Kesiapsiagaan bencana di daerah pariwisata sangat penting diterapkan demi keselamatan wisatawan dan keberlangsungan pariwisata itu sendiri. Namun, kesadaran pengusaha pariwisata masih rendah.
Oleh
AYU SULISTYOWATI
·4 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Kesiapsiagaan bencana di daerah pariwisata sangat penting diterapkan demi keselamatan wisatawan dan keberlangsungan pariwisata itu sendiri. Namun, kesadaran pengusaha pariwisata akan sertifikasi kesiapsiagaan bencana masih rendah.
Selama tahun 2014 hingga 2019, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bali mencatat, hanya 64 hotel yang mendaftar dan lolos uji sertifikasi dari 551 hotel berbintang di Bali. Oleh karena itu BPBD Bali melakukan jemput bola agar pengusaha pariwisata di Bali mengurus sertifikasi itu. Sasarannya tidak hanya hotel, tetapi juga segala dunia usaha yang berhubungan dengan pariwisata serta obyek wisata.
Kepala Pelaksana BPBD Bali Made Rentin, Jumat, (17/1/2020), mengatakan, pengurusan sertifikasi kesiapsiagaan bencana untuk pariwisata sangat penting mengingat Bali merupakan destinasi wisata yang dikenal dunia. Keamanan serta kenyamanan selama berkunjung menjadi perhatian calon wisatawan.
”Pengalaman erupsi Gunung Agung di tahun 2017 yang bersamaan dengan persiapan pertemuan internasional IMF-Bank Dunia ketika itu menjadikan Bali harus meningkatkan kesiapsiagaan bencana. Mitigasi segala lini menjadi pekerjaan rumah yang penting, khususnya di sektor pariwisata,” kata Rentin.
Erupsi Gunung Agung sempat memengaruhi pariwisata Indonesia. Saat terjadi erupsi, ribuan wisatawan asing memutuskan untuk meninggalkan Bali. Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai di Kabupaten Badung, yang jaraknya sekitar 80 kilometer dari puncak Gunung Agung, pun tutup dua hari karena terdampak abu vulkanik.
Kerugian yang tercatat dari erupsi Gunung Agung mencapai lebih dari Rp 11 triliun.
Kerugian yang tercatat dari erupsi Gunung Agung mencapai lebih dari Rp 11 triliun. Sebanyak lebih dari 500.000 orang yang tinggal di radius 12 kilometer dari puncak Gunung Agung ketika itu sempat mengungsi setelah Gunung Agung berstatus Awas atau pada level tertinggi. Sejak 10 Februari 2018 hingga saat ini, status Gunung Agung masih Siaga.
Belajar dari peristiwa tersebut, lanjut Rentin, kewaspadaan semua pihak menjadi penting. ”BPBD tidak bisa bekerja sendiri. Selamat itu harus mulai dari diri sendiri, keluarga, dan masyarakat,” ujarnya.
Oleh karena itu, pihaknya mengharapkan partisipasi para pengusaha pariwisata agar sama-sama mewujudkan pariwisata berbudaya yang siap selamat dari segala bencana. Hal ini bakal menjadi nilai tambah bagi Bali karena infrastruktur wisata menjamin keamanan wisatawan saat terjadi bencana.
Konsep pariwisata aman bencana, lanjut Rentin, mengacu pada lima elemen kunci, yakni pemahaman risiko bencana, fasilitas aman bencana, tata kelola risiko bencana, manajemen kedaruratan, serta perencanaan keberlanjutan bisnis (business continuity planning). Kesemuanya itu membutuhkan penguatan dari banyak pihak. Salah satu inovasi yang mendukung konsep pariwisata aman bencana yang dicoba dibangun di Bali adalah sertifikasi kesiapsiagaan bencana.
Ada empat indikator yang diukur sebagai syarat pemberian sertifikasi kebencanaan, yakni kesiapsiagaan dan kapasitas respons, mitigasi, pengetahuan umum, dan keamanan. Penilaian sertifikasi dilakukan bergantung dari kesiapan hotel atau usaha pariwisata.
Adapun tim penilai antara lain terdiri dari Kantor SAR Kelas A Denpasar, BMKG Wilayah III Denpasar, Dinas Kesehatan Provinsi Bali, PMI Provinsi Bali, dan BPBD Bali. Tim menilai kesiapan infrastruktur kebencanaan hingga menggelar simulasi kebencanaan.
Rentin menyadari masih banyaknya gedung, baik perhotelan maupun usaha lain, yang belum memahami mitigasi kebencanaan, seperti penempatan rambu yang belum dilakukan dan pemasangan kaca-kaca di sekeliling gedung. Pihaknya terus memberikan pemahaman mengenai mitigasi bencana, terutama pada hotel yang persis berada di depan pantai yang rawan tsunami.
Masih banyak gedung, baik perhotelan maupun usaha lain, yang belum memahami mitigasi kebencanaan.
Secara terpisah, Gubernur Bali Wayan Koster menyatakan mendukung penguatan manajemen penanggulangan bencana yang lebih baik. Bali sebagai destinasi pariwisata dunia harus memiliki kesiapsiagaan yang lebih baik dibandingkan destinasi Indonesia lainnya.
Oleh karena itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengandalkan Bali sebagai percontohan mitigasi bencana di bidang pariwisata, khususnya contoh bagi lima destinasi superprioritas Bali baru.
Tahun ini, BNPB juga menyusun konsep penanggulangan bencana berstandar internasional. Standar ini penting dan dimulai dari Bali karena Bali sering menjadi tuan rumah pertemuan penting internasional. Menurut rencana, Bali akan menjadi tuan rumah Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) 2022.
Kepala Dinas Pariwisata Bali Putu Astawa mendukung upaya BPBD menjemput bola penerapan sertifikasi kebencanaan pada pengusaha di Bali. ”Isu mitigasi dan kesiapsiagaan bencana untuk daerah wisata memang menjadi tren penting saat ini,” kata Astawa. Wisatawan terus mengutamakan keamanan dan kenyamanan selama melancong.