Lembaga Bisnis dan Pemerintahan Dituntut Beradaptasi
›
Lembaga Bisnis dan...
Iklan
Lembaga Bisnis dan Pemerintahan Dituntut Beradaptasi
Dampak perubahan iklim terus menguat. Kerugian ekonomi diperkirakan mencapai triliunan dollar AS dan ratusan juta jiwa bakal terancam jika para pemimpin gagal memerhitungkan dampak perubahan iklim.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Para pemimpin bisnis, keuangan, dan pemerintah dituntut beradaptasi dengan kondisi Bumi yang penuh ketidakpastian akibat menguatnya krisis iklim. Laporan terbaru dari McKinsey menunjukkan, kerugian ekonomi bisa mencapai triliunan dolar dan ratusan juta jiwa bakal terancam jika para pemimpin gagal memperhitungkan dampak perubahan iklim.
“Seperti halnya risiko sistem informasi dan dunia digital yang diintegrasikan ke dalam pengambilan keputusan perusahaan dan sektor publik, perubahan iklim dan risikonya juga perlu dijadikan sebagai faktor utama dalam keputusan,” kata Jonathan Woetzel, Direktur Institut Global McKinsey dan Mitra Senior McKinsey Shanghai, dalam keterangan tertulis, yang menyertai peluncuran laporan, pada Kamis (16/1/2020).
Menurut Woetzel, laporan ini untuk mengukur tingkat risiko fisik perubahan iklim, sehingga dapat diperhitungkan perusahaan asuransi, investor, pemberi pinjaman, pemerintah, regulator, perusahaan non-keuangan dan individu ketika mereka membuat keputusan strategis.
Seperti halnya risiko sistem informasi dan dunia digital yang diintegrasikan ke dalam pengambilan keputusan perusahaan dan sektor publik, perubahan iklim dan risikonya juga perlu dijadikan sebagai faktor utama dalam keputusan.
Studi ini menemukan, ahwa jika emisi gas rumah kaca terus meningkat tanpa pengawasan dan tak ada upaya adaptasi terhadap kenaikan suhu, kekeringan dan peningkatan permukaan laut, maka perubahan iklim dapat menyebabkan ratusan juta nyawa, triliunan dollar AS kegiatan ekonomi, dan modal fisik serta modal alam terancam.
Modal alam dalam hal ini mengacu pada ekosistem seperti hutan hujan, hutan bakau, dan terumbu karang yang selama ini memberikan manfaat penting bagi kehidupan manusia.
Laporan ini menggunakan proyeksi model iklim untuk menilai ancaman dan ketidakpastian hingga tahun 2050. Dengan proyeksi iklim konservatif, yang disebut Representative Concentration Pathway (RCP) 8.5, para peneliti McKinsey memodelkan skenario konsentrasi gas rumah kaca yang bertambah tinggi selama 30 tahun ke depan.
Mereka lalu mengukur dampak perubahan iklim itu terhadap sembilan studi kasus. Di antaranya, perubahan ruang hidup dan kondisi kerja di India dan Mediterania, gangguan sistem pangan global, perusakan perumahan di Florida akibat badai dan naiknya permukaan laut, serta gangguan pada rantai pasokan.
Lebih ekstrem
Para peneliti memperingatkan, dampak sosial dan ekonomi dari perubahan iklim menjadi "non-linear", yang berarti lebih sulit diprediksi atau lebih ekstrem. Hal ini karena ambang batas sistem iklim telah terlampaui. Salah satu contohnya, sistem tanggul yang dirancang untuk menahan banjir dengan kedalaman tertentu, bisa jadi gagal mengantisipasi cuaca ekstrem sehingga memicu bencana lebih besar.
Terkait sistem pangan, mereka menemukan probabilitas kegagalan panen tahunan akan meningkat. Kemungkinan kegagalan panen lebih dari 15 persen yang biasanya sekali dalam sepuluh tahun, bisa naik dari 10 persen hari ini menjadi 18 persen pada 2030. Risiko gagal panen di dekade berikutnya bisa naik lagi dari 45 menjadi 70 persen.
Sementara pemanasan laut dapat mengurangi tangkapan ikan, yang pada akhirnya bakal memengaruhi mata pencaharian 650 juta hingga 800 juta orang di dunia.
India dan Pakistan, di bawah skenario emisi RCP 8.5, akan menjadi jauh lebih panas dan lembab, sehingga jumlah jam orang bekerja di luar akan berkurang. Belum lagi, risiko gelombang panas mematikan bakal lebih sering terjadi. Hal ini bakal memukul produk domestik bruto.
Dalam laporan ini, Indonesia juga dikelompokkan dalam negara yang bakal mengalami kenaikan suhu dan kelembaban. Grup itu termasuk Filipina dan Ethiopia. Seperti di India, peningkatan suhu panas dan kelembaban di Indonesia disebut bakal berpenagruh pada kemampuan kerja.
Berikutnya, kota-kota yang berada di pesisir bakal terpukul hebat. Misalnya, Kota Ho Chi Minh, Vietnam, diperkirakan mengalami peningkatan kerugian akibat banjir 100-an tahun dari sekitar 200 juta dollar AS menjadi 1 miliar dollar AS pada tahun 2050.
Properti di pesisir Florida, dan di tempat lain yang serupa, seperti di Indonesia, juga berisiko besar. Kerugian tahunan rata-rata untuk sektor perumahan akibat lonjakan badai dari jumlah badai di Flordia yang saat ini sekitar 2 miliar dollar Amerika Serikat (AS), bakal naik menjadi sekitar 3 miliar dollar AS hingga 4,5 miliar dollar AS pada 2050. Untuk peristiwa badai 100 tahun yang ekstrem, kerugiannya saat ini 35 miliar dollar AS bisa jadi 75 miliar dollar AS tahun 2050.
Data Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam Rencana Adaptasi Nasional Indonesia menyebut, sekitar 90 persen desa di Indonesia rentan terdampak perubahan iklim skala moderta dan tinggi. Pada tahun 2020, Indonesia berpotensi mengalami kerugian Rp 102,36 triliun dari empat sektor utama, yaitu kelautan dan pesisir, pertanian air, dan kesehatan. Pada 2025, Indonesia berpotensi merugi Rp 115,53 triliun dari empat sektor ini.