Pemburu gajah kini tidak hanya mengincar gading, tetapi juga tulang belulang gajah. Pemburuan tidak hanya menyasar gajah jantan dewasa untuk diambil gadingnya, tetapi juga gajah betina dan anak gajah.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Keberlangsungan populasi gajah sumatera di Aceh kian terancam. Pemburu gajah kini tidak hanya mengincar gading, tetapi juga tulang belulang gajah. Pemburuan tidak hanya menyasar gajah jantan dewasa untuk diambil gadingnya, tetapi juga gajah betina dan anak gajah.
”Tulang rusuk paling dicari. Dalam kasus kematian gajah di Aceh Jaya, yang tersisa tinggal tulang penghubung,” kata Koordinator Perawatan Satwa Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh dan saksi ahli dalam kasus kejahatan satwa liar, Taing Lubis, dalam diskusi tematik ”Gajah Sumatera, Nasibmu Kini” yang digelar Forum Jurnalis Lingkungan (FJL), Kamis (16/1/2020), di Banda Aceh.
Diskusi ini digelar menyikapi kasus kematian lima gajah di Desa Tuwi Peuriya, Kecamatan Pasie Raya, Kabupaten Aceh Jaya, awal Januari lalu. Diskusi dihadiri perwakilan pemerintah daerah, akademisi, aktivis lingkungan, mahasiswa, dan perwakilan warga dengan pembicara utama Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Agus Arianto dan Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Aceh Jaya Inspektur Satu Bima Putra Nugraha.
Taing menduga tulang belulang gajah di Aceh Jaya diambil oleh pelaku untuk diperjualbelikan. Sebelumnya pada 4 Juli 2018, polisi dan BKSDA Aceh pernah menangkap penjual tulang dan kerangka gajah di Langsa. Perburuan yang mengincar tulang membuat perburuan gajah semakin masif karena sasaran bukan hanya gajah jantan dewasa, melainkan juga gajah betina dan anak gajah.
Tulang gajah diduga digunakan untuk keperluan medis dan diperdagangkan di dalam dan di luar negeri. Sejauh ini, BKSDA masih sulit melacak sampai ke penampung terakhir.
Tulang gajah diduga digunakan untuk keperluan medis dan diperdagangkan di dalam dan di luar negeri.
Agus Arianto menuturkan, hingga kini konflik gajah di Aceh belum mampu dibendung. Justru kematian gajah terus meningkat. Pada awal tahun 2020, enam gajah ditemukan mati. Lima ekor mati di Aceh Jaya dan satu ekor di Aceh Utara. Adapun jumlah kematian gajah di Aceh sejak 2016 hingga 2020 sebanyak 38 ekor.
”Konflik satwa liar dengan manusia karena habitat gajah terganggu. Saat ini 85 persen populasi gajah berada di luar kawasan konservasi,” kata Agus. Jumlah populasi diperkirakan tinggal 539 ekor.
Kematian lima gajah di Aceh Jaya memberi sinyal buruk bagi upaya perlindungan spesies kunci itu. Saat ditemukan, hanya tersisa beberapa tulang, seperti tengkorak, tulang panggul, dan telapak kaki. Sementara tulang lain, seperti rusak, paha, kaki, punggung, dan gading, raib.
Setelah diidentifikasi, tulang belulang itu diketahui milik 2 gajah jantan, 2 betina, dan 1 ekor belum diketahui jenis kelaminnya. Lima gajah itu diduga mati karena tersengat listrik yang dipasangi warga di kebun sawit.
Kantongi pelaku
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Aceh Jaya Iptu Bima Putra Nugraha menuturkan, kasus kematian lima gajah masih diselidiki. Sebanyak 12 orang telah diperiksa sebagai saksi. Bima mengatakan, dari keterangan saksi mengarah pada beberapa orang sebagai pelaku utama penyebab kematian gajah.
”Langkah hukum terhadap pelaku akan dilakukan. Kami akan mengungkap kasus ini, tetapi sekarang belum kami tetapkan tersangka. Warga jangan melindungi pelaku,” kata Bima.
Bima mengatakan, ada dugaan pelaku sengaja menyembunyikan bangkai gajah. Sebab, saat ditemukan, tulang gajah berada ditumpukan kayu yang terbakar. Pagar listrik dipasangi warga dengan ketinggian 1,5 meter. Menurut Bima, ada dugaan pagar itu sengaja digunakan untuk menghalau gajah.
Penyelidikan tidak hanya berhenti pada pelaku pemasangan pagar listrik, tetapi juga mengungkap kemungkinan adanya transaksi perdagangan tulang dan gading gajah. ”Kami bekerja ekstrahati-hati. Jangan sampai kami diadu dengan warga,” kata Bima.
Sekretaris Forum Kepala Desa Kecamatan Pasie Raya Syarkawi mengatakan, persoalan konflik gajah di Aceh Jaya tidak hanya berdampak buruk bagi gajah, tetapi juga sumber ekonomi warga. Perkebunan sawit dan tanaman palawiya rusak karena dimakan gajah. ”Namun, mengapa tidak ada ganti rugi bagi warga, malah warga disalahkan saat terjadi konflik gajah,” kata Syarkawi.
Syarkawi berharap pemerintah memperhatikan nasib warga yang hidup di kawasan habitat gajah. Dalam laporan tentang konflik satwa, kata Syarkawi, tidak pernah ada hitungan nilai kerugian ekonomi warga.