan deru dedaunan yang disapu angin, Martha mulai melantunkan lagu tentang keindahan Sungai Mendalam.
”Sungai Mendalam yang diciptakan Yang Maha Kuasa, tempat kami berada. Kami meminta kepada Yang Maha Kuasa agar hidup kami sejahtera di sungai yang kami tempati ini. Selama kami hidup di sungai ini, kami berusaha mencari kehidupan.
Di saat matahari terbit di ufuk timur, kami pergi bersampan ke hulu untuk mencari tempat kami berladang. Bersahutanlah bunyi galah dan dayung. Kami naik perahu ke hulu untuk mencari tempat berladang penyambung hidup agar hidup sejahtera.
Di saat kita mudik ke hulu, tampaklah air bercabang-cabang menerpa. Hanyutlah buih-buih putih menerpa bebatuan. Indah tempat kita mandi, tempat kita istirahat, betapa indahnya Sungai Mendalam, airnya jernih.
Begitupun binatang-binatang sepanjang Sungai Mendalam, seperti monyet-monyet di ujung dahan, senang melihat buah-buahan di sepanjang sungai. Begitu juga di pantai batu kerikil bersusun-susun indah menawan.
Terlihat pula ikan-ikan berenang di sepanjang sungai. Semua kita bergembira melihat keindahan Sungai Mendalam yang diciptakan Tuhan Yang Mahakuasa. Di sungailah hidup sejahtera untuk menyambung kehidupan kita. Di dalam hutan, buah-buah menjadi makanan binatang. Semua binatang bersenang-senang pula”, demikian lirik lagu itu.
”Dalam lagu ini saya bercerita mengenai sungai. Telimaa’ atau nyanyian syair juga biasanya dibawakan dalam acara adat atau pertunjukan. Jika dinyanyikan untuk mengiringi tarian, syairnya menyanjung orang yang menari,” kata Martha.
Jalur migrasi
Tetua adat di Desa Datah Diaan, Alel Sano (77), mengatakan, sejarah kehidupan masyarakat Dayak Kayaan erat dengan sungai. Orang Kayaan masyarakat peladang sehingga kerap mencari daerah yang baik untuk berladang. Mereka juga bermukim di tepi sungai. Sungai menjadi jalur transportasi mengangkut hasil panen.
Berdasarkan cerita turun-temurun, orang Dayak Kayaan di Kalbar awalnya dari Apo Kayan di daerah Kalimantan Utara. Mereka tinggal di perbukitan. Namun, tempat mereka berladang sudah tidak bisa cukup menopang kehidupan sehingga mereka mencari tempat lain yang bisa menjadi tempat berladang dan membangun kehidupan baru.
Terjadilah perpindahan dari Apo Kayan menyusuri sungai-sungai. Di banyak tempat mereka berhenti dan berladang karena bekal terbatas. Sampailah mereka kini ke daerah Datah Diaan di Kalbar.
”Daerah Datah Diaan kala itu dinilai lokasi baik untuk berladang. Sungainya juga bagus,” ungkap Alel.
Keberadaan sungai juga memperkuat interaksi sosial masyarakat Kayaan dengan pedagang dan kelompok masyarakat lainnya di sepanjang aliran sungai. Dengan menyusuri sungai-sungai, mereka berjumpa dengan banyak orang dan pedagang.
Di situ juga berkembang tradisi memandikan anak ke sungai, sebagaimana sub-subsuku Dayak lainnya. Maknanya, sungai sudah memberikan penghidupan pada manusia. ”Dengan dimandikan, sah menjadi orang Kayaan,” ujar Alel.
Di sungai juga ada aturan. Ada kalanya, orang dilarang mudik ke hulu untuk berladang untuk melindungi hutan-hutan di hulu. Maka, di tengah sungai dipasang bambu melintang di tengah sungai, yang oleh warga setempat disebut ting.
Sistem pertahanan
Tak hanya itu, di masa masyarakat Dayak masih memenggal kepala atau mengayau, seseorang yang akan mengayau akan memasang anyaman rotan berbentuk melingkar di tengah sungai. Di anyaman rotan itu terdapat berbagai makanan, salah satunya telur.
”Jika belum ada burung elang melintasinya, pengayau belum berani berangkat mengayau. Artinya, belum ada pertanda baik bagi pengayau. Anyaman rotan itu dipasang sebagai penanda langkah kakinya baik atau tidak,” kata Alel.
Mengapa anyaman rotan itu dipasang di sungai? Sebab, para pengayau berangkat melalui sungai dengan sampan. Sejumlah perlengkapan tempur mereka simpan di sampan.
Pada masa itu, sungai juga berperan strategis dalam pertahanan. Jika masyarakat dihilir melihat ada sampah kayu yang hanyut, patut diduga ada musuh di hulu yang sedang membuat perahu untuk menyerang. Maka, masyarakat Kayaan pun bersiap membangun pertahanan dengan cara membendung sungai agar airnya meluap ke daratan. Daratan sebelumnya telah diisi ranjau. Saat air meluap, ranjau tidak terlihat musuh sehingga musuh terbunuh.
Adapun tradisi perang suku dengan pengayauan atau memenggal kepala musuh sudah diakhiri melalui Perjanjian Tumbang Anoi, Kalimantan Tengah, tahun 1894. Deklarasi perjanjian dihadiri oleh seluruh subsuku Dayak di Kalimantan.
Ketua Badan Pelaksana Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalbar Dominikus Uyub yang juga putra Dayak Kayaan, menuturkan, di hulu Sungai Kayaan tahun 1980-an terdapat perusahaan hak pengusahaan hutan. Aktivitas perusahaan sempat membuat Sungai Mendalam keruh.
Sejak perusahaan tidak beroperasi lagi, air kembali jernih. Dalam konteks sekarang, sungai masih penting bagi masyarakat Kayaan sebagai sumber penghidupan mereka untuk mencari ikan, transportasi ke ladang, dan untuk keseimbangan ekologis.
Maka, jika ada yang merusak sungai, masyarakat akan menegur keras. Masyarakat tetap menjaga sungai selain karena ingatan sejarah soal sungai dalam peradaban mereka, juga fungsi ekologisnya yang masih penting hingga sekarang.