Huntap Milik Penyintas, Tapi Bukan untuk Kepentingan Komersial
›
Huntap Milik Penyintas, Tapi...
Iklan
Huntap Milik Penyintas, Tapi Bukan untuk Kepentingan Komersial
Status lahan dan rumah atau hunian tetap untuk penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi di Sulawesi Tengah dipastikan merupakan hak milik. Para penyintas diikat diminta tidak memanfaatkannya untuk kepentingan komersial.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·3 menit baca
PALU, KOMPAS - Status lahan dan rumah atau hunian tetap untuk penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi di Sulawesi Tengah dipastikan merupakan hak milik. Para penyintas diikat dengan sejumlah komitmen untuk memastikan rumah tersebut dimanfaatkan untuk hunian, bukan tujuan komersial.
Status lahan dan rumah atau hunian tetap (huntap) yang dibangun Yayasan Budha Tzu Chi di Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, menjadi perbincangan di kalangan para penyintas. Hal itu menyusul pencantuman klausul perjanjian kontrak antara penyintas dan yayasan bahwa waktu penghunian huntap 10 tahun sesuai ketentuan.
“Dalam perjanjian tak disebutkan setelah 10 tahun bagaimana. Katanya nanti hak milik itu diurus. Nah, kenapa tak disebut dalam perjanjian itu. Ini harus dijelaskan secara transparan,” kata Abdul Malik (55), penyintas tsunami, yang melalui anaknya telah menandatangani surat perjanjian kontrak dengan Yayasan Budha Tzu Chi di Palu, Sulteng, Kamis (16/1/2020).
Abdul menyatakan, yayasan dan penyintas harus duduk bersama lagi untuk membicarakan klausul perjanjian. Hal ini supaya tafsiran-tafsiran tak bias.
Yayasan Budha Tzu Chi membangun sekitar 1.000 huntap di Palu untuk penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi yang rumahnya rusak parah atau hilang dan lokasinya ditetapkan sebagai zona terlarang. Saat ini sekitar 500 rumah dibangun dan diperkirakan akan ditempati pada April 2020.
Untuk tahap pertama, sebanyak 577 keluarga penyintas telah diverifikasi menjadi calon penerima huntap. Mereka telah mendapatkan nomor rumah pada Sabtu dan Minggu (11-12/1/2020). Saat itu juga ditandatangani perjanjian kontrak antara penyintas dan yayasan.
Terkait klausul itu, Manajer Eksternal dan Kemitraan Yayasan Budha Tzu Chi Andry menyatakan, perjanjian dibuat untuk menjadi legalitas komitmen penyintas dan yayasan. Hal ini agar penyintas menggunakan dan menjaga huntap dengan baik.
Ia memaparkan, waktu 10 tahun yang disebutkan dalam Pasal 3 ayat 2 atau Pasal 1 ayat 4 yakni jangka waktu penghunian berdasarkan perjanjian. Durasi ini dicantumkan untuk mengikat komitmen penyintas agar dalam 10 tahun tak menjual, menyewakan, atau mengalihfungsikan huntap kepada pihak lain seperti diatur dalam Pasal 6 ayat 1 dan ayat 2.
“Itu tidak dimaksudkan setelah 10 tahun penyintas keluar. Kan tak ada juga klausul yang menyebutkan setelah 10 tahun penyintas serahkan rumah,” kata Andry.
Ia memastikan lahan dan rumah serta semua isinya berstatus hak milik. Pihak yayasan menyerahkan proses itu kepada pemerintah. Perihal tak disebutkannya ketentuan hak pemilikan setelah 10 tahun dalam perjanjian, Andry menuturkan, hal itu sebenarnya telah disebutkan dalam Pasal 2 yang mengatur pengalihan hak kepemilikan. “Hak kepemilikan kan, tak ada batas waktunya,” katanya.
Ia mengakui, formula jangka waktu perjanjian memang bisa disalahtafsirkan. Untuk itu, ia sepakat memperbaiki keredaksian terutama untuk penyintas gelombang berikutnya agar isi perjanjian bisa dipahami secara gamblang.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Palu Singgih B Prasetyo memastikan, sertifikat hak milik lahan dan rumah penyintas akan diurus saat penyintas mulai menempati huntap. Hal itu berlaku untuk semua huntap yang dibangun Yayasan Budha Tzu Chi maupun pemerintah.
“Setelah kami bertanya ke yayasan, perjanjian itu substansinya agar penyintas tak mengomersialkan bangunan, tetapi benar-benar untuk ditempati sesuai peruntukannya,” ujarnya.
Seluruh huntap yang dibangun untuk penyintas di Kota Palu sekitar 6.000 unit. Selain di Palu, pemerintah juga membangun sekitar 5.000 huntap di Kabupaten Donggala dan Sigi. Seperti di Palu, huntap di dua daerah itu juga dibangun untuk penyintas yang rumahnya rusak berat atau hilang karena gempa, tsunami dan likuefaksi pada 28 September 2018.
Dalam berbagai kesempatan, Gubernur Sulteng Longki Djanggola menegaskan status lahan dan huntap hak milik penyintas.