Perombakan struktur kelembagaan di Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dilakukan sebagai upaya memotong jalur birokrasi yang selama ini kurang terkoordinasi dan cenderung tumpang tindih.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perombakan struktur kelembagaan di Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dilakukan sebagai upaya memotong jalur birokrasi yang selama ini kurang terkoordinasi dan cenderung tumpang tindih. Saat ini, seluruh pelayanan di bidang kebudayaan difokuskan pada satu pintu.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim merombak total kelembagaan Kemendikbud melalui Peraturan Mendikbud Nomor 45 Tahun 2019 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kemendikbud. Dalam Permendikbud yang ditandatangani 27 Desember 2019 tersebut Direktorat Jenderal Kebudayaan (Ditjen Kebudayaan) membawahkan satu Sekretariat Ditjen Kebudayaan (Setditjen) serta lima direktorat yang nyaris seluruhnya baru.
Kelima direktorat tersebut meliputi Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat; Perfilman, Musik, dan Media Baru; Pelindungan Kebudayaan; Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan; serta Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan.
“Dulu ada bantuan ini itu yang penyalurannya lewat direktorat masing-masing. Seringkali muncul pengajuan bantuan ke direktorat A pula yang ternyata juga diajukan ke direktorat B. Masing-masing direktorat kurang memantau karena masing-masing sibuk dengan urusan sendiri-sendiri. Ini menjadi soal bagi kita,” kata Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid, Kamis (16/1/2020), di Jakarta.
Struktur kelembagaan yang baru ini diharapkan dapat meminimalisasi duplikasi penyaluran bantuan program. Prinsipnya, satu proposal tak bisa dimanfaatkan untuk meminta beberapa bantuan dari direktorat yang berbeda-beda. Oleh karena itu, semua pengajuan program kini dipusatken satu pintu ke Ditjen Kebudayaan melalui Setditjen.
Struktur kelembagaan yang baru ini diharapkan dapat meminimalisasi duplikasi penyaluran bantuan program.
Sesuai komitmen Presiden Joko Widodo, pemerintah akan mengalokasikan Dana Abadi Kebudayaan yang bisa digunakan untuk pembiayaan berbagai aktivitas kegiatan pemajuan kebudayaan. Pemerintah sendiri akan menyediakan Dana Abadi Kebudayaan sebesar Rp 5 Triliun yang ditanamkan pada lembaga pengembangan keuangan.
“Hasil dari pengembangan itu atau bunganya akan digunakan untuk pembiayaan kebudayaan. Ini persis seperti yang telah diterapkan di Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), dana haji, dan sebagainya,” kata Hilmar.
Menyikapi pemisahan dua direktorat, yaitu Direktorat Pelindungan Kebudayaan dan Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, mantan Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Junus Satrio Atmodjo mengatakan, pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan adalah sel-sel yang berkontribusi untuk mencapai pelestarian. Ketiganya bukan pekerjaan yang berdiri sendiri-sendiri melainkan menjalankan peran spesifiknya masing-masing.
“Akan lebih baik bila semua sel dikoordinasikan daripada dipisah yang nantinya justru dapat mengganggu sistem lebih besar apabila satu di antara sel itu terkendala,” kata dia.